Kisah Kompol Jon Hendri, Wakapolres Pariaman, Dibimbing Petuah Ayah Seorang Tuna Netra
Berpangkat Komisaris Jenderal (Kompol) dan menjabat sebagai Wakil Kepala Polisi Resor (Waka Polres) Pariaman, Jon Hendri tetap berpegang pada satu nas
Penulis: Panji Rahmat | Editor: Mona Triana
TRIBUNPADANG.COM, PARIAMAN - Berpangkat Komisaris Polisi (Kompol) dan menjabat sebagai Wakil Kepala Polisi Resor (Waka Polres) Pariaman, Jon Hendri tetap berpegang pada satu nasihat ayahnya “jadilah berguna untuk orang banyak”.
Kalimat itu selalu jadi pegangannya dalam menjajaki hidup. Kalimat yang keluar dari mulut Juari (Ayah Jon Hendri) yang tuna netra, sudah menyatu dalam dirinya.
Bahkan saat ini pria kelahiran 50 tahun silam itu, sedang membagikan 27 kapling tanah miliknya pada warga di kawasan Aur Malintang Padang Pariaman.
Tanah itu hasil kerja kerasnya, sejak lulus sebagai perwira polisi sumber sarjana tahun 2000 dan usaha menambah gaji (Umega) yang ia lakukan sampai saat ini.
Kerja keras serupa itu muncul dalam diri pria yang lahir di Dusun Limau-limau, Lareh Nan Panjang, Sungai Sarik Padang Pariaman, tertular dari kegigihan ayahnya.
Dusun tempat ia tinggal berada jauh dari pusat Kabupaten Padang Pariaman. Di dusun itu mencari jalan aspal masih sulit.
Di dusun itu jugalah ayah Jon Hendri yang akrab disapa Celek tumbuh seebagai sosok penting dalam kehidupannya.
Sejak kecil kondisi ayah dan ibunya yang buta huruf, membuat kehidupan pria berperawakan tenang itu masuk dalam garis kemiskinan.
Di dusun yang masih banyak rimba dan sawahnya itulah, Jon dibesarkan orang tuanya.
Sehari-hari ia hidup dan tumbuh dalam rumah kayu berpenyangga bambu pada bagian belakangnya, serta bagian depan diikatkan pada dahan pohon agar tidak roboh.
“Ayah saya adalah orang yang kreatif, keterbatasan fisiknya bukan penghalang baginya membesarkan kami,” katanya mengenang sosok itu.
Kreatifitas ayahnya itu, membuat rumah kayu tersebut, layak dan menjadi tempat istirahat nyaman bagi Jon kecil.
Ayah Jon tidak mau terbelenggu oleh keterbatasannya, sejak Jon kecil, Ayahnya berjualan kopi di pinggir jalan.
Jalan yang tentunya tidak banyak kendaraan berlalu lalang seperti sekarang.
Langganannya adalah warga setempat dan para petani serta pedagang.
Lain waktu, saat air panas di termos, bubuk kopi dan gula habis, tangan kasar itu juga memisahkan sabut kelapa dari batoknya, sehari tangan itu mampu membuka 1000 butir kelapa.
Seperti tiada waktu istirahat, jika masih ada senggang Ayah Jon juga membuat atap rumbia.
Rumbia itu ia peroleh dari batang yang berada di dekat rumah, dimana saat itu pohonnya masih banyak tumbuh.
Mulai dari mengambil daun dan merajutnya semua dilakukan sendiri, tanpa melihat, ia hanya mengandalkan indera peraba, ingatan dan fisiknya.
“Karena tidak bisa melihat, tangan ayah saya, itu habis ditusuk duri kalau mengambil daun rumbia itu,” tuturnya, memenggal sekeping cerita demi cerita dari ingatan tentang ayahnya.
Rutinitas Juari yang tidak lepas dari kerja dan kerja, juga menurun pada Jon Hendri kecil. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) negeri di Sungai Sarik, ia turut membantu ayahnya.
Tubuh mungil anak umur tujuh tahun itu sudah memikul 15 kg -20 kg kopra (daging buah kelapa yang dikeringkan), di jalan sepanjang 2 kilo meter menuju pabrik, toko atau gudang.
Hal ini ia lakukan sembari menuntun ayahnya yang memanggul 50 kg kopra, kaki mungilnya itu menapaki jalan tanah, anak sungai dan kerikil bukit sebelum sampai ke tujuan.
Hal itu rutin ia lakukan sesuai jadwal sekolahnya. “Kalau Sekolah pagi saya mengantarkan kopra sore, kalau libur baru pagi,” terangnya mengenang rutinitas selama enam tahun itu.
Semua itu ia lakukan bukan atas keinginan Jon kecil, tapi kebutuhan keluarganya agar bisa bertahan hidup.
Setelah menyelesaikan sekolah dasar, selesai pula ia mengantarkan kopra berjalan kaki. Masa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Sungai Sarik, kopra ia bawa menggunakan pedati bertenaga kerbau.
Rute jalannya masih sama, bedanya masa itu ia tidak berjalan kaki lagi. Ia hanya duduk di atas pedati bertumpuk kopra lalu ditarik oleh kerbau.
Jam kerjanya juga sedikit berbeda, jika biasanya menyesuaikan jam sekolah, saat menggunakan pedati anak 13 tahun itu mengantarkan kopra setiap pagi jelang masuk sekolah.
Sehingga setiap pagi ia sudah membawa perlengkapan sekolah, agar bisa langsung belajar sehabis mengantar kopra.
Perlengkapan itu ia pakai setelah mandi di anak sungai dan mengikatkan tali pedati ke pohon.
Penambahan usia, membuat kerjanya juga bertambah. Sepulang sekolah Jon juga mengembala kerbau penarik pedati itu, sebelum beristirahat di rumah.
Meski sudah sekeras itu berjuang untuk mengenyam pendidikan, semasa SMP Jon sempat tinggal kelas dan pindah ke SMP di Padang Sago lalu tamat di sana.
“Waktu itu kepala sekolahnya tidak mau menaikan saya,” katanya tertawa mengenang peristiwa itu.
Selain kepala sekolah yang tidak ingin ia naik kelas, Jon mengaku bahwa dirinya juga tidak laten dan giat dalam belajar.
Beruntung pendidikannya tidak terputus, Jon yang sudah mulai remaja melanjutkan pendidikan di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri di Sungai Sarik.
Masih dengan rutinitas yang sama setiap harinya, Jon berhasil menyelesaikan masa SMA tepat waktu, ia tamat tahun 1993.
Bak pinang di belah dua, semasa remaja, kegigihan ayahnya lambat laun menurun pada Jon. Selain menyelesaikan kewajiban bersekolah, di tempat tinggalnya Jon cukup aktif di tengah masyarakat.
Ia rutin membantu memasang dan menghidupkan genset milik masyarakat saat pesta pernikahan dan bulan ramadhan.
Genset yang pada masa itu adalah barang mewah karena, listrik belum masuk ke dusunnya.
Bahkan ia punya kenangan hangat dengan genset, dimana saat memasangnya jelang berbuka puasa di masjid, genset itu berulah.
Sehingga ia harus menghisap tempat pengisian minyaknya agar kembali menyala.
“Saya coba pelan-pelan, eh ternyata terminum,” katanya tertawa mengingat kejadian itu.
Akibat kejadian itu, Jon memiliki pengalaman yang jarang dimiliki semua orang yaitu berbuka puasa dengan solar.
Saat genap usia 20 tahun, setelah menyelesaikan SMA, Jon melamar ke perguruan tinggi Universitas Negeri Padang (UNP) saat ini, hanya saja tidak lulus.
Lalu anak keenam dari tujuh bersaudara ini pergi ke Bukittinggi bekerja di terminal Aur Kuning di ajak abangnya.
Abang ini yang melarangnya untuk langsung mengikuti tes TNI dan Polri.
“Abang saya itu keras, jadi kalau ia suruh kuliah, saya tidak bisa menolak,” terangnya mengenang sosok yang sangat berjasa dalam karirnya sampai saat ini.
Anjuran abangya itu dituruti oleh Jon, ia turut mengecap kehidupan keras ala terminal masa itu.
Bersimpah keringat, air mata, bermandi debu, asap, adu jotos dan menahan selera.
Semua ia coba agar bisa membiayai hidup dan melanjutkan kuliah di Universitas Muhamadiyah Sumatera Barat jurusan Hukum.
Semasa kuliah, kelemahannya dalam dunia pendidikan membuat Jon sempat kesulitan beradaptasi , bahkan ia pernah mendapat Indek Prestasi Kumulatif (IPK) di bawah 1,5 dari 4,00.
Tapi kerasnya kehidupan di terminal membuatnya malah lebih semangat untuk berkuliah, lingkungan di terminal tidak turut mempengaruhi tekadnya.
Sayangnya, jelang beberapa bulan sidang skripsi untuk menyelesaikan kuliah sebelum wisuada, ayahnya meninggal (1999).
Kepergian ayahnya membuat Jon sangat terpukul, cita-citanya ingin membawa Juari pergi ke tempat ia di wisuda hancur.
“Kepergiannya itu membuat saya sangat sedih, ayah tidak ada saat tali toga dipindahkan sewaktu saya wisuda,” katanya sembari menyeka air mata.
Ayah yang merupakan sosok penting dalam hidupnya itu, juga tidak melihat Jon lulus mengikuti tes kedua perwira polisi sumber sarjana tahun 2000.
Pria yang semasa hidupnya tidak pernah membuat keuarganya kelaparan itu, juga tidak hadir saat ia menyelesaikan pendidikan di Jawa Tengah dan mendapat pangkat Inspektur Polisi dua.
Bahkan pria yang tidak pernah menuntut dan memintanya untuk jadi apapun sejak Jon kecil itu, tidak pernah merasakan gaji Jon sebagai seorang polisi saat menjalani tugas perdana di Polres Agam tahun 2003.
Selama bertugas di Polres Agam, Jon selalu membawa ibunya, bahkan sampai akhir masa tugasnya di polres Agam. Ibunya juga turut melihat anak bujangnya menikah tahun 2005 dan dikaruniai seorang anak laki-laki tahun 2006.
Tapi pada tahun 2008 ibunya meninggal, lalu Jon pindah tugas ke Polda Sumbar di Direktorat Intelkam selama 10 bulan sampai akhir 2009.
Kesedihan mendalam atas kepergian ibunya juga dirasakannya.
“Alhamdulillah jelang akhir hayatnya ibu masih bisa menikmati hasil keringat saya, waktu itu saya berharap ia merasa tidak sia-sia telah membesarkan saya,” terang pria yang pernah menjabat Kasat Intel di Polres Padang Panjang selama tiga tahun itu (2009-2012).
Kegigihan dan kreatifitas ayahnya selama menjadi polisi terus mengalir dalam diri Jon, hal itu terlihat saat ia bertugas selama 9 tahun di Polresta Padang.
Di sana karirnya terus menanjak, mulai dari menjabat Kanit intel, Kapolsek Padang Timur, Kapolsek Koto Tangah, Kasat Bimas dan kembali lagi menjabat Kasat Intel di penghujung tugasnya di Polresta Padang tahun 2021.
Setelah malang melintang di Polresta Padang, prestasi dan inovasi yang ia miliki membuatnya kembali pindah tugas ke Polda Sumbar beberapa bulan dan baru menjabat sebagai Waka Polres Pariaman tahun 2022.
“Alhamdulillah, sampai saat ini jabatan itu masih saya emban,” kata ayah tiga anak itu.
Meski sudah sampai ke tahap sekarang, tetap saja ayahnya tidak pernah melihat dan merasakan capainnya. Ayah yang jadi pahlawan dan motivasi dirinya untuk bisa terus berdiri dan bertahan sampai saat ini.
Badan Jon yang tegap, gempal dan suara tegas itu, kembali bergetar dan goyah saat ia mengingat sosok ayahnya.
Baginya tiada yang lebih berarti selain keberadaan ayahnya saat ia sudah sampai pada tahap ini. “Saya kira kalau ayah masih ada, mungkin ayah orang paling bahagia di dunia ini,” katanya menyeka air mata yang belum sempat jatuh itu.
Apa yang dilakukan ayah Jon dan petuahnya selalu terpatri dalam dirinya, selama bertugas sebagai polisi dan berpindah-pindah. Ia tetap melakukan usaha menambah gaji (Umega) untuk memperkuat pondasi ekonominya.
Semasa bertugas Jon pernah menjadi pemasok bahan material di perusahaan, menyewakan truk, menjual mobil bekas dan ragam lainnya.
Umega yang ia lakukan sedikit demi sedikit ia kumpulkan untuk membeli lahan di kawasan Aur Malintang, di lahan itu ia bertani dan berkebun.
Lahan yang ia beli dari hasil umega itu, saat ini sudah mencapai 15 hektare, di sana ia menanam jagung, papaya dan lainnya.
Lahan produktif itu baru-baru ini tanahnya ia petakan dan ia kapling sebanyak 27 kapling. Kaplingan tanah itu ia bagikan pada masyarakat setempat yang berkeinginan memiliki rumah tapi tidak punya tanah.
“Semua itu saya lakukan agar tidak ada lagi masyarakat setempat merasakan kehidupan seperti saya dulu, saya ingin anak-anak di sana hidup lebih nyaman,” terang pria yang jago berpetatah petitih ini.
Sepenggal kalimat ayahnya “jadilah berguna untuk banyak orang” tidak bisa lepas dari Jon, sehingga ia tidak mau menunggu kaya atau harus memiliki jabatan tinggi dulu untuk membantu sesama.
Baginya kesempatan yang saat ini ada harus segera Ia gunakan untuk bermanfaat bagi orang banyak.
Ia berharap melalui tanah kaplingan itu, kawasan tersebut jadi ramai sehingga berdampak pada roda ekonomi masyarakat.
Semua capaian Jon hari ini, baginya masih kurang lengkap karena ayahnya tidak pernah melihatnya karena keterbatasan fisik itu. Ayahnya juga tidak pernah merasakan buah ia membesarkan anaknya sampai ke titik seperti ini.
“Kalau almarhum masih hidup, saya yakin ia orang paling bahagia di dunia ini,” katanya, kali ini dengan sorot mata yang tajam dan suara berat.
Kini perangai dan petuah ayahnya itu coba ia teruskan pada anaknya, Jon mau cucu Juari bisa tumbuh dan besar tetap dalam nilai-nilai kehidupan yang ia warisi.
Meski almarhum Juari tidak pernah melihat anaknya, begitu juga cucu dan istri Jon, tapi sifat Juari dan nasihatnya terus hidup hingga saat ini. (*)
| Tim SAR Lanjutkan Pencarian Hari Kedua Nelayan Batang Gasan yang Hilang Kontak di Perairan Tiku |
|
|---|
| 3 BERITA POPULER SUMBAR: Ayah Cabuli Anak Tiri, Satu Hektar Lahan Terbakar dan Tuan Rumah PON 2032 |
|
|---|
| Ayah Tiri di Batang Anai Diduga Cabuli Anak Sambung, Ditangkap Polisi di Sebuah Kafe di Padang |
|
|---|
| 3 BERITA POPULER SUMBAR: Tes DNA Bayi Dibuang, Pelaku Pungli Ditangkap dan Komplotan Narkoba |
|
|---|
| Polisi Gagalkan Transaksi Sabu di Bengkel Padang Pariaman, Tiga Pelaku Ditangkap |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.