Local Experience

Dulu Ada 2 Orang Seperti Saya tapi Sekarang Sudah Meninggal

Tradisi Minang yang Terancam Punah, Feri Lestarikan Saluang dan Bansi Lewat Kaki Lima di Pasar Atas Bukittinggi

Penulis: Muhammad Iqbal | Editor: afrizal
TribunPadang.com/MuhammadIqbal
SALUANG- Pedagang sekaligus seniman, Feri saat memainkan alat musik tiup tradisional Minangkabau ‘bansi’ di Jalan Minangkabau, Pasar Atas, Kota Bukittinggi, Sabtu (1/11/2025). Perajin sekaligus penjual saluang dan bansi di Bukittinggi semakin langka. Feri tetap bertahan menjaga tradisi pembuatan saluang dan bansi walau dari lapak kaki lima di Pasar Atas, Bukittinggi 
Ringkasan Berita:
  • Dari lapak kecil di Pasar Atas Bukittinggi, Feri menjadi satu-satunya penjaga napas saluang dan bansi, alat musik bambu khas Minangkabau di tengah hiruk pikuk modernitas.
  • Di balik nada bambu itu tersimpan tekad: menjaga tradisi agar tak hilang, meski belum ada pewarisnya.
  • Feri meniup saluang bukan sekadar nada, tapi doa agar tradisi Minangkabau tak hilang.

TRIBUNPADANG.COM, BUKITTINGGI - Sore itu, Sabtu (1/11/2025) di Jalan Minangkabau, Pasar Atas, Kota Bukittinggi, langit tampak berwarna jingga keemasan.

Pertanda peralihan waktu menjelang malam tiba.

Di sisi lain, hiruk pikuknya pasar mulai mereda.

Beberapa pedagang mulai menutup lapak mereka untuk beranjak pulang.

Namun, dari kejauhan, terdengar suara mesin vespa tua memecah kesunyian pasar yang mulai lengang.

Perlahan, kendaraan berwarna hitam kehijauan itu meluncur pelan di Jalan Minangkabau.

Baca juga: Kawasan Padang Teater Kian Sepi, Saksi Bisu Kejayaan Toko Buku di Kota Padang Tempo Dulu

Di bagian belakang vespa, sebuah kotak besar tampak terikat kuat dengan tali tambang.

Pengendaranya, seorang pria berwajah teduh menggenakan kacamata dan kumis tebal, berhenti di sebuah lapak bertuliskan "Galerry OmFeri".

Dialah pemilik lapak itu.

Seorang pedagang, pengrajin sekaligus seniman alat musik tiup tradisional Minangkabau—saluang dan bansi.

Saluang merupakan alat music tradisional Minangkabau terbuat dari bambu kecil yang biasa disebut talang.

Memiliki empat lubang, panjang saluang sekitar 40 – 60 cm, dengan diameter 3 – 4 cm.

Walau dimainkan dengan cara ditiup ada teknik khusus dalam meniup alat musik ini.

Cara memainkannya dengan meniup dan menarik nafas secara bersamaan. 

Baca juga: Sosok Darul Zaman, Satu-satunya Penyedia Jasa Gosok Setrika Arang di Padang Teater

Dengan teknik ini peniup saluang dapat memainkan alat musik ini dari awal hingga akhir lagu tanpa putus.

Sementara Bansi, juga alat music tiup dari talang.

Namun Bansi memiliki 7 lubang di bagian atas dengan panjang sekitar 36 cm dan berdiameter sekitar 2,5 cm. 

Setiap hari, Feri menjajakan hasil karyanya di kawasan Pasar Atas, Kota Bukittinggi, Sumatera Barat. 

“Biasanya saya datang menjelang sore, sambil bawa hasil buatan dari rumah,” ujarnya sambil menurunkan kotak besar berisi beberapa alat musik tradisional Minangkabau itu.

Feri menata lapaknya yang sederhana di bawah payung kain berwarna hijau tua. 

Satu per satu saluang dan bansi ia susun rapi, sementara suara azan dari kejauhan mulai menggema.

"Awal mula saya menjual saluang dan bansi berangkat dari keprihatinan, karena tidak ada yang menjual. Di sisi lain, saya ingin mempertahankan alat musik tradisonal Minangkabau," jelasnya kepada Tribunpadang.com.

Menjaga Tradisi dari Bambu

Feri, pria kelahiran Bukit Batabuah, Kabupaten Agam, sebuah daerah yang masih kental dengan tradisi Minangkabau.

Seusai pulang merantau dari Kalimantan tahun 2018, ia mencoba membuka lapak kaki lima di Pasar Atas Bukititnggi.

Lapak yang saat ini menjadi sumber pencarian ia dan keluarga di tengah kemajuan Bukittinggi.

“Setelah pulang dari Kalimantan, saya susah sekali mencari saluang dan bansi di Bukittinggi waktu itu,” katanya.

Hal itulah yang membulatkan tekad Feri untuk mengambil alih kemudi penjualan saluang dan bansi.

Berbekal keterampilan yang dimiliki Feri sejak remaja, satu persatu saluang dan bansi mulai dibuat dan diperjualbelikan di Pasar Atas Bukittinggi.

Kemahiran itu diperolehnya secara otididak, dengan memperhatikan para tetua di kampungnya sejak kecil.

UKIRAN- Feri sedang mengukir bansi
UKIRAN- Feri sedang mengukir bansi menggunakan solder di rumahnya, gang Manunggal, Kecamatan Mandiangin Koto Selayan, Kota Bukittinggi, Sabtu (1/11/2025). Feri tetap bertahan menjaga tradisi pembuatan saluang dan bansi walau dari lapak kaki lima di Pasar Atas, Bukittinggi

"Alhamdulillah saya pandai membuatnya sejak remaja, karena hobi juga. Kenapa saya tidak mencobanya," beber pria berkumis tipis itu.

Di sisi lain, selain menjual, niat mulia Feri untuk melestarikan alat musik tradisional Minangkabau agar tak ditelan zaman.

“Kalau bukan kita yang jaga, siapa lagi? Kita juga pandai membuatnya dan memainkannya," katanya lirih sambil memperlihatkan saluang yang sudah ia buat.

Berjuang di Masa Pandemi

Awal usaha saluang dan bansi Feri tidaklah mudah. 

Pandemi Covid-19 sempat menjadi ujian berat. 

Pembeli sepi, pasar ditutup, dan banyak pedagang menyerah.

Namun Feri tak kehabisan akal, berbekal penjualam online sudah mulai marak ketika itu, ia lantas mencobanya.

“Bagaimana kita berjualan karena Covid, bahkan pasar juga sepi karena ada PPKM dan penjualan online. Memang sepi karena online, kita tidak menyalahkan, kenapa tidak ikut?" ujarnya sembari tersenyum ceria.

Penjualan online itulah yang menutupi ongkos produksi saluang dan bansi.

Bahkan, banyak para pembeli berdatangan dari luar daerah Sumatera Barat.

Merasa menemukan jalan, Feri terus mempromosikan dagangannya dengan melakukan siaran langsung atau live di media sosial

"Saat jualan online kan saya hanya di rumah, saya coba live streaming, ternyata banyak yang tertarik, bahkan banyak permintaan dari Medan, Riau hingga Sulawesi," pungkasnya.

“Ada yang pesan saluang dengan ukiran nama, ada juga yang minta gambar wajah di badan saluangnya,” cerita Feri sambil memperlihatkan salah satu hasil buatannya yang berhiaskan ukiran rangkiang khas Minangkabau.

Dari rumahnya di Puhun Tembok, Kecamatan Mandiangin Koto Selayan, Bukittinggi, ia menampilkan proses pembuatan saluang dan bansi dari awal sampai selesai kepada para pelanggan.

Permintaan mulai beragam, mulai dari ukiran hingga alat musik tiup bernama Saluang Batak, asal Sumatera Utara.

“Awalnya canggung, tapi lama-lama banyak yang nonton. Saya sebut usaha ini ‘di atas langit’, karena semuanya lewat internet,” ujarnya terkekeh.

Satu-Satunya Penjual Kaki Lima Saluang di Bukittinggi

Kini, Feri dikenal sebagai satu-satunya pedagang kaki lima di Bukittinggi, bahkan di Sumatera Barat, yang masih menjual sekaligus membuat saluang dan bansi secara mandiri.

“Dulu ada dua orang seperti saya, tapi sekarang mereka sudah meninggal. Jadi sekarang tinggal saya sendiri,” katanya dengan nada datar namun penuh keyakinan.

Selain menjual langsung di pasar, Feri juga masih aktif melayani pembelian daring. 

Beberapa toko alat musik di Sumbar kini menjadi pelanggan tetapnya.

Meski begitu, ia mengaku tidak akan meninggalkan pasar. 

“Kalau jualan online memang cepat, tapi di sini rasanya beda. Bisa ketemu orang, bisa langsung mainkan saluang di depan pembeli,” ucapnya.

Ia lalu mengambil sebatang bansi dari lapak, meniup perlahan. 

Suaranya lembut dan panjang, berpadu dengan desau angin sore yang turun dari arah Ngarai Sianok. 

Beberapa orang yang lewat berhenti sejenak, menatap kagum.

Belum Mewariskan Ilmu

Feri memiliki dua anak perempuan. 

Namun hingga kini, ia belum sempat mengajarkan keterampilan membuat saluang kepada mereka.

“Niat itu sudah ada, tapi belum waktunya. Anak-anak masih kecil. Nanti kalau sudah siap, baru saya ajari,” katanya sambil menatap langit yang mulai gelap.

Ia tahu, menjaga tradisi bukan hal mudah. 

Tetapi selama tangannya masih kuat memahat bambu dan paru-parunya masih sanggup meniup nada panjang saluang, ia akan terus melakukannya.

“Saya cuma ingin suara saluang tetap hidup. Itu doa saya,” katanya pelan.

Senja pun benar-benar berubah menjadi malam. 

Satu per satu lampu kios di Pasar Atas mulai padam. 

Feri membereskan dagangannya, mengikat saluang ke dalam box di belakang Vespa hitamnya.

Sebelum pulang, ia sempat meniup satu nada terakhir dari saluang yang masih tergantung di tangannya. 

Suaranya panjang, lembut, dan sendu—seolah menjadi salam perpisahan antara tradisi dan zaman yang terus berjalan.

Sumber: Tribun Padang
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved