Citizen Journalism
Opini Suara Perempuan dalam Kata
DALAM setiap zaman, kata-kata selalu menjadi ruang bagi manusia untuk bersuara, termasuk perempuan. Namun, selama berabad-abad, suara perempuan kerap
Di era digital seperti sekarang, suara perempuan semakin bergema. Namun, ini tidak serta-merta membuat semuanya lebih baik.
Tantangan baru justru muncul ketika suara-suara perempuan direduksi menjadi komoditas, dijual dalam format konten, distigma karena terlalu lantang, atau dilemahkan oleh komentar seksis. Dalam situasi semacam ini, sastra tetap memegang peran penting sebagai ruang refleksi dan pembebasan.
Namun, tugas kita sebagai pembaca juga tak kalah penting. Membaca karya perempuan berarti mendengar pengalaman yang berbeda, mengakui sudut pandang yang mungkin asing, dan membuka diri terhadap dunia yang tidak selalu nyaman. Ini adalah langkah awal dalam membangun kesetaraan yang lebih nyata—bukan hanya dalam undang-undang, tapi juga dalam kesadaran budaya.
Dalam sejarah peradaban, perempuan telah berkali-kali dijauhkan dari pena. Kini, mereka menulis. Kini, mereka bicara. Dan sastra memberi mereka ruang untuk mengubah pengalaman menjadi kekuatan, luka menjadi narasi, dan diam menjadi suara.
Baca juga: Opini: Bahasa Kita, Cermin Perilaku Kita

Baca juga: Opini: Menyorot Minat Baca Gen Z, Cek Fakta, Akar Masalah dan Solusi
Suara perempuan dalam kata bukan hanya penting—ia mendesak untuk didengar. Sebab dalam setiap kalimat yang jujur, ada upaya untuk menata dunia secara lebih adil.
Dan, dalam setiap cerita yang ditulis, ada harapan bahwa generasi selanjutnya akan tumbuh dalam masyarakat yang tidak lagi membungkam, tapi mendengarkan.
Sastra perempuan menunjukkan bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga medan kuasa dan ruang ideologis. Di dalamnya, perempuan tidak hanya menyampaikan cerita, tetapi menggugat makna-makna dominan yang telah lama menempatkan mereka sebagai objek dalam narasi besar budaya patriarki.
Melalui sastra, perempuan merebut kembali bahasa, menyusunnya, membongkarnya, bahkan menciptakan ulang diksi dan struktur narasi untuk mencerminkan pengalaman mereka sendiri.
Ini menjadi bentuk perlawanan simbolik yang amat penting, karena selama ini bahasa kerap berpihak pada struktur sosial yang maskulin. Apa yang dianggap wajar, sopan, atau tabu dalam berbahasa ternyata merefleksikan nilai-nilai yang tak selalu netral secara gender.
Maka, ketika perempuan menulis, mereka tidak hanya melawan lewat isi, tetapi juga lewat cara berbahasa, dengan menyisipkan pengalaman tubuh, emosi, dan memori kolektif ke dalam kata.
Ini menjadikan sastra perempuan sebagai ruang subversif, tempat di mana kata-kata menjadi jembatan antara ekspresi personal dan kesadaran sosial.
Dengan memahami dan membaca karya-karya perempuan, kita juga belajar membaca ulang bahasa: melihat biasnya, mempertanyakan strukturnya, dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru untuk berbicara secara lebih adil dan setara. Sebab di ujungnya, suara perempuan dalam kata bukan hanya milik sastra, tetapi juga milik masa depan masyarakat yang ingin lebih manusiawi dan setara.(*)
Suara Perempuan dalam Kata
Citizen Journalism
Sastra Inggris
FIB Unand
Universitas Andalas
perempuan
MAN IC Padang Pariaman Menebar Harapan Jemput Masa Depan: Berakit-rakit ke Hulu, Berenang ke Tepian |
![]() |
---|
Kuliah Kerja Nyata: Program Mahasiswa di Indonesia Serupa, Bakti Siswa & Magang Industri di Malaysia |
![]() |
---|
Opini Ruang Kota Tanpa Asap: Car Free Day Antara Negara Serumpun Indonesia & Malaysia |
![]() |
---|
Opini Bahasa Melayu: Bila Percuma di Malaysia, Gratis di Indonesia |
![]() |
---|
UNP Pelatihan Emotional Spritual Question di SMAN 1 Tanjung Mutiara Kabupaten Agam, Sumatera Barat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.