Citizen Journalism

Opini: Faktor Penyebab Tergerusnya Penggunaan Bahasa Minangkabau, dan Upaya Menjaga Eksistensi

BAHASA bukan hanya alat komunikasi, tapi juga identitas budaya. Dalam konteks masyarakat Minangkabau, bahasa Minang tak sekadar medium berbicara, teta

Editor: Emil Mahmud
MAGANG FIB UNAND/WAHYU SEPTIO A
PAKAIAN TRADISIONAL MINANGKABAU Sekelompok remaja yang berpose menggunakan baju atau pakaian adat tradisional Minangkabau, setelah tampil memainkan alat musik dan tari tradisional di acara wisuda di salah satu kampus di Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat atau Sumbar, baru-baru ini. 

Oleh: Wahyu Saptio Afrima, Mahasiswa Prodi Sastra Minangkabau, FIB Unand, sedang magang di TribunPadang.com

BAHASA bukan hanya alat komunikasi, tapi juga identitas budaya. Dalam konteks masyarakat Minangkabau, bahasa Minang tak sekadar medium berbicara, tetapi juga refleksi nilai, norma, dan adat yang telah hidup berabad-abad.

Namun, pada saat derasnya arus globalisasi dan penetrasi budaya urban, eksistensi bahasa Minangkabau mulai mengalami kemunduran, terutama di kalangan generasi muda. Fenomena ini memunculkan keprihatinan mengenai nasib bahasa daerah yang kian terpinggirkan.

Menurut Kamus Linguistik (Kridalaksana, 2008), bahasa adalah sistem lambang bunyi arbitrer yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri.

Sedangkan bahasa daerah merupakan bentuk variasi bahasa yang digunakan oleh komunitas tertentu di wilayah geografis tertentu, dan seringkali menjadi bagian penting dalam pelestarian identitas budaya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, bahasa daerah diakui sebagai kekayaan budaya nasional yang wajib dilindungi dan dilestarikan.

Dalam konteks ini, bahasa Minangkabau menjadi salah satu bahasa daerah yang memiliki peran penting dalam warisan budaya Indonesia.

Bahasa Minangkabau dikenal dengan kekayaan ungkapan, pepatah-petitih, dan struktur sosial yang tertanam dalam kosakatanya. Namun, saat ini banyak anak muda Minang yang lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia yang bercampur dengan bahasa gaul atau bahkan slang ala kota besar.

Misalnya, dalam kehidupan sehari-hari, frasa seperti "Iyo bana" atau "Apo kaba?" mulai tergantikan dengan "Iya dong" atau "What's up?". 

Fenomena ini makin kentara di media sosial dan lingkungan perkotaan. Tak jarang, anak muda Minang yang lahir dan besar di ranah Minang pun merasa canggung atau tidak percaya diri menggunakan bahasa Minang karena dianggap kuno, tidak keren, atau kampungan.

PAKAIAN TRADISIONAL MINANGKABAU Sekelompok remaja yang berpose menggunakan baju atau pakaian adat tradisional Minangkabau, setelah tampil memainkan alat musik dan tari tradisional di acara wisuda di salah satu kampus di Kota Padang baru-baru ini.
PAKAIAN TRADISIONAL MINANGKABAU Sekelompok remaja yang berpose menggunakan baju atau pakaian adat tradisional Minangkabau, setelah tampil memainkan alat musik dan tari tradisional di acara wisuda di salah satu kampus di Kota Padang baru-baru ini. (MAGANG FIB UNAND/WAHYU SEPTIO A)

Ada beberapa faktor yang menyebabkan tergerusnya penggunaan bahasa Minangkabau di kalangan muda.

Pertama, dominasi media sosial dan budaya pop

Konten-konten di TikTok, Instagram, dan YouTube lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia bercampur slang Inggris. Hal ini memengaruhi gaya bicara remaja yang ingin terlihat modern. 

Kedua, persepsi negatif terhadap bahasa daerah

Bahasa Minang sering kali diasosiasikan dengan sifat kasar atau kaku oleh sebagian generasi muda, yang tidak dibarengi dengan pemahaman filosofis di balik gaya tutur orang Minang. 

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved