Kisah Kompol Jon Hendri, Wakapolres Pariaman, Dibimbing Petuah Ayah Seorang Tuna Netra

Berpangkat Komisaris Jenderal (Kompol) dan menjabat sebagai Wakil Kepala Polisi Resor (Waka Polres) Pariaman, Jon Hendri tetap berpegang pada satu nas

Penulis: Panji Rahmat | Editor: Mona Triana
ist
Waka Polres Pariaman Kompol Jon Hendri saat berada di Kebunnya kawasan Aur Malintang, Padang Pariaman, Sumatera Barat 

Lain waktu, saat air panas di termos, bubuk kopi dan gula habis,  tangan kasar itu juga memisahkan sabut kelapa dari batoknya, sehari tangan itu mampu membuka 1000 butir kelapa.

Seperti tiada waktu istirahat, jika masih ada senggang Ayah Jon juga membuat atap rumbia.

Rumbia itu ia peroleh dari batang yang berada di dekat rumah, dimana saat itu pohonnya masih banyak tumbuh.

Mulai dari mengambil daun dan merajutnya semua dilakukan sendiri, tanpa melihat, ia hanya mengandalkan indera peraba, ingatan dan fisiknya.

“Karena tidak bisa melihat, tangan ayah saya, itu habis ditusuk duri kalau mengambil daun rumbia itu,” tuturnya, memenggal sekeping cerita demi cerita dari ingatan tentang ayahnya.

Rutinitas Juari yang tidak lepas dari kerja dan kerja, juga menurun pada Jon Hendri kecil. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) negeri di Sungai Sarik, ia turut membantu ayahnya.

Tubuh mungil anak umur tujuh tahun itu sudah memikul 15 kg -20 kg kopra (daging buah kelapa yang dikeringkan), di jalan sepanjang 2 kilo meter menuju pabrik, toko atau gudang.

Hal ini ia lakukan sembari menuntun ayahnya yang memanggul 50 kg kopra, kaki mungilnya itu menapaki jalan tanah, anak sungai dan kerikil bukit sebelum sampai ke tujuan.

Hal itu rutin ia lakukan sesuai jadwal sekolahnya. “Kalau Sekolah pagi saya mengantarkan kopra sore, kalau libur baru pagi,” terangnya mengenang rutinitas selama enam tahun itu.

Semua itu ia lakukan bukan atas keinginan Jon kecil, tapi kebutuhan keluarganya agar bisa bertahan hidup.

Setelah menyelesaikan sekolah dasar, selesai pula ia mengantarkan kopra berjalan kaki. Masa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Sungai Sarik, kopra ia bawa menggunakan pedati bertenaga kerbau.

Rute jalannya masih sama, bedanya masa itu ia tidak berjalan kaki lagi. Ia hanya duduk di atas pedati bertumpuk kopra lalu ditarik oleh kerbau.

Jam kerjanya juga sedikit berbeda, jika biasanya menyesuaikan jam sekolah, saat menggunakan pedati anak 13 tahun itu mengantarkan kopra setiap pagi jelang masuk sekolah.

Sehingga setiap pagi ia sudah membawa perlengkapan sekolah, agar bisa langsung belajar sehabis mengantar kopra.

Perlengkapan itu ia pakai setelah mandi di anak sungai dan mengikatkan tali pedati ke pohon.

Sumber: Tribun Padang
Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved