Kasus Kematian Afif Maulana

GMNI Unand Desak Polda Sumbar Ungkap Dalang Kematian Afif Maulana

Dewan Pimpinan Komisariat (DPK) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Universitas Andalas mendesak Polda Sumatera Barat (Sumbar) segera ...

Penulis: Wahyu Bahar | Editor: Fuadi Zikri
GMNI Unand
Foto bersama pengurus DPK Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Universitas Andalas. 

Selain itu, Oknum aparat negara sebut saja Kepolisian, TNI ataupun yang lainya masih menormalisasi tindakan penyiksaan dan tidak mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan maupun aturan internal institusi.

Disisi lain jika terjadi pelanggaran, para pelaku tidak diusut secara serius oleh badan peradilan yang imparsial dan independen, sehingga penegakan hukum tidak maksimal.

Hal ini menyebabkan rantai penyiksaan tidak terputus dan terus berulang, belum adanya komitmen serius untuk dapat memastikan pemulihan secara efektif kepada korban.

Tindak penyiksaan juga sangat minim jika merujuk kepada peraturan nasional serta berbagai standar internasional, sejatinya negara telah mengakomodir mekanisme pemulihan bagi korban melalui UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Baca juga: Penyelidikan Kasus Afif Maulana Masih Berlangsung, Polda Sumbar Terus Cari Saksi dan Alat Bukti

Tetapi dalam pelaksanaannya, justru upaya untuk mendapatkan akses terhadap pemulihan secara efektif kepada korban maupun keluarga korban cukuplah minim.

Harusnya negara memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi Hak Asasi Manusia, termasuk dengan memberikan hukuman yang setimpal bagi pelaku penyiksaan.

Dalam UUD 1945 yang merupakan landasan konstitusional negara Indonesia, khususnya dalam Pasal 28I, menegaskan bahwa hak untuk tidak disiksa adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights).

Situasi Penyiksaan Secara Umum di Indonesia

Berdasarkan data yang telah dihimpun pada periode Juni 2023 - Mei 2024, KontraS mencatat 60 peristiwa penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia telah terjadi di Indonesia.

Serupa dengan tahun-tahun sebelumnya pada periode ini Kepolisian Negara Republik Indonesia masih menjadi aktor dominan dalam berbagai peristiwa penyiksaan yang tersebar di indonesia yaitu sebanyak 40 peristiwa; dilanjutkan dengan Tentara Nasional Indonesia (Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara) sebesar 14 peristiwa, dan Sipir atau Petugas Lembaga.
Pemasyarakatan dengan 6 peristiwa.

Adapun berdasarkan 60 peristiwa tersebut, terdapat setidaknya 92 korban tindak penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia sepanjang periode ini.

Pemantauan KontraS juga turut menemukan setidaknya terdapat 14 korban dibawah umur. Masifnya tindak penyiksaan yang justru dilakukan di ruang-ruang publik menunjukkan adanya kegagalan sistematis dalam upaya penegakan hukum dan perlindungan HAM di Indonesia.

Tercermin lemahnya pengawasan terhadap aparat negara serta kultur kekerasan yang telah mendarah daging dalam aparat keamanan.

Pengaturan Penyiksaan Terhadap Anak Dibawah Umur

Anak yang menjadi korban meninggal dunia atas tindak kekerasan Kepolisian jika berkaca pada undang-undang seorang anak terbukti sebagai pelaku tindak pidana, penyiksaan terhadap anak tidak dibenarkan karena secara eksplisit UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur bahwa anak yang berhadapan dengan hukum, termasuk anak yang menjadi tersangka tindak pidana berhak untuk bebas dari tindak penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Padang
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved