Citizen Journalism
Opini : Peran Pragmatik dalam Komunikasi Sehari-hari
Di tengah hiruk-pikuk dunia yang semakin ramai, ada satu hal yang sering kita abaikan: bahasa yang tak
Oleh Ike Revita, Penulis adalah, Dosen Prodi Magister Linguistik FIB Unand
Kadang, keheningan berbicara lebih jujur daripada ribuan kata di dalamnya, kita menemukan makna yang tak terucap, namun begitu dalam terasa- Ike Revita
DI TENGAHhiruk-pikuk dunia yang semakin ramai, ada satu hal yang sering kita abaikan: bahasa yang tak terucap. Kita terbiasa dengan kata-kata, terbiasa berbicara dan mendengar, hingga kadang lupa bahwa dalam keheningan, ada pesan yang begitu kuat, yang mampu menyentuh hati lebih dalam daripada seribu kata yang terucap (Revita, 2024).
Pernahkah Anda berada dalam sebuah percakapan, di mana keheningan tiba-tiba terasa lebih berbobot daripada kalimat yang baru saja diucapkan?
Atau mungkin, sebuah tatapan yang singkat namun penuh makna, yang tak perlu dijelaskan lagi dengan kata-kata? Itulah bahasa yang tak terucap. Bahasa yang tersimpan di balik gerak tubuh, senyuman yang ragu, atau bahkan dalam jeda yang penuh arti.
Penulis sebagai seorang Dosen Linguistik, selalu tertarik pada bagaimana manusia berkomunikasi, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan apa yang tidak mereka katakan.
Dalam interaksi sehari-hari, terutama di antara orang-orang terdekat, sering kali kita bisa merasakan sesuatu tanpa perlu penjelasan panjang lebar (Revita, 2023).
Sebuah genggaman tangan yang erat, misalnya, bisa berbicara tentang dukungan yang tulus tanpa satu pun kata terucap.
Di berbagai budaya, bahasa yang tak terucap ini punya peran penting. Dalam budaya Timur, seperti di Jepang, keheningan bukanlah sesuatu yang canggung, tetapi justru dipandang sebagai bentuk penghormatan atau refleksi.
Berbeda dengan budaya Barat, di mana jeda dalam percakapan sering kali dianggap sebagai hal yang perlu segera diisi dengan kata-kata, seolah-olah diam itu memalukan.
Akan tetapi, dalam kehidupan modern yang semakin didominasi oleh komunikasi digital, kita sering kehilangan kepekaan terhadap bahasa yang tak terucap ini (Revita, 2023a).
Pesan teks, email, atau postingan di media sosial sering kali kurang mampu menangkap nuansa perasaan yang biasanya terlihat dalam komunikasi langsung.
Sebuah pesan teks yang singkat bisa disalahartikan sebagai dingin atau tidak peduli, meskipun pengirimnya sebenarnya hanya ingin bersikap efisien.
Ini adalah sebuah tantangan. Bagaimana kita bisa menjaga kedekatan dan empati di dunia yang semakin virtual?
MAN IC Padang Pariaman Menebar Harapan Jemput Masa Depan: Berakit-rakit ke Hulu, Berenang ke Tepian |
![]() |
---|
Kuliah Kerja Nyata: Program Mahasiswa di Indonesia Serupa, Bakti Siswa & Magang Industri di Malaysia |
![]() |
---|
Opini Ruang Kota Tanpa Asap: Car Free Day Antara Negara Serumpun Indonesia & Malaysia |
![]() |
---|
Opini Bahasa Melayu: Bila Percuma di Malaysia, Gratis di Indonesia |
![]() |
---|
UNP Pelatihan Emotional Spritual Question di SMAN 1 Tanjung Mutiara Kabupaten Agam, Sumatera Barat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.