Citizen Journalism

Totto-Chan dan Jiwa Manusia : Menurut Lacan

Sastra seringkali menjadi cara terbaik kita untuk melihat ke dalam pikiran dan perasaan manusia. Novel Totto-Chan: Si Gadis Kecil di Tepi Jendela kary

Editor: Emil Mahmud
ILUSTRASI: ISTIMEWA
ILUSTRASI COVER NOVEL - Novel Totto-Chan: Si Gadis Kecil di Tepi Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi adalah salah satu contohnya. Ini adalah kisah nyata yang hangat tentang masa kecil Totto-Chan di sekolah Tomoe Gakuen yang istimewa, di Jepang saat Perang Dunia II akan berakhir. 

Ia juga suka "berdiri di jendela, memanggil-manggil pengamen" atau "mengobrol dengan burung walet." Ini bukan hanya kenakalan, tapi upaya Totto-Chan untuk terhubung langsung dengan dunia luar, tanpa perlu mengikuti aturan atau bahasa yang lebih kompleks. 

Keinginannya saat itu bersifat murni berdasarkan impuls dan apa yang menarik perhatiannya secara visual atau sensorik. Ia belum sepenuhnya paham bahwa di dalam kelas ada aturan tak tertulis, ada "Yang Besar Lain" (yaitu sistem sekolah dan guru) yang menuntut perilaku tertentu.

Guru-guru di sekolah lama tidak mampu menjembatani dunia khayalan Totto-Chan dengan aturan sekolah. Mereka hanya melihat "masalah" dan gagal membantu Totto-Chan masuk ke dunia aturan (Simbolik) dengan cara yang baik, sehingga ia diusir.

Perjalanan Totto-Chan ke sekolah Tomoe Gakuen adalah titik balik penting menuju tahap Simbolik yang lebih sehat. Di Tomoe, ia bertemu Kepala Sekolah Kobayashi, yang akan kita bahas lebih detail.

Lingkungan Tomoe sendiri—dengan "kelas-kelas yang terbuat dari gerbong kereta api," kebebasan memilih pelajaran, dan belajar di luar kelas—menjadi sistem aturan (Simbolik) yang unik dan fleksibel. 

Aturan di sini tidak menindas Imaginair Totto-Chan, tapi justru memberinya wadah yang aman. Ia belajar berbagi makanan saat makan siang yang unik, menghormati teman-teman yang berbeda (misalnya Yasuaki yang lumpuh polio), dan memahami bahwa kebebasan itu datang dengan tanggung jawab. Dia tidak dipaksa, tapi dibimbing untuk mengerti aturan baru ini. 

Proses ini, yang disebut "kastrasi simbolik" oleh Lacan, terjadi secara lembut, memungkinkan Totto-Chan membentuk diri yang lebih utuh dan mampu bersosialisasi. Ini adalah saat Totto-Chan mulai memahami bahwa ada kekurangan dalam dirinya yang tidak bisa diisi oleh citra semata, dan ia membutuhkan bahasa serta hubungan dengan orang lain untuk menjadi subjek yang berfungsi.

Namun, di tengah semua kebahagiaan itu, Totto-Chan pada akhirnya berhadapan dengan Real. Novel ini berlatar "menjelang akhir Perang Dunia II," yang merupakan ancaman besar yang tak bisa dihindari. Suara "sirene serangan udara" yang sering terdengar dan kelangkaan makanan adalah tanda-tanda Realitas perang yang tak terhindarkan dan sulit diterima.

Puncaknya adalah ketika sekolah Tomoe hancur lebur "rata dengan tanah" karena dibom. Momen ini adalah trauma murni, sebuah kehancuran yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata atau dibayangkan.

Ini menunjukkan bahwa ada hal-hal dalam hidup yang terlalu menyakitkan atau kacau sehingga tidak bisa masuk ke dalam pikiran kita secara normal. Pengalaman ini meninggalkan "lubang" besar dalam jiwa Totto-Chan, sebuah Realitas yang tak terlukiskan yang menembus semua struktur Imaginair dan Simbolik yang telah ia bangun.

Puncak dari perjumpaan Totto-Chan dengan Real adalah kehancuran Tomoe Gakuen. Ketika serangan udara Amerika menghantam Tokyo, "seluruh wilayah itu dilalap api" dan "sekolah Tomoe, gerbong-gerbongnya, ruang guru, bahkan Aula pun rata dengan tanah" akibat pemboman. 

Momen ini adalah trauma murni, sebuah ketiadaan, sebuah lubang yang tidak dapat diwakili oleh bahasa apapun. Realitas kehancuran total dan kehilangan yang tak terhingga ini melampaui kemampuan tatanan Simbolik untuk memberikan makna atau penjelasan yang memuaskan.

Ini adalah bukti nyata dari batas-batas Simbolik—bahwa ada aspek-aspek Realitas yang terlalu brutal, terlalu acak, atau terlalu traumatis untuk sepenuhnya diintegrasikan atau dijelaskan oleh bahasa dan struktur sosial. Pengalaman ini meninggalkan Totto-Chan dengan sebuah kekosongan, sebuah sisa dari Real yang tidak dapat disimbolkan.

2.Kepala Sekolah Kobayashi : Sosok Ayah yang Bijaksana dalam Simbolik

Kepala Sekolah Kobayashi adalah tokoh kunci dalam novel. Dalam pandangan Lacan, ia adalah sosok "Nama-Sang-Ayah" yang ideal. Ini berarti ia adalah perwakilan dari aturan dan otoritas yang baik, yang membimbing anak-anak tanpa menindas.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved