MK Hapus Presidential Threshold, Pakar Ungkap Dampak Positif dan Negatif

Pakar hukum tata negara, Feri Amsari, mengungkapkan bahwa kebijakan ini memiliki dampak positif dan negatif bagi demokrasi di Indonesia.

Penulis: Rahmadisuardi | Editor: Rahmadi
TribunPadang.com
Sosok Feri Amsari saat menjadi bintang tamu podcast TribunPadang.com. Pakar hukum tata negara, Feri Amsari, mengungkapkan bahwa kebijakan ini memiliki dampak positif dan negatif bagi demokrasi di Indonesia. 

TRIBUNPADANG.COM -  Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ketentuan presidential threshold dalam pencalonan presiden. 

Pakar hukum tata negara, Feri Amsari, mengungkapkan bahwa kebijakan ini memiliki dampak positif dan negatif bagi demokrasi di Indonesia.

Feri menilai putusan tersebut sesuai dengan UUD 1945, yang tidak mengatur ambang batas pencalonan presiden

"Putusan ini sudah sangat sesuai karena memang tidak ada ambang batas pencalonan presiden di Undang-Undang Dasar," kata Feri saat dihubungi, Jumat (3/1/2025).

Menurut Feri, penghapusan presidential threshold memiliki dua sisi.  Dari sisi positif, kebijakan ini akan membuka ruang persaingan sehat dalam pemilihan presiden. 

Baca juga: Seorang Pendaki Tersesat di Gunung Talang Solok Sumbar, SAR Lakukan Pencarian

Partai politik, kata dia, didorong untuk mengusung figur yang kompeten dan memiliki daya tarik di mata publik. 

"Calon presiden harus betul-betul memenuhi janjinya kepada publik, orang-orang yang betul-betul punya track record yang baik karena merekalah yang akan disukai oleh pemilih dan akan memberikan efek penggelembungan suara yang baik dalam Pemilu," ujar Feri.

Namun, dia juga mengingatkan potensi dampak negatif dari keputusan ini. Tanpa ambang batas, peluang bagi politik dinasti dan praktik kecurangan tetap ada.

"Oleh karena itu, putusan MK ini tentu menjadi pintu yang sangat baik bagi demokrasi konstitusional kita di masa depan, tetapi publik harus sadar bahwa untuk menjaganya butuh partisipasi publik bersama untuk melindungi apa yang sudah dilakukan oleh MK," tegas Feri.

Keputusan ini merupakan respons atas permohonan perkara 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. 

Baca juga: Postur dalam Gaya Bebas saat Berenang, Kunci Jawaban PJOK Kelas 4 Kurikulum Merdeka

Dalam amar putusannya, Ketua MK Suhartoyo menyatakan bahwa Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Pasal tersebut sebelumnya mensyaratkan partai politik atau gabungan partai memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. 

 Menurut MK, ketentuan ini membatasi hak politik partai kecil dan mengurangi pilihan bagi pemilih.

"Menyatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Hakim Konstitusi, Saldi Isra di Gedung MK, Jakarta pada Kamis (2/1/2025).

Selain membatalkan presidential threshold, MK memberikan rekomendasi kepada pembuat undang-undang untuk merevisi UU Pemilu dengan beberapa prinsip:

Baca juga: Kondisi Terkini Gadih Mudiak Aie, Harimau Sumatera yang Dievakuasi di Solok, Masih Dirawat di TMSBK

1. Semua partai politik peserta Pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

2. Tidak ada batasan berdasarkan persentase kursi DPR atau suara nasional.

3. Pengusulan pasangan calon harus mencegah dominasi partai besar agar pilihan pemilih tidak terbatas.

4. Partai yang tidak mengusulkan calon dikenakan sanksi larangan mengikuti Pemilu berikutnya.

MK juga meminta agar proses revisi UU Pemilu melibatkan partisipasi publik untuk memastikan kebijakan yang dihasilkan lebih inklusif dan adil.

(*)

Sumber: Tribunnews.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved