Citizen Journalism
Opini: Pembangunan Jalan Tol Sumatera Barat: Antara Kepentingan Umum dan Hak Atas Tanah
SEIRING perkembangan zaman, dunia berkembang pesat di antaranya dalam perkembangan bidang infrastruktur. Inovasi pembangunan infrastruktur, khususnya
Namun penting untuk dicatat, penguasaan negara atas tanah bukan bersifat absolut, melainkan mengandung kewajiban untuk menghormati dan melindungi hak-hak individu dan masyarakat hukum adat.
Lalu Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Namun demikian, pelaksanaan pembangunan atas nama "kepentingan umum" harus tetap memperhatikan prinsip keadilan dan perlindungan terhadap hak-hak warga, terutama mereka yang terdampak langsung.
Dalam konteks Sumatera Barat, banyak persoalan muncul karena sebagian besar tanah yang terkena proyek pembangunan adalah tanah ulayat tanah adat yang tidak didaftarkan secara formal ke negara, tetapi memiliki kekuatan hukum dan legitimasi sosial yang tinggi dalam struktur adat Minangkabau.
Sejauh ini, tanah ulayat tidak dimiliki oleh individu, melainkan oleh kaum atau suku, dan pengelolaannya berada di bawah tanggung jawab ninik mamak.
Oleh karena itu, proses pengadaan tanah atas tanah ulayat seharusnya melibatkan musyawarah secara menyeluruh dengan seluruh pemangku adat, bukan hanya kepada perorangan atau perwakilan pemerintah nagari.
Baca juga: Selesaikan Sengketa Lahan Ulayat Sikabau, DPRD Pasaman Barat Resmi Bentuk Pansus
Persoalan berikutnya terletak pada ganti rugi. Banyak masyarakat adat merasa bahwa nilai ganti rugi yang diberikan negara tidak setara dengan nilai sejarah, sosial, dan ekonomi tanah mereka.
Apalagi tanah ulayat bukan sekadar aset ekonomi, melainkan bagian dari identitas dan keberlanjutan sosial sebuah kaum. Ketika tanah ulayat digusur, maka hilang pula satu bagian penting dari struktur sosial masyarakat adat.
Ketidakhadiran negara dalam menjamin keterlibatan aktif masyarakat adat bisa menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak atas tanah dan identitas budaya.
Laporan Komnas HAM pun beberapa kali mencatat adanya pelanggaran hak masyarakat adat dalam proyek infrastruktur yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip FPIC (Free, Prior, and Informed Consent) atau persetujuan bebas, didahului, dan diinformasikan secara memadai.
Pemerintah daerah, dalam hal ini Pemprov Sumatera Barat dan kabupaten/kota, harus mengambil peran aktif sebagai mediator dan fasilitator dalam setiap proses pengadaan tanah.
Pemerintah tidak cukup hanya menjadi perpanjangan tangan dari proyek nasional, tetapi juga harus menjadi pelindung nilai-nilai lokal yang menjadi kekayaan Sumatera Barat.
Diperlukan juga adanya kebijakan daerah yang lebih afirmatif dalam melindungi tanah ulayat. Pemerintah bisa menyusun Perda tentang perlindungan tanah ulayat dan mekanisme partisipatif dalam pengadaan tanah.
Selain itu, perlu dibentuk lembaga mediasi agraria yang melibatkan unsur pemerintah, adat, dan masyarakat sipil untuk menyelesaikan konflik tanah secara damai dan adil.
Pembangunan tidak boleh hanya dimaknai secara fisik semata. Jalan tol yang megah tidak akan berarti jika di atasnya berdiri kekecewaan masyarakat yang merasa haknya diabaikan.
MAN IC Padang Pariaman Menebar Harapan Jemput Masa Depan: Berakit-rakit ke Hulu, Berenang ke Tepian |
![]() |
---|
Kuliah Kerja Nyata: Program Mahasiswa di Indonesia Serupa, Bakti Siswa & Magang Industri di Malaysia |
![]() |
---|
Opini Ruang Kota Tanpa Asap: Car Free Day Antara Negara Serumpun Indonesia & Malaysia |
![]() |
---|
Opini Bahasa Melayu: Bila Percuma di Malaysia, Gratis di Indonesia |
![]() |
---|
UNP Pelatihan Emotional Spritual Question di SMAN 1 Tanjung Mutiara Kabupaten Agam, Sumatera Barat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.