Citizen Journalism
Opini: Pembangunan Jalan Tol Sumatera Barat: Antara Kepentingan Umum dan Hak Atas Tanah
SEIRING perkembangan zaman, dunia berkembang pesat di antaranya dalam perkembangan bidang infrastruktur. Inovasi pembangunan infrastruktur, khususnya
Oleh : Salsabila Azzura, S.H. Mahasiswa Magister Hukum Fakultas Hukum, Universitas Andalas
SEIRING perkembangan zaman, dunia berkembang pesat di antaranya dalam perkembangan bidang infrastruktur. Inovasi pembangunan infrastruktur, khususnya jalan merupakan salah satu prioritas utama dalam upaya pemerataan pembangunan dan peningkatan konektivitas wilayah di Indonesia.
Ternyata, pembangunan jalan tol pertama di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1978 yaitu Jalan Tol Jakarta-Bogor-Ciawi (Jagorawi).
Lebih tepatnya, tanggal 9 Maret 1978 Presiden Soeharto meresmikan jalan tol ini dengan panjang 59 kilometer/KM. Berbeda dengan daerah lain yang sudah ada jalan tol sejak lama, pembangunan jalan tol di Sumatera Barat baru di bangun mulai Tahun 2018.
Pembangunan jalan tol di Sumatera Barat menjadi topik yang sangat layak untuk diperbincangkan saat ini. Beberapa tahun terakhir pemerintah Sumatera barat semakin gencar membangun infrastruktur jalan tol.
Tujuannya utamanya yaitu untuk meningkatkan konektifitas antarwilayah dan juga mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah.
Khususnya jalan tol Padang-Pekanbaru menjadi proyek strategis nasional yang digadang-gadang akan mendongkrak perekonomian daerah.
Namun, di tengah pembangunan tersebut, muncul sebuah dilema krusial: bagaimana menyeimbangkan kepentingan umum dengan perlindungan terhadap hak atas tanah masyarakat, terutama tanah ulayat yang menjadi ciri khas sistem agraria Minangkabau?
Terjadinya konflik antara proyek pembangunan dan hak atas tanah bukanlah fenomena baru. Di banyak daerah di Sumatera Barat, proses pembebasan lahan sering kali diwarnai protes warga, sengketa hukum, hingga penolakan dari ninik mamak yang merasa tanah pusaka kaum mereka dirampas secara sepihak.
Masalah ini menjadi semakin kompleks karena menyinggung dua ranah sekaligus: hukum negara dan hukum adat.
Secara normatif, pemerintah memiliki dasar hukum yang kuat untuk membebaskan lahan demi pembangunan infrastruktur.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum memberi ruang bagi negara untuk menggunakan tanah demi pembangunan.
Baca juga: Prodi Magister Manajemen Bencana UNAND & Tim AusAid Program SIAP SIAGA Australia, Perkuat Kerjasama
Selama dilakukan dengan prosedur yang benar, transparan, dan dengan pemberian ganti rugi yang layak kepada pemilik atau penguasa tanah. Namun, implementasi di lapangan sering kali jauh dari ideal.
Dalam konteks hukum agraria, persoalan ini sangat kompleks karena menyangkut hak konstitusional warga negara atas tanah dan pemanfaatan ruang.
Dasar utama pengaturan tanah di Indonesia tercantum dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960. Pasal 2 UUPA menegaskan bahwa "seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia adalah milik negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".
MAN IC Padang Pariaman Menebar Harapan Jemput Masa Depan: Berakit-rakit ke Hulu, Berenang ke Tepian |
![]() |
---|
Kuliah Kerja Nyata: Program Mahasiswa di Indonesia Serupa, Bakti Siswa & Magang Industri di Malaysia |
![]() |
---|
Opini Ruang Kota Tanpa Asap: Car Free Day Antara Negara Serumpun Indonesia & Malaysia |
![]() |
---|
Opini Bahasa Melayu: Bila Percuma di Malaysia, Gratis di Indonesia |
![]() |
---|
UNP Pelatihan Emotional Spritual Question di SMAN 1 Tanjung Mutiara Kabupaten Agam, Sumatera Barat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.