Citizen Journalism
Opini Suara Perempuan dalam Kata
DALAM setiap zaman, kata-kata selalu menjadi ruang bagi manusia untuk bersuara, termasuk perempuan. Namun, selama berabad-abad, suara perempuan kerap
Oleh: Eva Najma & Ike Revita, Kedua Penulis adalah Dosen Prodi Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas atau FIB Unand
DALAM setiap zaman, kata-kata selalu menjadi ruang bagi manusia untuk bersuara, termasuk perempuan. Namun, selama berabad-abad, suara perempuan kerap dibungkam oleh struktur sosial yang patriarkal.
Sastra kemudian menjadi salah satu ruang langka tempat perempuan bisa menulis dirinya sendiri, menyuarakan pengalaman, dan menantang dominasi simbolik laki-laki dalam bahasa.
Perempuan tidak hanya hadir sebagai objek dalam teks, tetapi juga sebagai subjek yang mampu merumuskan dunia lewat kata.
Karya-karya sastra menjadi ruang artikulasi bagi pengalaman tubuh, pikiran, dan batin perempuan—sesuatu yang seringkali tidak mendapat tempat dalam wacana publik formal.
Di Indonesia, tradisi ini terus tumbuh. Sastrawan perempuan seperti Nh. Dini, Toeti Heraty, Ayu Utami, Oka Rusmini, hingga Dea Anugrah dan Laksmi Pamuntjak, telah mengisi ruang sastra dengan suara-suara perempuan yang kuat, kritis, dan autentik.
Mereka tidak hanya bicara soal cinta dan keluarga, tetapi juga tentang luka, politik tubuh, seksualitas, dan ketimpangan sosial yang selama ini diselimuti keheningan budaya.
Bahasa, sebagaimana diyakini dalam kajian sosiologi sastra dan pragmatik, tidak pernah netral. Ia membawa ideologi, nilai, dan kekuasaan di balik struktur katanya.
Pierre Bourdieu dalam Language and Symbolic Power (1991) menyatakan bahwa bahasa menjadi medium kekuasaan simbolik, dan dominasi dapat dilanggengkan lewat cara-cara berbahasa. Dalam konteks ini, dominasi patriarki pun bekerja lewat kata-kata yang mengobjektifikasi perempuan atau menyingkirkan mereka dari narasi utama.
Sastra menjadi ladang perlawanan simbolik terhadap itu semua. Ketika perempuan menulis, mereka tidak hanya menyusun narasi alternatif, tetapi juga sedang meruntuhkan sistem makna yang selama ini menempatkan mereka sebagai ‘yang lain’.
Langkah ini yang dilakukan Ayu Utami lewat Saman (1998), misalnya, yang memecah tabu tubuh perempuan dan menolak standar moral borjuis yang menindas.
Tidak bisa dipungkiri, sastra mencerminkan kenyataan sosial (Revita, 2019). Ia bukan hanya cermin, tetapi juga alat kritik. Ketika sastrawan perempuan menulis tentang kekerasan domestik, perkosaan, diskriminasi, atau relasi kuasa dalam keluarga, mereka sedang mengajak pembaca merenungkan luka-luka sosial yang sering dianggap wajar atau disembunyikan.
Dalam perspektif sosiologi sastra, seperti yang dikemukakan oleh Lucien Goldmann (1975), karya sastra bukanlah produk individual semata, tetapi lahir dari kesadaran kolektif suatu kelompok sosial.
Maka, karya sastra perempuan bisa dibaca sebagai ekspresi kesadaran kritis perempuan terhadap struktur sosial yang menindas mereka.
Lebih dari sekadar curahan hati, sastra perempuan adalah pernyataan politik. Di tengah derasnya arus media sosial dan dominasi suara laki-laki dalam wacana publik, kata-kata dalam karya sastra justru menawarkan perenungan yang lebih dalam—sebuah ruang untuk mengingat, mencatat, dan melawan dengan cara yang subtil namun menggugah.
Di era digital seperti sekarang, suara perempuan semakin bergema. Namun, ini tidak serta-merta membuat semuanya lebih baik.
Tantangan baru justru muncul ketika suara-suara perempuan direduksi menjadi komoditas, dijual dalam format konten, distigma karena terlalu lantang, atau dilemahkan oleh komentar seksis. Dalam situasi semacam ini, sastra tetap memegang peran penting sebagai ruang refleksi dan pembebasan.
Namun, tugas kita sebagai pembaca juga tak kalah penting. Membaca karya perempuan berarti mendengar pengalaman yang berbeda, mengakui sudut pandang yang mungkin asing, dan membuka diri terhadap dunia yang tidak selalu nyaman. Ini adalah langkah awal dalam membangun kesetaraan yang lebih nyata—bukan hanya dalam undang-undang, tapi juga dalam kesadaran budaya.
Dalam sejarah peradaban, perempuan telah berkali-kali dijauhkan dari pena. Kini, mereka menulis. Kini, mereka bicara. Dan sastra memberi mereka ruang untuk mengubah pengalaman menjadi kekuatan, luka menjadi narasi, dan diam menjadi suara.
Baca juga: Opini: Bahasa Kita, Cermin Perilaku Kita

Baca juga: Opini: Menyorot Minat Baca Gen Z, Cek Fakta, Akar Masalah dan Solusi
Suara perempuan dalam kata bukan hanya penting—ia mendesak untuk didengar. Sebab dalam setiap kalimat yang jujur, ada upaya untuk menata dunia secara lebih adil.
Dan, dalam setiap cerita yang ditulis, ada harapan bahwa generasi selanjutnya akan tumbuh dalam masyarakat yang tidak lagi membungkam, tapi mendengarkan.
Sastra perempuan menunjukkan bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga medan kuasa dan ruang ideologis. Di dalamnya, perempuan tidak hanya menyampaikan cerita, tetapi menggugat makna-makna dominan yang telah lama menempatkan mereka sebagai objek dalam narasi besar budaya patriarki.
Melalui sastra, perempuan merebut kembali bahasa, menyusunnya, membongkarnya, bahkan menciptakan ulang diksi dan struktur narasi untuk mencerminkan pengalaman mereka sendiri.
Ini menjadi bentuk perlawanan simbolik yang amat penting, karena selama ini bahasa kerap berpihak pada struktur sosial yang maskulin. Apa yang dianggap wajar, sopan, atau tabu dalam berbahasa ternyata merefleksikan nilai-nilai yang tak selalu netral secara gender.
Maka, ketika perempuan menulis, mereka tidak hanya melawan lewat isi, tetapi juga lewat cara berbahasa, dengan menyisipkan pengalaman tubuh, emosi, dan memori kolektif ke dalam kata.
Ini menjadikan sastra perempuan sebagai ruang subversif, tempat di mana kata-kata menjadi jembatan antara ekspresi personal dan kesadaran sosial.
Dengan memahami dan membaca karya-karya perempuan, kita juga belajar membaca ulang bahasa: melihat biasnya, mempertanyakan strukturnya, dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru untuk berbicara secara lebih adil dan setara. Sebab di ujungnya, suara perempuan dalam kata bukan hanya milik sastra, tetapi juga milik masa depan masyarakat yang ingin lebih manusiawi dan setara.(*)
Suara Perempuan dalam Kata
Citizen Journalism
Sastra Inggris
FIB Unand
Universitas Andalas
perempuan
MAN IC Padang Pariaman Menebar Harapan Jemput Masa Depan: Berakit-rakit ke Hulu, Berenang ke Tepian |
![]() |
---|
Kuliah Kerja Nyata: Program Mahasiswa di Indonesia Serupa, Bakti Siswa & Magang Industri di Malaysia |
![]() |
---|
Opini Ruang Kota Tanpa Asap: Car Free Day Antara Negara Serumpun Indonesia & Malaysia |
![]() |
---|
Opini Bahasa Melayu: Bila Percuma di Malaysia, Gratis di Indonesia |
![]() |
---|
UNP Pelatihan Emotional Spritual Question di SMAN 1 Tanjung Mutiara Kabupaten Agam, Sumatera Barat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.