Sengketa Pilkada

Status Mantan Terpidana Cawabup Pasaman Dipersoalkan, MK Gelar Sidang Sengketa Pilkada

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang sengketa Pilkada 2024 Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat pada Selasa (11/2/2025). 

Penulis: Rahmadisuardi | Editor: Rahmadi
MK
SENGKETA PILKADA: Para Ahli saat diambil sumpahnya pada sidang Mendengarkan Keterangan Saksi/Ahli, Memeriksa dan Mengesahkan Alat Bukti Tambahan perkara nomor 02/PHPU.BUP-XXIII/2025 PHPU Bupati Kabupaten Pasaman, Selasa (11/02/2025). Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang sengketa Pilkada 2024 Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat.  

TRIBUNPADANG.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang sengketa Pilkada 2024 Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat pada Selasa (11/2/2025). 

Sidang Panel Hakim 1 berlangsung di Ruang Sidang Pleno Gedung II MK, dipimpin Ketua MK Suhartoyo dengan dua anggota, Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah.

Perkara Nomor 02/PHPU.BUP-XXIII/2025 ini diajukan oleh pasangan calon (paslon) nomor urut 2, Mara Ondak dan Desrizal. Sementara paslon nomor urut 1, Welly Suhery dan Anggit Kurniawan Nasution, menjadi pihak terkait.

Komisi Pemilihan Umum (KPU Pasaman) sebagai termohon, sedangkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu Pasaman) memberikan keterangan.

Cawabup Pasaman Diduga Tak Penuhi Syarat Administrasi

Dilansir dari keterangan resmi Mk, dalam Sidang Pemeriksaan Saksi dan Ahli kali ini, persoalan administratif sebagaimana dalil permohonan, menjadi inti pembahasan. Persoalan administratif yang dimaksud adalah Surat Keterangan Tidak Pernah Dipidana Pihak Terkait, yakni Calon Wakil Bupati Nomor Urut 1, Anggit Kurniawan Nasution. 

Baca juga: Hari Ini MK Gelar Sidang Sengketa Pilkada Pasaman dan Pasaman Barat

Surat tersebut merupakan salah satu syarat untuk berkontestasi dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati (Pilbup) Pasaman 2024. Persoalan timbul dalam perkara ini, sebab Anggit pernah menjadi terpidana kasus penipuan.

Ahli yang dihadirkan Pemohon, Charles Simabura berpandangan bahwa seluruh pasangan calon kepala daerah harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada).

Untuk perkara ini, Charles mengutip Pasal 7 ayat (2) UU Pilkada , khususnya ketentuan mengenai status mantan terpidana yang mesti diumumkan secara terbuka.

"Sebab persyaratan untuk serta secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana adalah syarat yang harus dipenuhi sebelum ditetapkan sebagai calon kepala daerah," katanya saat memberikan keterangan di persidangan.

Berbeda dari ahli Pemohon, ahli yang dihadirkan Pihak Terkait, Zainal Arifin Mochtar berpandangan bahwa status mantan terpidana menjadi wajib diumumkan secara terbuka jika ancaman pidananya minimal lima tahun. Dalam hal ini, Zainal mengutip Putusan MK Nomor 54/PUU-XXII/2024.

Baca juga: Termasuk Pasaman dan Pasaman Barat, Simak Daftar 40 Sengketa Pilkada Lanjut ke Pembuktian di MK

Dari putusan tersebut, Zainal menafsirkan bahwa masa tunggu atau cooling period dan deklarasi, diberlakukan secara kumulatif khusus bagi terpidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan lima tahun atau lebih.

"Artinya bagi mantan terpidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara kurang dari lima tahun, tidak diharuskan memenuhi masa tunggu dan deklarasi," ujarnya.

Sementara ahli dari Termohon, Khairul Fahmi menyoroti kewenangan KPU kabupaten atau kota dalam meneliti kelengkapan persyaratan untuk berkontestasi dalam Pilkada. Khairul pun mengutip Pasal 50 ayat (1) UU Pilkada yang berbunyi, “KPU Kabupaten/Kota meneliti kelengkapan persyaratan administrasi Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati atau Pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota dan dapat melakukan klarifikasi kepada instansi yang berwenang jika diperlukan, dan menerima memasukan dari masyarakat terhadap keabsahan persyaratan Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota”.

Berkaitan dengan perkara ini, Khairul menekankan pada bagian "dapat melakukan klarifikasi kepada instansi yang berwenang jika diperlukan." Kata “dapat” dalam norma Pasal tersebut, menurut Khairul bermakna bahwa klarifikasi yang dilakukan KPU kabupaten atau kota bersifat opsional.

Halaman
123
Sumber: Tribun Padang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved