Kisah Tugu Pasa Banda Buek Versi Warga : Urang-urang Bagak, atau Para Pemberani Menghadapi Penjajah

Pasar Bandar Buat yang berada di Kecamatan Lubuk Kilangan, Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar), hingga kini memiliki andil dalam sejarah per

Penulis: Panji Rahmat | Editor: Emil Mahmud
TRIBUNPADANG.COM/RAHMAT PANJI
Tugu peristiwa Pasar Bandar Buat, yang kini masuk wilayah Kecamatan Lubuk Kilangan (Luki), Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) masih terlihat berdiri kokoh.  

TRIBUNPADANG.COM, PADANG - Pasar Bandar Buat yang berada di Kecamatan Lubuk Kilangan, Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar), hingga kini memiliki andil dalam sejarah peristiwa pada pasca kemerdekaan Indonesia.

Hanya saja, keberadaan monumen atau lebih tepatnya, tugu itu nyaris luput dari pandangan oleh sebagian besar pengunjung pasar tersebut.

Padahal, bagi mereka yang menatap tugu diperkirakan akan bertanya apa maksud dari 2 patung pria dan 1 perempuan yang ada persis di depan pasar Bandar Buat, Kecamatan Lubuk Kilangan, Kota Padang, Provinsi Sumbar.

Keberadaannya saat ini di dekat tempat pembuangan sampah di dekat pintu masuk menuju pasar Bandar Buat.

Meski masih berdiri kokoh dengan cat yang menempel di sekujur tugu, poisisi tugu itu seperti terabaikan oleh pandangan mata orang, yang melintas di jalan lintas Padang - Solok itu.

Para pedagang setempat juga tidak banyak tahu bahwa ada 50 korban jiwa pada 18 Januari 1947 di Pasar Bandar Buat, gegara serangan brutal Belanda.

Pedagang setempat mengaku itu adalah orang-orang pemberani, yang pernah ada di pasar Bandar Buat.

"Itu urang-urang bagak (orang pemberani) di Pasar Bandar Buat," beber pedagang.

Ada juga yang menyebut itu adalah simbol dari perjuangan, tanpa mengetahui sesungguhnya secara persis wujud perjuangan serta peristiwa yang terjadi.

Baca juga: Soal Pedagang yang Jualan di Area Parkir, Kepala UPTD Pasar Bandar Buat : Disinyalir Pedagang Baru

UPTD Pasar Bandar Buat, Yurman Tanjung mengaku untuk persoalan tugu itu hanya beberapa orang yang tahu.

"Kalau persoalan tugu itu sebaiknya ditanya pada yang tua-tua, kalau para pedagang dan masyarakat setempat sepertinya mereka kurang mengetahu secara pasti," jelas Yurman Tanjung.

Saksi Sejarah Tragedi Berdarah

Dilansir TribunPadang.com, monumen bukti kekejaman Kolonial Belanda hingga kini dapat ditemukan berdirinya; Tugu Pasa Banda Buek Lubuk Kilangan, Kota Padang.

Dari catatan sejarah yang dihimpun, TribunPadang.com, bahwa kembali pada pasca kemerdekaan -- tepatnya pada Tahun 1947 --ada tragedi serta peristiwa berdarah yang terjadi di sekitar Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar).

Peristiwa itu terjadi di Pasar Bandar Buat. Kecamatan Lubuk Kilangan. Kota Padang, Provinsi Sumbar tepatnya pada 18 Januari 1947.

Kepala Seksi Cagar Budaya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Padang, Marshalleh Adaz mengemukakan Pasar Bandar Buat sendiri merupakan satu-satunya pasar yang aktif di sekitar Kota Padang saat pasukan Belanda menyerang sendi-sendi ekonomi Kota Padang pasca kemerdekaan.

"Bicara tugu pasar Banda buek (bandar buat) pasca kemerdekaan tidak bisa kita lepaskan dari kondisi kota Padang secara keseluruhan," kata Marshalleh Adaz, yang juga ketua PPCB Kota Padang.

Sejauh ini menurutnya, Pasar Banda Buat atau Buek memiliki peranan sangat penting setelah kemerdekaan Indonesia untuk Kota Padang.

"Pasar ini menjadi penunjang perekonomian Kota Padang pasca kemerdekaan setelah Belanda kembali ke Indonesia," paparnya.

Baca juga: Pedagang Tetap Ingin Jualan di Kawasan Tugu Gempa, Petugas Satpol PP Padang Tertibkan PKL

Tugu peristiwa Pasar Bandar Buat, yang kini masuk wilayah Kecamatan Lubuk Kilangan (Luki), Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) masih terlihat berdiri kokoh. 
Tugu peristiwa Pasar Bandar Buat, yang kini masuk wilayah Kecamatan Lubuk Kilangan (Luki), Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) masih terlihat berdiri kokoh.  (TRIBUNPADANG.COM/RAHMAT PANJI)

Baca juga: Tim Pkm FIB Unand Sosialisasi Program Terpadu, Bangun Kampung Wisata Sejarah Lobang Japang di Padang

Terlebih pada saat kedatangan Belanda kembali ke Kota Padang, imbuhnya kekuatan asing itu sempat melumpuhkan Kota Padang hampir secara keseluruhan.

"Orang lebih mengutamakan keselamatan jiwa dari pada memikirkan kepentingan lainnya hanya orang yang terus berjuang dan berani melawan kedigdayaan Belanda yang tinggal di dalam Kota pada saat itu," ucap Adaz.

Dikatakan, keberadaan Pasar raya Padang yang merupakan penunjang utama ekonomi Kota Padang pada saat itu saja tidak bisa beroperasi dengan semestinya.

Kondisi di Pasar Raya Padang saat itu, sebagian besar memilih untuk menutup tokonya, masing-masing mengingat serbuan militer Belanda.

Ancaman yang diberikan Belanda pada masa itu memang benar nyatanya terlihat, hanya pedagang minuman dan makanan ringan yang berani membuka toko pada masa itu.

"Pedagang minuman dan makanan ringan ini juga bisa angkat kaki jika keadaan tidak aman," beber Adaz.

Pasar Banda buek yang berada di luar kota Padang pada saat seperti itu jadi penunjang penting perekonomian masyarakat Kota Padang.

Karenanya, imbuh Adaz, bagi para pedagang dari arah Solok, pesisir selatan, Pauh limo dan Kuranji setiap hari Selasa dan Sabtu akan melakukan jual beli di pasar bandar buat.

"Selasa dan Sabtu itu adalah hari balai pasar Banda buek, selain berdagang tempat ini juga merupakan tempat beredarnya informasi perjuangan serta rencana gerilya agar tidak dicurigai Belanda," sambungnya.

Peran penting pasar bandar buat pada masa itu tidak bisa dielakkan, karena dari sini para pejuang bisa bertukar informasi.

Terlebih pada saat itu Belanda memang ingin kembali merenggut kemerdekaan di Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat atau Sumbar.

"Karena sebelumnya kekuasaan mereka sempat terputus ketika menangnya jepang, Satu-satunya cara yang bisa dilakukan Belanda dengan membonceng negara sekutu agar mereka tidak ketahuan," tuturnya.

Padahal sejak kedatangannya para pemuda dan pejuang Kota Padang sudah menyadari bahwa kedatangan mereka murni untuk kembali mengambil kekuasaan.

Bahkan secara terpisah melihat kedatangan Belanda ini para pejuang waktu itu sudah mulai melakukan serangan serta pencegatan pada pasukan sekutu dan Belanda.

Melalui rentetan cerita panjang ini kita bisa melakukan tilas balik terkait keberadaan tugu peristiwa berdarah pasar Banda Buek.

Tugu peristiwa Pasar Bandar Buat, yang kini masuk wilayah Kecamatan Lubuk Kilangan (Luki), Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) masih terlihat berdiri kokoh. 
Tugu peristiwa Pasar Bandar Buat, yang kini masuk wilayah Kecamatan Lubuk Kilangan (Luki), Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) masih terlihat berdiri kokoh.  (TRIBUNPADANG.COM/RAHMAT PANJI)

Baca juga: Pedagang Pasar Bandar Buat Keluhkan Keadaan Pasar yang Sepi Pembeli

Kejadian Bermula 7 Januari 1947

Tembakan itu pada awalnya semata-mata dilakukan Belanda untuk melindungi barisan tentaranya yang hendak bergerak ke Ampang, Lubuk Begalung dan Pisang.

Menurutnya, Tentara Belanda melapaskan tembakan meriamnya ke arah beberapa sasaran di antaranya, ke Kampung Alai, Andalas, Anduring dan sekitarnya.

Keunggulan senjata dan strategi Belanda pada saat itu ternyata harus berhadapan dengan kegigihan dan semangat tinggi dari tentara dan pejuang Kota Padang.

Semangat itu terlihat tak kala ranjau darat yang di pasang para pejuang berhasil meledakan dua truck milik tentara Belanda beserta isinya.

"Belanda sempat tidak percaya melihat kejadian tersebut, sehingga besoknya pada 8 Januari 1947, sebanyak  4 pesawat Mustang Belanda dengan perlengkapan senapan mesin menyerang dari udara markas batalion gabungan di Indarung," tambahnya.

Tidak puas sampai di situ, 10 hari kemudian tepatnya pada tanggal 18 Januari 1947 tentara Belanda kembali dengan pesawat tempur dan menembak pasar bandar buat.

Saat itu pasar sedang ramai, karena hari balai yaitu pada hari Sabtu, para penjual dan pembeli pada hari itu saking ramainya sampai melimpah keluar pasar.

Hal ini disebabkan, karena terputusnya perdagangan di dalam Kota Padang sehingga pasar dari luar peminatnya makin meningkat.

"Pasar yang penuh sesak itu diberondong dengan tembakan dari udara oleh pasukan Belanda," ucapnya.

"Terlebih pada saat itu banyak wanita dan anak-anak, sehingga mereka panik dan lari tak tahu arah," kenangnya.

Lebih kurang 50 orang tewas dalam serangan itu dan banyak juga yang terluka parah, sehingga harus dirawat di rumah sakit tentara kawasan Indarung.

"Alasan Belanda melakukan serangan itu ternyata karena melihat bendera merah-putih berkibar di Kantor camat lubuk kilangan yang berdekatan dengan pasar bandar buat. Ini adalah bukti kekejaman Belanda yang membabi buta dan tidak berperikemanusiaan dalam sejarah kependudukannya di Kota Padang," jelasnya.

Para korban pada peristiwa itu baru dievakuasi oleh sanak saudaranya setelah tembakan tersebut selesai. Para korban yang dikenali dibawa dan dikuburkan pada kampung mereka masing-masing.

Sedangkan, terluka di bawa ke pos PMI, klinik terdekat atau rumah sakit tentara di Indarung.

"Sedangkan korban tidak dikenal dikumpulkan di sebuah Sekolah Rakyat Banda Buek yang terletak tidak berapa jauh dari pendakian jalan ke Rumah Sakit Jiwa Gadut sekarang. Pasar seketika lengang. Dimana-mana mayat bergelimpangan. Darah mengalir bak air sungai. Pasar Banda Buek berdarah karena serangan sadis dan kejam itu," terangnya.

Evakuasi Korban Serangan Tentara Belanda

Dalam proses evakuasi jenazah ini peranan barisan Sabil Muslimat dibawah pimpinan H Djamaluddin dari Pauh V.

Mereka mengangkat satu persatu jenazah di pasar itu untuk diselenggarakan sesuai syariat Islam.

Karena tidak adanya kain kafan maka tikar-tikar yang digunakan untuk alas berdagang dijadikan sebagai kafan jenazah.

Jenazah yang sudah dikafani kemudian dibawa kebelakang sekolah tadi yang berjarak lebih kurang 1,5 km dari Pasar Banda Buek. Yakni, SD yang berdekatan -- dengan SMP 23 Padang --sekarang, di Simpang Gaduik.

"Namun karena hari sudah senja terpaksa rencana penyelenggaraan jenazah itu dilaksanakan esok harinya. Pengurusan jenazah yang berserakan di pekarangan sekolah maupun yang masih tersisa di pasar dan sekitarnya harus ditunda dulu," lanjutnya.

Ternyata keesokkan harinya sekitar pukul sepuluh pagi pesawat tempur Belanda kembali terbang rendah untuk menyerang Indarung tempat markas gabungan tentara, dimana saat itu Batalyon Anwar Badu bermarkas.

Batalyon ini diincar Belanda, karena telah menghancurkan dua truknya beberapa hari sebelumnya.

Tentu saja kehadiran pesawat itu membuat rencana menjadi batal. Seluruh penduduk yang mengetahui penyerangan Pasar Banda Buek maupun mereka yang akan menguburkan jenazah segera menyelamatkan diri dengan menyeberangi sungai yang tidak jauh dari sekolah dasar itu.

"Setelah keadaan dirasa benar-benar aman walau untuk sementara,  Camat Lubuk Begalung, St Harun Al Rasjid, yang berada di tempat kejadian menghubungi Camat Pauh, Latief Usman yang saat itu sedang berada di Limau Manih, kepadanya diminta mengerahkan rakyatnya untuk melakukan penguburan segera sebab jenazah di dua tempat itu sudah mulai mengeluarkan bau menyengat," bebernya.

Dikarenakan hari masih siang dan khawatir akan kedatangan pesawat tempur Belanda, maka disepakati penguburan dilakukan pada malam harinya sekitar pukul tujuh (19.00 WIB).

Penguburan pada malam hari dilakukan dibawah penerangan beberapa obor, tapi ternyata tidak semua jenazah bisa dikuburkan.

Hal itu disebabkan tidak saja karena kurangnya penerangan, namun banyak dari masyarakat yang ikut membantu itu tidak tahan dengan bau busuk bahkan ada yang muntah-muntah.

Selama lebih kurang lima hari, ternyata sebagian mayat yang masih belum dikuburkan semuanya.

Syukurlah pada waktu itu, salah seorang anggota Batalyon I pimpinan Anwar Badu yang bernama Abdoel Munaf, mengumpulkan orang-orang dari Banda Buek yang mengungsi bergotong royong untuk penguburan.

"Atas usahanya itu, sekitar jam satu siang, sekitar tanggal 25 Januari 1947 seluruh jenazah baik yang di pekarangan sekolah rakyat maupun di pasar dapat dikuburkan," jelas Kepala Seksi Cagar Budaya Kota Padang itu.

Camat St Harun Al Rasjid dan Latief Usman beserta beberapa orang tokoh kemudian sepakat mengumpulkan barang-barang yang bertebaran di pasar.

Utamanya, yang ditinggalkan pemiliknya untuk dibagikan kepada masyarakat yang membantu proses penguburan atau kepada pengungsi yang telah kembali.

"Pasar Banda Buek telah menjadi saksi sejarah yang tak terlupakan. Setiap nyawa yang melayang itu adalah para shuhada walaupun mereka tidak ikut memegang senjata dan ikut bertempur," ucapnya.

Dikatakan, para pedagang dan pembeli yang gugur itu adalah para pejuang ekonomi. Melalui mereka lah dapur umum perjuangan selalu berasap.

"Mungkin tanpa mereka gerakan juang akan lambat, karena perut kosong dan keroncongan," kata Adaz.(TribunPadang com/Rahmat Panji)

 

Sumber: Tribun Padang
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved