Kabupaten Padang Pariaman

Mengenal Tradisi Juadah Pernikahan di Padang Pariaman, Bukan Sekedar Makanan tapi Ada Makna Tersirat

Dengan adanya juadah menandakan bahwa pernikahan itu bukan hanya melibatkan keluarga mempelai wanita dan pria, namun lebih dari itu.

Penulis: Panji Rahmat | Editor: Rezi Azwar
TribunPadang.com/Panji Rahmat
FESTIVAL JUADAH 2025- Masyarakat Toboh Gadang Barat, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat sedang mengaduk kanji, jenis makanan tradisional Minangkabau yang merupakan bagian dari juadah. Juadah sendiri merupakan hantaran bagi mempelai perempuan untuk mempelai pria jelang melakukan resepsi pernikahan memiliki nilai filosofi yang tinggi bagi masyarakat setempat, meski pada beberapa waktu belakang sudah mulai digantikan oleh makanan biasa karena sejumlah alasan. 

“Seluruh makanan tersebut, bahan dasarnya dari beras ketan, tepung beras, gula merah dan minyak kelapa," ujarnya.

Memasaknya pun menggunakan tungku kayu agar ciri khas rasanya tidak hilang.

Alat yang digunakan dalam memasak juadah ini juga sangat unik, karena menggunakan tungku api dari tanah.

Tungku api ini dibuat dengan menggali dua buah lubang di tanah, satu untuk memasukan kayu dan satu lagi untuk menaruh alat memasak.

Alat memasak juadah ini juga memiliki nama tersendiri, yaitu kancah.

Kancah ini bentuknya hampir sama dengan kuali, namun lebih cembung.

Sedangkan alat pengaduknya bernama sudu, bentuknya hampir sama dengan pendayung sampan, hanya sedikit lebih kecil.

Dosen ISI Padang Panjang, Muhammad Fadhli, mengatakan juadah bukan sekedar makanan, tapi lebih dari itu.

Juadah memiliki makna yang sangat mendalam bagi masyarakat Padang Pariaman, karena proses memasaknya yang sangat rumit dan membutuhkan tenaga yang banyak.

Selama proses pembuatan juadah, Ajo Wayoik sapaan akrabnya, menilai ada proses gotong royong yang terjadi di tengah masyarakat.

Seluruh masyarakat ikut terlibat dalam proses pembuatan ini, tanpa menerima upah sepeserpun.

“Belakangan, karena proses pembuatannya yang panjang, banyak masyarakat meninggalkan makanan ini dengan mengganti hantaran menjadi makanan biasa,” ujar Ajo Wayoik.

Ia menilai hal ini terjadi bukan karena membuat juadah yang melelahkan, tapi lebih kepada jumlah orang yang masih bisa membuatnya terus berkurang.

Situasi itu membuat keluarga yang hendak menjalani proses pernikahan di Padang Pariaman kewalahan untuk membuatnya.

Situasi tersebut, menurut Ajo Wayoik harus menjadi perhatian bagi pemuka masyarakat Padang Pariaman, karena tanpa perhatian tradisi ini akan hilang.

Halaman
123
Sumber: Tribun Padang
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved