Buta Setelah Cabut Gigi

Dokter Gigi di Pariaman Buka Suara di Tengah Tuduhan Malapraktik dalam Kasus Kebutaan Hengki Saputra

"Mencabut gigi bisa menyebabkan kebutaan itu adalah mitos, dalam ilmu kedokteran tidak ada hubungannya," tegasnya.

|
Penulis: Panji Rahmat | Editor: Rezi Azwar
TribunPadang.com/Panji Rahmat
BUTA SETELAH CABUT GIGI- Rini Susilawati dari Asir Dental Care dengan tegas membantah tuduhan malapraktik yang dialamatkan kepadanya oleh pasien Hengki Saputra. Sebelum tindakan, Rini mengaku telah melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap kondisi kesehatan pasien dan gigi yang akan dicabut. 

TRIBUNPADANG.COM, PARIAMAN – Dokter gigi Rini Susilawati dari Asir Dental Care dengan tegas membantah tuduhan malapraktik yang dialamatkan kepadanya oleh pasien Hengki Saputra.

Tuduhan ini terkait dengan klaim Hengki bahwa pencabutan giginya pada Oktober 2021, menyebabkan kebutaan.

Dalam keterangannya pada Jumat (11/7/2025), Dokter Rini menjelaskan kronologi tindakan medis yang terjadi hampir empat tahun lalu tersebut, berdasarkan catatan rekam medis kliniknya.

Saat Hengki Saputra pertama kali datang ke praktik Rini di Pariaman Tengah, ia ditemani ibunya dengan niat untuk mencabut gigi.

Baca juga: ASN se-Sumbar Dapat Penguatan HAM, KemenHAM Dorong Sinergi Lintas Sektor

Sebelum tindakan, Rini mengaku telah melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap kondisi kesehatan pasien dan gigi yang akan dicabut.

"Hasil pemeriksaan saya sampaikan pada pasien dan ibunya, bahwa kondisi pasien baik dan gigi yang akan dicabut memenuhi syarat untuk tindakan medis," ujar Dokter Rini.

Ia menambahkan bahwa gigi yang dicabut adalah gigi berlebih di bagian atas depan, dekat langit-langit mulut.

Dokter Rini menegaskan bahwa proses pencabutan gigi dilakukan dengan prosedur sederhana sesuai dengan standar operasional profesinya. Ia juga memberikan obat minum pasca-pencabutan.

Baca juga: Kuda Pacu Pemko Bukittinggi Mati di Usia 19 Tahun, Dulu Dibeli dari Australia Rp800 Juta Tahun 2008

Penjelasan ini bertolak belakang dengan pernyataan Hengki dan ibunya, Nurhasni, yang mengklaim adanya pendarahan hebat dan Dokter sempat beberapa kali beristirahat selama proses pencabutan.

"Pernyataan itu tidak masuk akal," bantah Dokter Rini.

Ia menyoroti fakta bahwa sehari setelah pencabutan, Hengki kembali datang ke kliniknya untuk menambal beberapa giginya, sebuah fakta yang juga tercatat dalam rekam medis.

"Sebelum melakukan penambalan, saya cek bagian gigi yang kemarin dicabut. Kondisinya normal, pendarahannya normal, tidak ada pembengkakan. Karena pasien memakan obat sesuai anjuran," jelasnya.

Menurut Dokter Rini, jika memang terjadi malapraktik, seharusnya ada komplikasi serius seperti pendarahan hebat, pembengkakan, atau pembusukan pada area yang baru dicabut.

Baca juga: Masih Ada ASN Tak Paham HAM di Sumbar, Kemenkumham Soroti Buruknya Pelayanan Publik

Berdasarkan kronologi dan rekam medis yang ada, Dokter Rini memastikan bahwa pernyataan pasien tidak sesuai dengan tindakan medis yang telah ia lakukan.

Ia juga dengan tegas menyatakan bahwa klaim pencabutan gigi bisa menyebabkan kebutaan adalah mitos.

"Mencabut gigi bisa menyebabkan kebutaan itu adalah mitos, dalam ilmu kedokteran tidak ada hubungannya," tegasnya.

"Saraf gigi dan mata itu berseberangan, bukan berkaitan. Saraf gigi itu berhubungan dengan rahang, sedangkan saraf mata berhubungan dengan otak," papar Dokter Rini, menjelaskan secara medis.

Oleh karena itu, ia menilai keterangan dari pihak kepolisian yang menyebutkan bahwa pertumbuhan tumor jinak maupun ganas pada otak secara tidak langsung bisa mengganggu saraf mata, dan akhirnya menyebabkan pengurangan penglihatan bahkan kebutaan seperti yang dialami Hengki Saputra, adalah sesuai.

Sebelumnya diberitakan, Polres Pariaman menghentikan penyelidikan kasus kebutaan Hengki Saputra di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat.

Kepolisian memastikan kebutaan Hengki terjadi karena tumor di kepala, bukan karena operasi cabut gigi yang Hengki jalani pada tahun 2021 di klinik Kota Pariaman.

Kanit II Satreskrim Polres Pariaman, Ipda Optah Jhonedi, menjelaskan hasil penyelidikan yang mengarah pada kesimpulan tersebut. 

Menurutnya, bukti-bukti yang terkumpul tidak mendukung dugaan malpraktik yang disampaikan oleh pihak pelapor.

"Dari penyelidikan, kita mengetahui bahwa Hengki pernah menjalani pemeriksaan dan didapatkan adanya tumor di kepala korban sebagai penyebab kebutaan," ungkap Ipda Optah Jhonedi, Kamis (10/7/2025).

BUTA SETELAH CABUT GIGI: Nasib tragis menimpa Hengki Saputra, 30 tahun, warga Koto Tabang, Ampalu, VII Koto Sungai Sariak, Padang Pariaman.
BUTA SETELAH CABUT GIGI: Nasib tragis menimpa Hengki Saputra, 30 tahun, warga Koto Tabang, Ampalu, VII Koto Sungai Sariak, Padang Pariaman. (TribunPadang.com/Panji Rahmat)

Fakta ini terungkap dari hasil radiologi yang dijalani Hengki pada tahun 2022 di RS Awal Bros Sudirman Pekanbaru. 

Penemuan ini kemudian diperkuat dengan pemeriksaan lebih lanjut di RSUD M Djamil pada Desember 2024 yang menunjukkan hasil serupa.

Ipda Optah Jhonedi menambahkan, selama proses penyelidikan, pihaknya turut mendatangkan seorang ahli radiologi. 

Ahli tersebut bertugas menerjemahkan dan menganalisis lembaran hasil pemeriksaan Hengki.

Baca juga: Aset Pemko Bukittinggi Kuda Pejantan Fort De Kock Mati, Mengalami Penurunan Fisik 2 Tahun Terakhir

"Dokter ahli menyatakan, korban memiliki tumor otak yang berpengaruh pada saraf penglihatan, sehingga mengakibatkan kebutaan," jelas Optah.

Dengan berbekal bukti yang kuat dari hasil pemeriksaan medis dan keterangan ahli radiologi, kepolisian akhirnya membuat keputusan. 

"Berdasarkan bukti tersebut, kepolisian memutuskan proses penyelidikan atas dugaan kelalaian yang menyebabkan kebutaan bukan merupakan tindak pidana," tegas Ipda Optah Jhonedi.

Meskipun penyelidikan dihentikan, pihak kepolisian membuka peluang untuk membuka kembali kasus ini apabila di kemudian hari ditemukan fakta atau bukti baru yang mendukung dugaan malpraktik.

Kasus ini menyoroti pentingnya pemeriksaan menyeluruh dalam kasus-kasus medis yang kompleks, di mana satu insiden mungkin tidak serta-merta menjadi penyebab tunggal dari kondisi yang dialami pasien.

Indikasi malpraktik dalam kasus kebutaan Hengki Saputra (30), warga Koto Tabang, Padang Pariaman, kian menguat setelah pihak sebuah klinik gigi di Kota Pariaman memberikan santunan senilai Rp1 juta.

Santunan tersebut diberikan secara bertahap selama lima bulan, setelah perjuangan gigih sang ibu, Nurhasni, yang terus mendesak pertanggungjawaban pihak klinik.

"Awalnya pihak klinik menolak dan menyebut penyebab lain. Tapi saya terus mendesak sampai akhirnya mereka memberikan santunan," ujar Nurhasni.

Namun, santunan itu jelas tak sebanding dengan penderitaan Hengki yang kini mengalami kebutaan total setelah mencabut gigi bagian atas di klinik tersebut pada akhir 2022 lalu.

Tak puas, Nurhasni menuntut pertanggungjawaban yang lebih dari pihak klinik.

Namun, respons yang diterima justru menyakitkan, pihak klinik memblokir kontak Nurhasni.

Tak tinggal diam, ia kemudian menempuh jalur hukum dengan melaporkan dugaan malpraktik ini ke pihak kepolisian pada awal tahun 2025.

Laporan tersebut sempat diproses hingga ke tahap gelar perkara. Namun, menurut Nurhasni, kejanggalan terjadi saat itu.

Hengki tengah menjalani perawatan di RSUP M. Djamil Padang dan hanya ditemani sang adik, sementara ia sendiri dalam kondisi mental yang terguncang.

"Saya waktu itu memang tidak fokus karena memikirkan kondisi Hengki. Saya diminta keluar ruangan untuk istirahat, lalu setengah jam kemudian disuruh menandatangani selembar kertas yang kosong," kenangnya.

Ia mengira lembaran itu adalah persetujuan agar kasus dilanjutkan.

Baca juga: Harga Cabai Merah di Sijunjung Melonjak, Tembus Rp 40 Ribu Per Kilo

Namun, justru setelah penandatanganan tersebut, proses hukum atas dugaan malpraktik yang dialami anaknya dihentikan.

Meski begitu, Nurhasni belum menyerah. Ia berharap aparat penegak hukum membuka kembali kasus ini.

Ia meyakini memiliki bukti-bukti yang cukup untuk membuktikan bahwa kebutaan Hengki disebabkan oleh kelalaian medis pihak klinik.

Kisah Hengki Saputra adalah jeritan hati seorang anak muda yang kehilangan segalanya, dan suara seorang ibu yang tak kenal lelah memperjuangkan keadilan bagi buah hatinya.

Di tengah kegelapan yang pekat, mereka masih berharap, suatu hari nanti, cahaya keadilan akan kembali menerangi. (*)

Sumber: Tribun Padang
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved