Citizen Journalism

Opini : Membangun Empati Lewat Bahasa, Memahami dan Merasakan Emosi Orang Lain

Membangun Empati Lewat Bahasa, Takdir tidak melihat warna kulit kita, ia melihat hati dan tindakan kit

Editor: Emil Mahmud
TribunPadang.com/Wahyu Bahar
ILUSTRASI: Seorang terpaku melihat kondisi rumah, yang terdampak musibah bencana hingga mengundang empati. 

Oleh Ike Revita, Penulis/Dosen Prodi Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalad (FIB Unand)


Takdir tidak melihat warna kulit kita, ia melihat hati dan tindakan kita - Ike Revita

 

SELAMA ini kita seolah-olah terjebak dalam lautan komunikasi tanpa henti di era modern yang penuh dengan jaringan digital dan informasi.

 

Seolah-olah kita tidak pernah lepas dari internet, notifikasi, email, media sosial, dan chat terus menyapa. Namun, terkadang kita terjebak dalam kesalahpahaman dan rasa terasing di balik banyaknya koneksi dan informasi digital.

 

Kemampuan untuk memahami dan merasakan emosi orang lain, yang dikenal sebagai empati, menjadi sangat penting dalam situasi ini.

 

Goleman (1995) memaknai empati sebagai kemampuan merasakan emosi orang lain, kemampuan untuk memahami dari dalam apa yang dirasakan orang lain itu. Senada dengan ini, Roger (1975) menyebutkan empati adalah kemampuan untuk merasakan dunia orang lain seperti yang dirasakannya sendiri.

 

Dari kedua definisi ini empati itu sendiri dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memahami dan merasakan emosi orang lain lebih dari sekadar mengetahui apa yang mereka rasakan, tetapi juga melibatkan kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi mereka dengan merasakan apa yang mereka alami.

 

Empati saat ini mencakup lebih dari sekadar interaksi langsung dan kontak fisik. Bahasa juga merupakan bagian dari komunikasi interpersonal.

 

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved