Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar: Hak untuk Tidak Disiksa ialah HAM yang Tak Bisa Dikurangi

Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat (Sumbar) melakukan aksi unjuk rasa di Mapolda Sumbar bertepatan dengan momentum peringatan Hari Anti ...

Penulis: Wahyu Bahar | Editor: Fuadi Zikri
TribunPadang.com/Wahyu Bahar
Aksi teatrikal oleh Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat (Sumbar) pada momentum Hari Anti Penyiksaan Internasional di depan Mapolda Sumbar, Senin (26/6/2023). 

"Kondisi ini tentu menyedihkan, dimana penegakan hukum pidana yang semestinya bernafaskan semangat keadilan dan kepatuhan hukum, justru dilakukan dengan melanggar hukum, dan berdampak luka fisik maupun psikis akibat penyiksaan," tambahnya.

Ihsan menjelaskan, pada proses hukum tingkat kepolisian, praktik penyiksaan yang mengatasnamakan penegakan hukum dinilai melanggar Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 11 peraturan Kapolri itu berbunyi “Setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan penyiksaan, pelecehan, penghukuman yang tidak manusiawi, melakukan kekerasan dan/ senjata api”.

Ihsan melanjutkan, sepanjang 2020 hingga 2023 (PBHI) Sumbar intens melakukan penyuluhan dan konsultasi hukum di Rutan Anak Aia Padang.

Di samping itu, Ihsan juga menyinggung dugaan pelanggaran HAM yakni pembiaran atau pengabaian (by omission) terjadinya dugaan tindak kekerasan oleh aparatur negara sebagaimana yang terjadi dalam kasus kematian S di Lapas Lubuk Basung.

Kasus ini, katanya, telah dilaporkan keluarga melalui surat tanggal 15 Januari 2022 yang kemudian ditindaklanjuti dengan pertemuan dan pemeriksaan saksi tanggal 22 Februari 2022.

"Pada pertemuan dengan Kasat Reskrim Polres Lubuk Basuang, beserta jajarannya disepakati bahwa untuk pembuktian akan dilakukan otopsi dan pemeriksaan CCTV, namun sampai saat ini, para pelapor belum mendapatkan penjelasan mengenai perkembangan kasus tersebut," kata Ihsan dalam keterangan tertulisnya.

Kedua kasus penyiksaan di atas, ujar Ihsan adalah gambaran masih lemah bahkan tidak efektifnya mekanisme pengawasan dan tindakan internal institusi penegak hukum.

Meskipun institusi penegak hukum memiliki sejumlah aturan dan standar penanganan kasus, namun mekanisme pengawasan internal untuk mencegah dan menindak praktik penyiksaan yang dilakukan aparat penegak hukum dianggap masih sangat lemah.

"Akibatnya, pemberian sanksi pidana yang tegas terhadap pelaku penyiksaan sangatlah langka," imbuhnya.

Berdasarkan catatan-catatan yang disebutkan itu, PBHI Sumbar mendesak agar:

1. Negara Republik Indonesia cq Pemerintah untuk berkomitmen dengan sungguh-sungguh memperbaiki sistem penegakan hukum (pidana) mulai dari tingkat penyidikan di kepolisian hingga proses persidangan agar tidak lagi terbuka ruang-ruang bagi penegak hukum melakukan pembenaran metode penyiksaan dalam mengejar keterangan dan pengakuan tersangka.

Hal tersebut dapat terlaksana jika Negara sesegera mungkin meratifikasi Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan (Optional Protocol Convention Again Torture) demi menakar dan membangun standar kebijakan pencegahan praktik penyiksaan secara serius yang kerap terjadi ditempat-tempat penahanan.

2. Negara Republik Indonesia Cq Pemerintah kemudian dengan bersungguh-sungguh menerbitkan regulasi yang efektif untuk pemulihan hak-hak korban penyiksaan, karena regulasi yang ada saat ini belum mampu menjamin, melindungi serta memenuhi hak-ha korban penyiksaan.

3. Negara Republik Indonesia cq Pemerintah segera membentuk instrumen hukum yang mengatur secara khusus mengenai delik penyiksaan, karena pada penerapannya laporan dari korban penyiksaan selalu dilekatkan kepada pasal penganiayaan dalam KUHP, sementara penyiksaan tidaklah sama dengan penganiayaan.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Padang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved