Local Experience

Dulu Ada 2 Orang Seperti Saya tapi Sekarang Sudah Meninggal

Tradisi Minang yang Terancam Punah, Feri Lestarikan Saluang dan Bansi Lewat Kaki Lima di Pasar Atas Bukittinggi

Penulis: Muhammad Iqbal | Editor: afrizal
TribunPadang.com/MuhammadIqbal
SALUANG- Pedagang sekaligus seniman, Feri saat memainkan alat musik tiup tradisional Minangkabau ‘bansi’ di Jalan Minangkabau, Pasar Atas, Kota Bukittinggi, Sabtu (1/11/2025). Perajin sekaligus penjual saluang dan bansi di Bukittinggi semakin langka. Feri tetap bertahan menjaga tradisi pembuatan saluang dan bansi walau dari lapak kaki lima di Pasar Atas, Bukittinggi 

Kini, Feri dikenal sebagai satu-satunya pedagang kaki lima di Bukittinggi, bahkan di Sumatera Barat, yang masih menjual sekaligus membuat saluang dan bansi secara mandiri.

“Dulu ada dua orang seperti saya, tapi sekarang mereka sudah meninggal. Jadi sekarang tinggal saya sendiri,” katanya dengan nada datar namun penuh keyakinan.

Selain menjual langsung di pasar, Feri juga masih aktif melayani pembelian daring. 

Beberapa toko alat musik di Sumbar kini menjadi pelanggan tetapnya.

Meski begitu, ia mengaku tidak akan meninggalkan pasar. 

“Kalau jualan online memang cepat, tapi di sini rasanya beda. Bisa ketemu orang, bisa langsung mainkan saluang di depan pembeli,” ucapnya.

Ia lalu mengambil sebatang bansi dari lapak, meniup perlahan. 

Suaranya lembut dan panjang, berpadu dengan desau angin sore yang turun dari arah Ngarai Sianok. 

Beberapa orang yang lewat berhenti sejenak, menatap kagum.

Belum Mewariskan Ilmu

Feri memiliki dua anak perempuan. 

Namun hingga kini, ia belum sempat mengajarkan keterampilan membuat saluang kepada mereka.

“Niat itu sudah ada, tapi belum waktunya. Anak-anak masih kecil. Nanti kalau sudah siap, baru saya ajari,” katanya sambil menatap langit yang mulai gelap.

Ia tahu, menjaga tradisi bukan hal mudah. 

Tetapi selama tangannya masih kuat memahat bambu dan paru-parunya masih sanggup meniup nada panjang saluang, ia akan terus melakukannya.

“Saya cuma ingin suara saluang tetap hidup. Itu doa saya,” katanya pelan.

Senja pun benar-benar berubah menjadi malam. 

Satu per satu lampu kios di Pasar Atas mulai padam. 

Feri membereskan dagangannya, mengikat saluang ke dalam box di belakang Vespa hitamnya.

Sebelum pulang, ia sempat meniup satu nada terakhir dari saluang yang masih tergantung di tangannya. 

Suaranya panjang, lembut, dan sendu—seolah menjadi salam perpisahan antara tradisi dan zaman yang terus berjalan.

Sumber: Tribun Padang
Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved