Komposer Muda Sumbar Meretas Batas Tradisi ke Digital Parade Komposer Sumbar Soundenai

Dinas Kebudayaan Sumatera Barat menggelar Parade Komposer Sumbar "Tradisional ke Digital,"

Penulis: Panji Rahmat | Editor: Rahmadi
TribunPadang.com/Panji Rahmat
PARADE KOMPOSER SUMBAR - Dinas Kebudayaan Sumatera Barat menggelar Parade Komposer Sumbar "Tradisional ke Digital," Senin (17/11/2025), sebuah panggung ambisius yang memperlihatkan bagaimana generasi muda seniman Minangkabau menjawab tantangan modernisasi. 

Ringkasan Berita:
  • Parade Komposer Sumbar hadirkan karya baru yang memadukan tradisi Minang dengan musik digital.
  • Boby Wahyudi ubah ritme Ratok Solok menjadi pola kontemporer yang lebih dinamis.
  • Panji Maulana gabungkan Anak Balam dengan instrumen elektronik untuk menciptakan eksperimen bunyi baru.
  • Andicky dan Farli tampilkan karya berbasis tradisi yang diolah lewat teknik modern.

 

TRIBUNPADANG.COM, PADANG - Dinas Kebudayaan Sumatera Barat menggelar Parade Komposer Sumbar "Tradisional ke Digital," Senin (17/11/2025), sebuah panggung ambisius yang memperlihatkan bagaimana generasi muda seniman Minangkabau menjawab tantangan modernisasi.

Acara ini bukan sekadar pertunjukan, melainkan sebuah deklarasi bahwa warisan musik leluhur dapat hidup berdampingan, bahkan bersinar, melalui sentuhan teknologi digital kontemporer.

Di tengah sorotan utama, muncul karya-karya yang secara cermat memadukan akar budaya yang dalam dengan eksplorasi bunyi modern. Salah satunya adalah "RHYTHM HACK" dari Boby Wahyudi. 

Boby secara gamblang mengangkat Dendang Ratok Solok, musik tradisi dari Kabupaten Solok, sebagai inspirasi utama. 

Karya ini dibawakan dalam format Word Music Electronica, sebuah upaya untuk menghidupkan kembali nilai musikal tradisi Minangkabau dalam bentuk yang lebih menarik dan relevan bagi generasi masa kini.

Baca juga: HARGA HP Samsung Selasa 18 November 2025: Galaxy A55 5G, Galaxy A35 5G, Galaxy S23 Ultra

Boby tidak hanya mengutip Ratok Solok, tetapi ia melakukan pendekatan tak biasa terhadap ritme, membongkar struktur tradisional dan menciptakan pola ritmis yang segar, eksperimental, dan bahkan agak 'nakal'. 

Melalui pengolahan ritme yang dinamis, ia bermain dengan metrik 3/4, 4/4, 5/8, dan 7/8, menjadikannya fondasi utama dalam karyanya.

Pendekatan berbeda namun sama-sama mendalam datang dari Muhammad Panji Maulana dengan karyanya, "Separasi Lingual". 

Judul ini sendiri mengisyaratkan adanya pemisahan dalam komunikasi, yang kemudian dicarikan penyelesaiannya melalui media musik sebagai penyembuh. 

Panji Maulana mengangkat kesenian tradisional "Anak Balam" dari pesisir selatan, yang memiliki nilai spiritual dan pengobatan, ke dalam konteks yang lebih eksperimental.

Baca juga: Seekor Biawak Kagetkan Warga di Kuranji Padang, Sembunyi di Tumpukan Barang dalam Rumah

Untuk menjembatani tradisi dan kontemporer, ia memanfaatkan instrumen tiup tradisional Minang seperti bansi, saluang, dan sarunai, serta talempong, sebagai dasar etnik. 

Di sisi lain, ia memanfaatkan instrumen elektronik, seperti synthesizer atau sample, yang diolah secara halus untuk memberi efek suara yang lebih etereal, menambah kesan terapi dalam karyanya.

Seluruh komposisi dirancang untuk membawa pendengar dari ketegangan menuju resolusi yang menenangkan, menegaskan bahwa musik adalah bahasa yang bisa dimengerti tanpa batas, melampaui keterbatasan bahasa verbal dan budaya.

Sementara itu, Andicky Suprianda menghadirkan "Ritual Diksional," sebuah karya yang bersumber dari dumpiang pariaman, khususnya mengambil bagian "Wayoik jaweklah salam". 

Sumber: Tribun Padang
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved