Kisah Tugu Pasa Banda Buek Versi Warga : Urang-urang Bagak, atau Para Pemberani Menghadapi Penjajah
Pasar Bandar Buat yang berada di Kecamatan Lubuk Kilangan, Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar), hingga kini memiliki andil dalam sejarah per
Penulis: Panji Rahmat | Editor: Emil Mahmud
Lebih kurang 50 orang tewas dalam serangan itu dan banyak juga yang terluka parah, sehingga harus dirawat di rumah sakit tentara kawasan Indarung.
"Alasan Belanda melakukan serangan itu ternyata karena melihat bendera merah-putih berkibar di Kantor camat lubuk kilangan yang berdekatan dengan pasar bandar buat. Ini adalah bukti kekejaman Belanda yang membabi buta dan tidak berperikemanusiaan dalam sejarah kependudukannya di Kota Padang," jelasnya.
Para korban pada peristiwa itu baru dievakuasi oleh sanak saudaranya setelah tembakan tersebut selesai. Para korban yang dikenali dibawa dan dikuburkan pada kampung mereka masing-masing.
Sedangkan, terluka di bawa ke pos PMI, klinik terdekat atau rumah sakit tentara di Indarung.
"Sedangkan korban tidak dikenal dikumpulkan di sebuah Sekolah Rakyat Banda Buek yang terletak tidak berapa jauh dari pendakian jalan ke Rumah Sakit Jiwa Gadut sekarang. Pasar seketika lengang. Dimana-mana mayat bergelimpangan. Darah mengalir bak air sungai. Pasar Banda Buek berdarah karena serangan sadis dan kejam itu," terangnya.
Evakuasi Korban Serangan Tentara Belanda
Dalam proses evakuasi jenazah ini peranan barisan Sabil Muslimat dibawah pimpinan H Djamaluddin dari Pauh V.
Mereka mengangkat satu persatu jenazah di pasar itu untuk diselenggarakan sesuai syariat Islam.
Karena tidak adanya kain kafan maka tikar-tikar yang digunakan untuk alas berdagang dijadikan sebagai kafan jenazah.
Jenazah yang sudah dikafani kemudian dibawa kebelakang sekolah tadi yang berjarak lebih kurang 1,5 km dari Pasar Banda Buek. Yakni, SD yang berdekatan -- dengan SMP 23 Padang --sekarang, di Simpang Gaduik.
"Namun karena hari sudah senja terpaksa rencana penyelenggaraan jenazah itu dilaksanakan esok harinya. Pengurusan jenazah yang berserakan di pekarangan sekolah maupun yang masih tersisa di pasar dan sekitarnya harus ditunda dulu," lanjutnya.
Ternyata keesokkan harinya sekitar pukul sepuluh pagi pesawat tempur Belanda kembali terbang rendah untuk menyerang Indarung tempat markas gabungan tentara, dimana saat itu Batalyon Anwar Badu bermarkas.
Batalyon ini diincar Belanda, karena telah menghancurkan dua truknya beberapa hari sebelumnya.
Tentu saja kehadiran pesawat itu membuat rencana menjadi batal. Seluruh penduduk yang mengetahui penyerangan Pasar Banda Buek maupun mereka yang akan menguburkan jenazah segera menyelamatkan diri dengan menyeberangi sungai yang tidak jauh dari sekolah dasar itu.
"Setelah keadaan dirasa benar-benar aman walau untuk sementara, Camat Lubuk Begalung, St Harun Al Rasjid, yang berada di tempat kejadian menghubungi Camat Pauh, Latief Usman yang saat itu sedang berada di Limau Manih, kepadanya diminta mengerahkan rakyatnya untuk melakukan penguburan segera sebab jenazah di dua tempat itu sudah mulai mengeluarkan bau menyengat," bebernya.
Dikarenakan hari masih siang dan khawatir akan kedatangan pesawat tempur Belanda, maka disepakati penguburan dilakukan pada malam harinya sekitar pukul tujuh (19.00 WIB).
Penguburan pada malam hari dilakukan dibawah penerangan beberapa obor, tapi ternyata tidak semua jenazah bisa dikuburkan.
Hal itu disebabkan tidak saja karena kurangnya penerangan, namun banyak dari masyarakat yang ikut membantu itu tidak tahan dengan bau busuk bahkan ada yang muntah-muntah.
Selama lebih kurang lima hari, ternyata sebagian mayat yang masih belum dikuburkan semuanya.
Syukurlah pada waktu itu, salah seorang anggota Batalyon I pimpinan Anwar Badu yang bernama Abdoel Munaf, mengumpulkan orang-orang dari Banda Buek yang mengungsi bergotong royong untuk penguburan.
"Atas usahanya itu, sekitar jam satu siang, sekitar tanggal 25 Januari 1947 seluruh jenazah baik yang di pekarangan sekolah rakyat maupun di pasar dapat dikuburkan," jelas Kepala Seksi Cagar Budaya Kota Padang itu.
Camat St Harun Al Rasjid dan Latief Usman beserta beberapa orang tokoh kemudian sepakat mengumpulkan barang-barang yang bertebaran di pasar.
Utamanya, yang ditinggalkan pemiliknya untuk dibagikan kepada masyarakat yang membantu proses penguburan atau kepada pengungsi yang telah kembali.
"Pasar Banda Buek telah menjadi saksi sejarah yang tak terlupakan. Setiap nyawa yang melayang itu adalah para shuhada walaupun mereka tidak ikut memegang senjata dan ikut bertempur," ucapnya.
Dikatakan, para pedagang dan pembeli yang gugur itu adalah para pejuang ekonomi. Melalui mereka lah dapur umum perjuangan selalu berasap.
"Mungkin tanpa mereka gerakan juang akan lambat, karena perut kosong dan keroncongan," kata Adaz.(TribunPadang com/Rahmat Panji)
