Revolusi Pelayanan 24 Jam, Tim CIGIN, Jawaban Perumda Tirta Anai Atas Erosi Kepercayaan Pelanggan

Air, Kata sederhana yang memuat kebutuhan paling mendasar bagi setiap sendi kehidupan.

Penulis: Panji Rahmat | Editor: Mona Triana
istimewa
TIRTA ANAI: Karyawan Perumda Tirta Anai, melakukan perbaikan pada pipa yang mengalami kerusakan di Padang Pariaman, Sumatera Barat, beberapa waktu lalu. Perbaikan pipa ini menjadi titik sentral bagi perusahaan untuk tetap menjaga pasokan air bisa mengaliri puluhan ribu pelanggan yang ada. 

TRIBUNPADANG.COM, PADANG PARIAMAN – Air, Kata sederhana yang memuat kebutuhan paling mendasar bagi setiap sendi kehidupan.

Namun, bagi puluhan ribu warga Padang Pariaman dan sekitarnya, ketergantungan pada kebutuhan vital ini, yang seharusnya diemban oleh Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Air Minum Tirta Anai, kini terasa layaknya sebuah tragedi terpendam

Mereka bukan sekadar pelanggan, mereka adalah sandera dalam drama pelayanan publik yang tak kunjung usai sejak 1989.

Sejak lama, Perumda Tirta Anai mengalirkan air, tapi gagal mengalirkan kepuasan.

Selama bertahun-tahun, yang menggerus kepercayaan masyarakat bukanlah bencana alam, melainkan bencana teknis yang laten.

Baca juga: Direktur Baru Perumda Tirta Anai, Era Baru Penyehatan dan Optimisme di Padang Pariaman

Sebuah lingkaran setan pelik masalah operasional, infrastruktur usang, dan layanan pelanggan yang dingin, selalu diselimuti perisai rapuh bernama kendala keuangan dan regulasi.

Di tengah pusaran dalih tersebut, konsumen menjadi korban sesungguhnya.

Gangguan pada aktivitas harian, ancaman kesehatan, hingga kerugian finansial perlahan menggerus kesabaran sehingga melumpuhkan sendi kepercayaan.

Seperti yang dialami Eka Guspriadi, setelah bertahun-tahun menanti janji manis ketersediaan air 24 jam, ia memutuskan menyerah.

Menutup layanan Tirta Anai bukan sekadar mencabut meteran, melainkan sebuah penegasan pahit, janji perusahaan itu palsu.

“Beberapa bulan pertama lancar. Setelah itu, air hanya hidup di waktu tertentu. Bahkan sebelum saya tutup, air hanya masuk satu kali sehari. Parahnya, waktunya pas kami sedang sibuk bekerja,” ujarnya yang mengakhiri langganan beberapa tahun lalu.

Bagi Eka, drama rebutan waktu dengan keran air yang pelit sudah terlalu melelahkan. Ia memilih berpaling, mencari solusi mandiri, meninggalkan kekecewaan yang sudah terakumulasi.

Ironisnya, Eka bukanlah satu-satunya, banyak konsumen lain mengalami nasib serupa, namun memilih jurus pamungkas, pasrah.

 Mereka menerima keadaan, memilih diam dalam kekecewaan massal yang terorganisir oleh kondisi.

Lain lagi cerita Andri Permana, baginya, hidup adalah seni mengamati jam air. Ia harus selalu siaga.

Begitu Tirta Anai mengaliri rumahnya, detik itu juga menjadi jam darurat nasional baginya untuk mengisi bak mandi, ember, hingga galon plastik. Stok air, baginya, sama dengan stok kesabaran.

Pilihan ini bukan tanpa alasan. Berkali-kali ia menyampaikan keluhan, berkali-kali pula ia hanya mendapat respons yang jauh dari kata memuaskan.

“Namanya juga butuh, tentu saya berusaha lapang dada saja. Terpenting airnya tidak kosong melompong. Soalnya kalau kosong, aktivitas bisa terganggu parah,” keluhnya. Keluh kesah yang selama ini terpendam, kini berceceran di permukaan.

Bagi Andri, minimal Perusahaan harus berhenti berlindung di balik kondisi alam dan finansial perusahaan setiap kali konsumen berteriak.

 Sejatinya para pelanggan butuh penjelasan yang jujur dan, yang terpenting, tindakan nyata atas setiap masalah yang dialami pelanggan.

Memang, secara statistik, masalah ini mungkin belum mengganggu pertumbuhan jumlah konsumen Tirta Anai.

Orang-orang baru terus berlangganan karena tidak punya pilihan. Namun, di bawah permukaan angka-angka yang aman itu, terjadi erosi massif yang jauh lebih berbahaya, runtuhnya kepercayaan konsumen.

Narasi negatif di tengah masyarakat bukanlah bisikan sepele yang bisa diabaikan dengan dalih klise. Ini adalah alarm.

 Jika Perumda Tirta Anai terus membiarkan keran-keran itu kering dan jeritan konsumen menjadi sunyi, mereka tidak hanya kehilangan customer, tapi juga kehilangan makna sebagai penyedia kebutuhan publik.

Cermin Pahit dari Internal, Menelanjangi Tirta Anai yang Tak Kunjung Melakukan Pembaharuan

Di balik jeritan konsumen yang kering, ada pengakuan sunyi, menyayat dari ruang internal perusahaan.

Manajer Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Perumda Tirta Anai, Yoji, adalah salah satu dari sedikit suara yang berani menyalakan lampu sorot pada masalah kronis perusahaan.

Baginya, data bukanlah prestasi, melainkan refleksi dari potensi yang terbuang sia-sia.

Saat Yoji bergabung 21 tahun lalu, pelanggan Tirta Anai menyentuh angka 7.000 sambungan. Kini, angkanya melonjak sekitar 28.000 pelanggan.

Namun, di mata Yoji, angka itu bukan pencapaian, melainkan penanda betapa besar lahan masih terabaikan

“Jika kita bandingkan dengan jumlah penduduk Kabupaten Padang Pariaman yang lebih dari 400 ribu jiwa, tersebar di 17 kecamatan dan 103 nagari plus layanan di 4 kecamatan Kota Pariaman angka 28.000 itu masih sangat kecil. Potensi kita luar biasa besar, tetapi belum tergarap maksimal,” tuturnya, membuka lembaran kegagalan historis.

Yoji menyimpan mimpi besar, Tirta Anai mengaliri 50.000 rumah warga Padang Pariaman pada tahun 2030.

Target ambisius, tapi baginya, sangat realistis. Syaratnya cuma satu, perubahan dari internal, baik segi budaya dan cara pikir pimpinan hingga karyawan.

“Andai saja pada periode-periode sebelumnya perusahaan ini dikelola secara profesional dan berorientasi pada pengembangan jangka panjang, target 50.000 pelanggan itu sangat mungkin sudah kita lampaui,” ujarnya, melayangkan kritik tajam ke masa lalu manajemen.

Selama bertahun-tahun, Tirta Anai seolah dibelenggu oleh paradigma usang perusahaan daerah adalah area bancakan atau sapi perahan.

Sebuah anggapan keliru yang membuat aset dieksploitasi habis-habisan tanpa diiringi perbaikan dan investasi yang memadai. Alhasil, para pelanggan tergadaikan.

Warisan kelam itu kini menjadi beban tak terhindarkan. Urat nadi perusahaan, jaringan pipa distribusi utama, sebagian besar tidak pernah diganti sejak tahun 1997.

Usianya sudah lebih dari seperempat abad, kondisinya rapuh, rentan bocor (menggerus pendapatan), dan ukurannya tak lagi sanggup memompa air untuk puluhan ribu kepala keluarga.

Agar bisa melakukan peremajaan total dan mencapai target 50.000 pelanggan impiannya, Yoji telah menghitung biayanya, dibutuhkan dana investasi kolosal, lebih dari Rp100 miliar.

Paling menyakitkan dari pengakuan Yoji adalah fakta bahwa peluang untuk berbenah pernah datang bukan hanya sekali, tapi berkali-kali, tapi semuanya diabaikan.

Ia mengenang dengan getir tawaran bantuan dari USAID pasca-gempa besar 2009.

Bantuan yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk perbaikan sistem dan pemasangan saluran baru, menguap begitu saja, hilang tanpa tindak lanjut serius dari manajemen kala itu.

“Begitu pula periode 2011-2015. Ada program bantuan pemerintah pusat melalui Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di lima titik. Program ini sangat pro-rakyat, di mana Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dibebaskan dari biaya pasang baru karena disubsidi negara,” ungkapnya.

“Sayangnya, program ini pun tidak dimanfaatkan secara maksimal,” tambahnya.

Warisan kegagalan masa lalu ini, memaksa pelanggan seperti Eka Guspriadi menutup layanan dan pelanggan seperti Andri Syahputra harus siaga di depan keran.

Warisan ini pula yang membuat Tirta Anai kini harus berjuang keras di tengah jaringan pipa rapuh dan tuntutan konsumen yang kian memuncak.

Napas Baru di Tengah Jaringan Usang, Lahirnya Tim CIGIN sebagai Janji Perubahan

Jika kesaksian getir dari Manajer Litbang, Yoji, adalah cermin pahit dari masa lalu yang terbuang, kini Perumda Air Minum Tirta Anai mencoba menawarkan seberkas harapan baru.

Di tengah warisan pipa rapuh berusia seperempat abad dan kepercayaan konsumen yang terkikis, perusahaan ini menyambut Direktur baru, Aznil Mardin, yang mulai menjabat sejak Juni 2025.

Kedatangannya membawa satu pesan tegas, Paradigma harus diubah, pelayanan adalah harga mati.

“Saya sadar betul, pelanggan adalah rapor merah bagi kami,” ujar Aznil Mardin, Direktur Perumda Tirta Anai, membuka pembicaraan.

 Ia mengakui, masalah ini bukan lagi sekadar kendala teknis, melainkan kepercayaan pelanggan yang makin menipis.

Baginya masyarakat berhak mendapat air bersih berkelanjutan.

Supaya hal itu terwujud pihaknya tidak bisa lagi berlindung di balik dalih finansial atau bencana alam. Namun, hanya melalui inovasi dan tindakan.

Respon pertama Aznil dalam persoalan yang ada dengan menguatkan bagian internal Perusahaan, menyamakan pemahaman dan visi untuk kemajuan.

Perlahan semua tertata, Aznil menyuntikkan nyawa pada area yang paling krusial kecepatan penanganan masalah.

Berdasarkan kajian strategis di ruang Litbang, lahirlah sebuah unit kerja khusus, Tim CIGIN (Tim Cepat Tanggap Pelayanan).

Tim ini dibentuk oleh Perumda Air Minum Tirta Anai Kabupaten Padang Pariaman untuk fokus pada peningkatan kualitas pelayanan air minum melalui respons darurat yang cepat dan tepat.

CIGIN, yang merupakan akronim dari nilai-nilai inti tim menjadi janji Tirta Anai kepada publik. CIGIN sendiri merupakan singkatan dari Cepat, Informatif, Gigih, Ikhlas dan Nyata.

“Ini bukan hanya janji di atas kertas. Ini adalah mekanisme kerja yang kami pertaruhkan,” tegas Aznil.

CIGIN di Garis Depan, Pertarungan Melawan Kebocoran

Tim CIGIN hadir sebagai first responder utama dalam menangani segala bentuk gangguan darurat pada jaringan air minum, beroperasi 24 jam untuk kasus-kasus kritikal.

Tim berfokus pada respons darurat dalam menangani permasalahan infrastruktur Unit Air Baku, Unit Produksi, Unit Distribusi, dan Daerah Pelayanan.

Tugas utama Tim Si-Cigin adalah melaksanakan kegiatan operasional di lapangan yang bersifat responsif dan teknis.

Di tengah keluhan air yang hanya mengalir satu kali sehari seperti yang dialami Eka, peran CIGIN menjadi vital.

Mereka melakukan Patroli dan Pemantauan Rutin, dengan melakukan inspeksi visual secara berkala pada seluruh jaringan pipa utama, pipa distribusi, dan titik-titik kritis lainnya.

Sekaligus memantau tekanan air pada berbagai titik jaringan untuk mendeteksi anomali yang mengindikasikan kebocoran.

Tim Cigin juga bertanggung jawab Melakukan Pendeteksian Kebocoran secara prosedural dan sistematis, menggunakan teknologi dan peralatan khusus seperti geophone atau noise correlator untuk memastikan lokasi kebocoran yang tidak terlihat di permukaan.

Jika ditemukan masalah, tim ini Melaksanakan Perbaikan Segera (Emergency Repair), termasuk melakukan perbaikan atau penggantian bagian pipa yang bocor atau rusak, sembari Memastikan kualitas sambungan dan perbaikan sesuai standar teknis.

Fokus pada perbaikan jaringan yang bocor secara cepat ini sangat penting, sebab Tim CIGIN secara langsung berkontribusi dalam mengurangi NRW (Non-Revenue Water), meningkatkan kontinuitas suplai air, dan menjaga kualitas air, yang pada akhirnya meningkatkan kepuasan pelanggan.

“Target kami sederhana, memastikan semua panggilan darurat dan layanan gangguan ditangani dalam waktu respons yang telah ditetapkan, misalnya, 1-2 jam untuk gangguan kritikal,” jelas Direktur Aznil, merujuk pada salah satu Tanggung Jawab Operasional Tim CIGIN.

CIGIN bukan hanya tukang tambal. Mereka bertanggung jawab memberikan laporan harian yang informatif dan akurat kepada atasan langsung, mencakup lokasi, jenis gangguan, tindakan yang diambil, dan material yang digunakan.

Tim ini menjadi penghubung informasi yang vital antara lapangan dengan pusat kendali operasi dan bagian humas, serta wajib Menginformasikan kepada masyarakat (baik langsung maupun melalui humas) mengenai rencana penutupan aliran, perbaikan, atau gangguan yang akan terjadi.

Ini adalah jawaban langsung terhadap keluh kesah Andri yang merasa perusahaan tidak pernah memberikan penjelasan yang memuaskan.

Selain itu, mereka bertanggung jawab melayani masyarakat dengan sopan, ramah, dan profesional, serta membersihkan dan merapikan kembali area kerja setelah perbaikan selesai (reinstatement).

Lahirnya CIGIN sebagai pengakuan resmi bahwa Tirta Anai tidak bisa lagi menyalahkan kondisi. Meskipun tantangan investasi Rp100 miliar untuk peremajaan total masih membayangi, inovasi CIGIN adalah langkah pertama, sebuah janji bahwa pelayanan publik kini menjadi orientasi utama.

“Kami tahu kami belum sempurna, tapi kami telah bergerak. Mulai hari ini, setiap pelanggan adalah prioritas. Kami akan melayani dengan tulus dan penuh tanggung jawab, hingga air mengalir nyata, tidak hanya sebagai ilusi,” tutup Aznil Mardin dengan keyakinan, menaruh harapan besar pada Tim Cepat Tanggap Pelayanan barunya.

Sumber: Tribun Padang
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved