Kasus Kekerasan Seksual

RPSA Delima Berdikari Menjaga Anak Korban Kekerasan Seksual dan Mendampingi ABH Sekuat Tenaga

Baru jua matahari menyeruak, Fatmiyeti Kahar sudah terbangun untuk rutinitas hariannya, mendampingi belasan Anak Mendapat Perlindungan Khusus (AMPK)..

Penulis: Panji Rahmat | Editor: Fuadi Zikri
Foto: Panji Rahmat/tribunpadang.com
KASUS ANAK - Ketua RPSA Delima Fatmiyeti Kahar memeriksa tugas para korban yang mendapatkan pendampingan. Baru jua matahari menyeruak, Fatmiyeti Kahar sudah terbangun untuk rutinitas hariannya, mendampingi belasan Anak Mendapat Perlindungan Khusus (AMPK) dan Anak Berurusan Hukum (ABH). 

TRIBUNPADANG.COM, PARIAMAN - Baru jua matahari menyeruak, Fatmiyeti Kahar sudah terbangun untuk rutinitas hariannya, mendampingi belasan Anak Mendapat Perlindungan Khusus (AMPK) dan Anak Berurusan Hukum (ABH).

Sejak pagi ia harus membangunkan tujuh korban pencabulan dan kekerasan seksual yang masih di bawah umur untuk menjalani rutinitas sekolah.

Para korban ini sekarang sedang dalam pendampingan Fatmiyeti Kahar, jumlah seluruhnya sebanyak 19 orang.

11 di antaranya AMPK berjenis kelamin perempuan dan sisanya ABH berjenis kelamin laki-laki.

Total dari 19 orang ini, menjalani rutinitas hariannya di Peran Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Delima, Kota Pariaman, Sumatera Barat.

Berdiri sejak tahun 1990-an, RPSA Delima fokus pada korban kekerasan seksual, pelecehan dan pencabulan.

"Perjalanan RPSA ini sangat panjang penuh dengan tantangan dan perlawanan dari masyarakat setempat. Beruntung belakangan sudah mulai diterima," tuturnya.

Baca juga: Edukasi Pendidikan Seks di Sitabu Pasaman Barat, Jejak Pengabdi Cegah Kekerasan Seksual

Sejak tahun 2014 barulah RPSA Delima memiliki kantor, di kawasan Cubadak Air, Pariaman Utara, Kota Pariaman, Sumatera Barat.

Kantor tersebut merupakan rumah tinggal yang disulap oleh Teta sapaan karib Fatmiyeti dengan memakan biaya Rp25 juta.

Biaya sewa kantor itu setiap tahunnya Rp5 juta, uangnya diperoleh melalui dana pribadi teta yang ia dapat dari penghasilan sebagai nara sumber dan donasi dari masyarakat.

Melalui jerih payah pribadinya di tahun 2021, barulah biaya sewa kantor tersebut diakomodir oleh Pemerintah Kota Pariaman, sebanyak Rp8 juta setahun.

Di kantor ini, tersedia sebanyak  empat kamar tidur untuk para korban yang dalam pendampingan.

"Di sini para korban mendapat pengamanan sampai proses sidang selesai. Karena biasanya para korban ini akan terpojok setelah menjadi korban di lingkungan masyarakat," tuturnya.

Selama dalam pendampingan para korban bisa mendapat pendampingan psikologis, belajar keterampilan dan memperkuat ibadah.

Serta Teta juga berusaha memenuhi primer dan sekunder korban setiap harinya melalui dana pribadi dan donasi masyarakat.

Kebutuhan itu meliputi makan tiga kali sehari dan kebutuhan harian lainnya seperti kebutuhan mandi dan alat keterampilan.

Biaya yang harus disiapkan Teta untuk biaya makan dan minum sekira Rp60 ribu per orang, sedangkan kebutuhan lain Rp300 ribu.

"Kalau sedang banyak yang kami dampingi terpaksa harus putar kepala untuk mencarikan biayanya," ujar Teta.

Biaya serupa juga harus ia fikirkan untuk melengkapi fasilitas yang ada, seperti halnya kasur untuk istirahat serta kamar mandi yang satu diantara tiga sudah rusak, tidak bisa digunakan.

Teta berharap situasi ini bisa dapat keringanan dari pemerintah baik Padang Pariaman dan Kota Pariaman serta provinsi.

"Sebenarnya asalkan fasilitas terpenuhi itu sudah lebih dari cukup. Kalau dipenuhi dengan dananya sendiri, saya merasa masih tidak mencukupi kebutuhan para anak," tuturnya.

_____
Baca berita terbaru di Saluran TribunPadang.com dan Google News

Sumber: Tribun Padang
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved