Polemik Revisi RUU Penyiaran
Koalisi Pers Sumbar Unjuk Rasa Tolak Revisi UU Penyiaran: Ancam Kemerdekaan Pers
Koalisi Masyarakat Pers Sumatera Barat (Sumbar) melakukan unjuk rasa menolak revisi Undang-undang Penyiaran di depan Masjid Raya Sumbar
Penulis: Wahyu Bahar | Editor: Rahmadi
TRIBUNPADANG.COM, PADANG - Koalisi Masyarakat Pers Sumatera Barat (Sumbar) melakukan unjuk rasa menolak revisi Undang-undang Penyiaran di depan Masjid Raya Sumbar pada Jumat (24/5/2024) siang.
Koalisi Masyarakat Pers melakukan aksi damai menolak pasal-pasal revisi UU penyiaran yang dianggap mengancam kemerdekaan pers.
Koalisi Masyarakat Pers Sumbar terdiri dari puluhan wartawan/ jurnalis dari berbagai media dan organisasi yakni Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Pewarta Foto Indonesia (PFI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Asosiasi pers mahasiswa (ASPEM).
Sejumlah poster dibawa dengan narasi "Pemerintah kok takut investigasi?", "RUU Penyiaran bungkam kebebasan pers, jangan jadikan RUU Penyiaran sebagai alat membungkam dan mengkriminalisasi jurnalis", Tolak keras RUU penyiaran, bikin pers tidak merdeka".
Novia Harlina, orator yang juga Ketua AJI Padang menyebut bahwa RUU Penyiaran harus ditolak, salah satu poin yang ditolak yaitu poin pasal dalam RUU itu menyatakan bahwa hasil jurnalistik investigasi tidak boleh ditayangkan.
Baca juga: Pesona Hoyak Tabuik Piaman 2024 Digelar Mulai 7 Juli, Pemko Pariaman Mulai Bentuk Panitia
"Apakah dengan begitu karya itu akan kita simpan saja? Ini sangat tidak masuk akal, peliputan investigasi dilarang disiarkan, bagaimana itu?," ujar Novia.
Dalam RUU ini, menurut Novia, pelarangan peliputan investigasi merupakan sebuah pasal karet.
Defri Mulyadi, orator yang juga Ketua IJTI Sumbar menyatakan bahwa RUU Penyiaran jelas tidak memihak pada kemerdekaan pers.
Ia menuturkan, jurnalis atau wartawan mesti menolak RUU ini karena bila diketuk akan melemahkan fungsi pers.
"Jika RUU itu ketuk palu, maka akan membuka ruang korupsi di Indonesia makin terbuka," tambahnya.
Baca juga: Poin-Poin Kontroversial Revisi RUU Penyiaran: Mengekang Kebebasan Pers hingga Pembatasan Investigasi
Lia, seorang orator yang merupakan wartawan radio menuturkan, investigasi merupakan produk jurnalistik tertinggi.
"Tidak semua orang atau wartawan bisa melakukan investigasi. Apakah kita akan jadi jurnalis Asal Bapak Senang (ABS)?," ujar Lia.
Ia bilang, pers sesuai fungsinya perlu mengontrol jalannya pemerintahan, pers ialah mata masyarakat, hadir untuk membantu masyarakat.
Poin Penolakan Koalisi Masyarakat Pers Sumatera Barat
Rencana Perubahan Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran) yang sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia memicu kekhawatiran di kalangan jurnalis dan praktisi media. Revisi ini dianggap berpotensi menghambat kebebasan pers, mengurangi independensi media, dan membatasi hak publik untuk memperoleh informasi yang akurat dan objektif. Pembatasan terhadap isi siaran jurnalistik dan perluasan definisi penyiaran dapat menghalangi hak publik untuk mendapatkan informasi yang benar dan akurat, yang merupakan hak asasi manusia.
Revisi UU Penyiaran ini memuat berbagai ketentuan yang dianggap bermasalah dan bertentangan dengan prinsip demokrasi dan kebebasan pers. Dalam draf tertanggal 27 Maret 2024, beberapa pasal yang menjadi fokus kritik meliputi Pasal 50B, Pasal 8A, dan Pasal 42. Pasal-pasal ini dianggap memberikan kewenangan berlebih kepada KPI dan membatasi kerja-kerja jurnalistik, yang seharusnya dilindungi oleh UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Poin-Poin Kontroversial dalam RUU Penyiaran:
Pasal 50 B ayat (2):
- Larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
- Larangan penayangan isi siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik.
Baca juga: Berbuka Puasa Bersama, Insan Pers dan Organisasi Masyarakat di Mess Pemda Belakang Balok Bukittinggi
Pembatasan Jurnalisme Investigatif:
Pasal ini membatasi ruang gerak jurnalis investigasi yang bertugas mengungkap kasus korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan berbagai bentuk kejahatan lainnya. Investigasi jurnalistik adalah elemen kunci dalam fungsi pengawasan pers terhadap pemerintah dan institusi lainnya. Larangan ini akan menghambat transparansi dan akuntabilitas publik. Pembatasan terhadap penayangan eksklusif jurnalistik investigasi dan pelarangan konten tertentu juga akan merusak marwah jurnalisme sebagai pilar demokrasi yang berfungsi untuk mengawasi kekuasaan.
Pasal tentang Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik:
Meskipun penting untuk menghindari penyebaran berita bohong, ketentuan ini bisa disalahgunakan untuk mengkriminalisasi jurnalis yang melakukan kritik terhadap pemerintah atau pihak-pihak berkuasa. Ketidakjelasan definisi dalam pasal ini membuka peluang besar bagi penyalahgunaan kekuasaan. Ketentuan mengenai larangan penayangan isi siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik juga dikhawatirkan akan digunakan secara eksesif oleh pemerintah untuk membatasi kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.
Kriminalisasi Jurnalis:
Aturan mengenai berita bohong dan pencemaran nama baik membuka peluang bagi pihak-pihak berkuasa untuk mengkriminalisasi jurnalis yang mengkritik kebijakan pemerintah atau mengekspos korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Ini dapat menciptakan iklim ketakutan dan membatasi ruang lingkup kerja jurnalis.
Pasal 8A huruf q:
- Kewenangan KPI dalam menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran.
Baca juga: Dewan Pers Rekap Pengaduan Pelanggaran UU Pers, Mayoritas tidak Konfirmasi, Verifikasi & Klarifikasi
Tumpang Tindih Kewenangan KPI dan Dewan Pers:
Kewenangan ini menimbulkan tumpang tindih dengan peran Dewan Pers yang selama ini berfungsi sebagai mediator dalam sengketa jurnalistik. KPI, sebagai regulator, tidak seharusnya merangkap fungsi pengadilan dalam kasus-kasus jurnalistik, karena dapat mengancam independensi dan objektivitas pers. Peningkatan kewenangan KPI yang tumpang tindih dengan Dewan Pers dapat menyebabkan over kontrol oleh pemerintah, mengancam independensi media, dan menurunkan kualitas jurnalisme di Indonesia.
Pasal 42:
- Ketentuan bahwa muatan jurnalistik dalam isi siaran lembaga penyiaran harus sesuai dengan P3, SIS, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Standar Isi Siaran (SIS):
Pasal ini mengabaikan Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers sebagai rujukan utama dalam praktek jurnalistik. Hal ini bisa mengarah pada interpretasi hukum yang sempit dan pembatasan terhadap kebebasan jurnalis dalam melaksanakan tugasnya.
Lalu poin penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh KPI. Pengalihan fungsi ini dari Dewan Pers ke KPI mengancam independensi pers dan berpotensi menciptakan iklim ketakutan di kalangan jurnalis yang khawatir terhadap sanksi dari KPI. Kewenangan KPI yang tumpang tindih dengan Dewan Pers akan menciptakan ketidakpastian hukum dan mengancam independensi media. KPI sebagai regulator seharusnya tidak memiliki wewenang dalam penyelesaian sengketa jurnalistik yang menjadi domain Dewan Pers.
Kemerdekaan pers dan independensi media merupakan elemen esensial dari demokrasi yang sehat. Mereka berfungsi sebagai pengawas atas kekuasaan dan alat untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan. Revisi UU Penyiaran ini, dengan berbagai ketentuannya, mengancam kedua prinsip tersebut.
Larangan-larangan yang diusulkan dalam Pasal 50 B berpotensi menjadi alat sensor yang kuat. Jika investigasi jurnalistik, yang sering kali mengungkap korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, dilarang, maka pers tidak lagi bebas melaksanakan fungsi pengawasannya.
Baca juga: Tujuh Wartawan TribunPadang.com Lulus, Uji Kompetensi Jurnalis Dewan Pers
Pasal 42 yang mengharuskan muatan jurnalistik sesuai dengan P3 dan SIS, serta penyelesaian sengketa oleh KPI, merusak independensi redaksi. Dewan Pers, yang memiliki mandat khusus untuk melindungi kemerdekaan pers, seharusnya tetap menjadi otoritas utama dalam penilaian ini. Selain Pasal 8A huruf (q) dan pasal 42 ayat 2, Pasal 51 huruf E juga tumpang tindih dengan UU Pers. Pasal ini mengatur bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di pengadilan.
“Sengketa yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," bunyi Pasal 51 huruf E.
Dengan memberikan KPI kewenangan menyelesaikan sengketa jurnalistik, potensi konflik kepentingan meningkat karena KPI lebih fokus pada regulasi penyiaran ketimbang melindungi kemerdekaan pers.
Revisi UU Penyiaran yang diusulkan saat ini tidak hanya berpotensi mengancam kebebasan pers tetapi juga mengekang hak publik untuk mendapatkan informasi yang akurat dan independen. Oleh karena itu, kami, Koalisi Masyarakat Pers Sumatra Barat, menolak revisi ini dan menuntut agar DPR mempertimbangkan kembali ketentuan-ketentuan yang berpotensi merugikan kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia. Kami juga mendesak pemerintah dan DPR untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi dan hak asasi manusia.
Koalisi ini terdiri dari;
1.Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang
2. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sumatra Barat
3. Pewarta Foto Indonesia (PFI) Padang
4. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumbar
5. Asosiasi Pers Mahasiswa (ASPEM).
(*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/padang/foto/bank/originals/Koalisi-Masyarakat-Persakukan-unjuk-rasa-men.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.