Penanganan Covid
Webinar History and Health in Asia Oleh Sejarah FIB Unand Berlanjut, Bahas Penanganan Covid-19
Memasuki hari kedua Konferensi Internasional History and Health in Asia (16/10/2020) kembali dihelat Jurusan Sejarah Universitas Andalas (Unand)
TRIBUNPADANG.COM, PADANG - Memasuki hari kedua Konferensi Internasional History and Health in Asia (16/10) kembali dihelat Jurusan Sejarah Universitas Andalas (Unand).
Kali ini, hadir sebagai pembicara Dyah Pitaloka, Ravando, Zulprianto, Nofel Nofriadi, Wahyu Suryani dengan moderator Annie Pholman dari Universitas Queensland, Australia.
Para pembicara membincangkan banyak hal, mulai dari jejak sejarah penyakit, kearifan lokal sebagai alternatif, dan pandangan orang Minang terhadap penanganan Covid-19.
Salah seorang narasumber, Ravando yang telah meneliti Flu Spanyol Tahun 1918-1919 memberi gambaran yang utuh tentang penyakit, dampak, dan bagaimana pemerintah kolonial menanganinya.
Ravando menggarisbawahi adanya Ordonansi atau Undang-Undang (UU) khusus yang dikeluarkan pemerintah dalam menangani Flu Spanyol di Hindia-Belanda. Yakni dampaknya Flu Spanyol dinyatakan usai pada tahun 1919.
Dyah Pitaloka memaparkan seperti apa kelompok-kelompok minoritas seperti Anak Suku Dalam, mencoba mengambil bagian dalam mensosialisasikan protokol kesehatan. Melalui kearifan lokal ini masyarakat tradisional relatif berhasil menahan laju penderita Covid-19 di antara mereka.
Baca juga: Jurusan Sejarah FIB Unand Adakan Konferensi Internasional, Melalui Webinar: History Health in Asia
Baca juga: Bahas Isu-isu Lingkungan Hidup, Jurusan Geografi UNP Adakan Konferensi Internasional
Sementara Nofel menyorot ketidakefisien kampanye penanganan Covid-19 di dalam masyarakat Minangkabau.
Simpulan Nofel, untuk membuat orang makin sadar atas bahaya Covid-19 sekarang, maka pakailah kiasan atau metafora yang hidup dalam masyarakat tempatan itu sendiri.
Misalnya, metafora “singa” yang dipakai dalam menjauhi Covid-19, “Jauhilah penyakit itu sebagaimana kamu melihat atau dikejar singa. Dalam masyarakat Minangkabau, kata singa tidak memiliki arti apa-apa," paparnya.
Beda katanya apabila ditukar dengan metafora anjing gila, sehingga hampir semua orang Minangkabau tahu betapa menakutkannya anjing gila.
"Jadi bisa kita ubah, jauhilah dari penyebaran Covid-19 sebagaimana anda dikejar anjing gila. Nah itu mungkin akan lebih efektif,” jelas Nofel.
Sementara Zulprianto menerangkan bagaimana orang-orang yang selamat dari covid menggambar pengalaman kepada media melalui analisi text. Pada umumnya orang-orang ini hidup di luar Indonesia.
Helat hari kedua ini tetap mendatangkan antusias peserta dari berbagai daerah, dan kampus.
Panitia mencatat peserta berasal dari AS, Australia, Surabaya, Medan, dan Padang.
Berbagai pertanyaan kritis dan rasa ingin tahu peserta membanjiri para narasumber. Karena keterbatasan waktu dimana panitia cuma menyediakan wakt