Citizen Journalism
Opini Ketika Cerita Bertindak Tutur
BAHASA bukan hanya sekadar alat untuk menyampaikan informasi. Dalam kajian Pragmatik, bahasa dipahami sebagai tindakan sosial yang mampu melakukan ses
oleh Ike Revita & Eva Najma, Kedua Penulis adalah Dosen Prodi Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas (FIB Unand)
BAHASA bukan hanya sekadar alat untuk menyampaikan informasi. Dalam kajian Pragmatik, bahasa dipahami sebagai tindakan sosial yang mampu melakukan sesuatu, bukan hanya sekadar bicara, tetapi bertindak (Austin, 1962; Revita, 2008)).
Hal yang sama juga berlaku dalam dunia sastra. Cerita tidak hanya berfungsi sebagai narasi atau hiburan semata, tetapi juga bertindak sebagai tindak tutur yang memengaruhi pikiran, perasaan, dan sikap pembaca.
Pragmatik, cabang ilmu linguistik yang mempelajari bagaimana konteks memengaruhi makna ujaran (Yule, 1996), dapat membantu kita memahami bahwa sastra bukan sekadar kumpulan kata-kata, melainkan sebuah medium komunikasi yang kompleks.
Baca juga: Opini Suara Perempuan dalam Kata
Cerita di dalam karya sastra kerap menyimpan maksud tersirat, niat tertentu, dan pesan sosial yang halus namun kuat. Penulis dan tokoh-tokohnya melakukan speech acts yang bisa bersifat ilokusi dan perlokusi, seperti memberi kritik, mengajak refleksi, atau menantang norma sosial.
Konsep tindak tutur (speech act) yang diperkenalkan oleh Austin (1962) dan dikembangkan oleh Searle (1969) menegaskan bahwa setiap ujaran membawa kekuatan aksi tertentu.
Dalam konteks sastra, ujaran tokoh dalam cerita juga bertindak, walau dalam ruang fiksi. Misalnya, kalimat “Aku lelah jadi perempuan baik-baik” bukan sekadar ungkapan, tetapi sebuah pernyataan kritik sosial terhadap ekspektasi gender yang kaku.
Sastra perempuan modern di Indonesia, seperti karya-karya Ayu Utami, misalnya, memperlihatkan bagaimana cerita dapat menjadi suara perlawanan.
Baca juga: Opini: Bahasa Kita, Cermin Perilaku Kita
Novel Saman (1998) mengangkat narasi perempuan yang menantang dominasi budaya patriarki lewat bahasa yang berani dan ekspresif. Dalam konteks Pragmatik, ini adalah tindak tutur yang menyuarakan keinginan dan identitas yang selama ini ditekan.
Salah satu daya tarik utama sastra adalah kemampuan menyampaikan makna yang tidak eksplisit atau dalam Pragmatik disebut implicature (Grice, 1975).
Dalam teks sastra, ironi, sindiran, dan keheningan adalah strategi berbahasa yang mengundang pembaca untuk ‘membaca antara baris’. Dengan begitu, pembaca diajak untuk aktif menafsirkan pesan di balik kata-kata yang tertulis.
Kisah dalam cerita-cerita Seno Gumira Ajidarma, misalnya, sering menggunakan teknik ini untuk menyindir kondisi sosial dan politik tanpa harus menyatakannya secara langsung.
Melalui cara ini, sastra berperan sebagai ruang dialog sosial yang kritis, sekaligus aman, di tengah pembatasan kebebasan berekspresi.
Pendekatan Pragmatik memperkaya cara kita membaca karya sastra. Tidak cukup hanya memahami plot atau karakter, tetapi kita juga perlu menyadari konteks sosial, budaya, dan tujuan komunikasi di balik cerita (Revita, 2023).
Apa yang dikatakan, bagaimana dikatakan, dan apa yang tidak dikatakan adalah kunci untuk membuka pesan yang lebih dalam.
Ketika Cerita Bertindak Tutur
FIB Unand
Ike Revita
Eva Najma
Universitas Andalas
Pragmatik
Ilmu Linguistik
MAN IC Padang Pariaman Menebar Harapan Jemput Masa Depan: Berakit-rakit ke Hulu, Berenang ke Tepian |
![]() |
---|
Kuliah Kerja Nyata: Program Mahasiswa di Indonesia Serupa, Bakti Siswa & Magang Industri di Malaysia |
![]() |
---|
Opini Ruang Kota Tanpa Asap: Car Free Day Antara Negara Serumpun Indonesia & Malaysia |
![]() |
---|
Opini Bahasa Melayu: Bila Percuma di Malaysia, Gratis di Indonesia |
![]() |
---|
UNP Pelatihan Emotional Spritual Question di SMAN 1 Tanjung Mutiara Kabupaten Agam, Sumatera Barat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.