Jawab Materi Gugatan Paslon Mualim di MK, KPU Sumbar Sebut Dalil Permohonan Tidak Jelas
Jawab Materi Gugatan Paslon Mualim Mahkamah Konstitusi, KPU Sumbar Sebut Dalil Permohonan Tidak Jelas
Penulis: Rizka Desri Yusfita | Editor: afrizal
Laporan Wartawan TribunPadang.com, Rizka Desri Yusfita
TRIBUNPADANG.COM, PADANG - Mahkamah Konstitusi (MK) RI menggelar sidang lanjutan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Barat Tahun 2020, Senin (1/2/2021).
Pada sidang kedua ini, agenda yaitu penyampaian jawaban dari pihak termohon dan keterangan dari pihak terkait serta pengesahan alat bukti.
Panel 1 dipimpin oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman didampingi Wahiduddin Adams serta Enny Nurbaningsih.
Hakim Konstitusi Anwar Usman menyampaikan sidang dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum.
Baca juga: Jawab Soal Materi Sengketa Paslon NA-IC, KPU Sumbar Sebut Dasar Pengajuan Permohonan Tidak Jelas
Baca juga: MK Lanjutkan Sidang PHP Pilgub Sumbar 1 Februari 2021, KPU Sumbar Siapkan Jawaban dan Alat Bukti
"Kita lanjut persidangan untuk perkara 128 dan 129/PHP.GUB-XIX/2021 dengan agenda penyampaian jawaban termohon, keterangan Bawaslu, dan keterangan pihak terkait serta pengesahan alat bukti," kata Anwar Usman dalam keterangannya di kanal YouTube MK, Senin (1/2/2021).
Pertama, sidang digelar atas nomor perkara 129/PHP.GUB-XIX/2021 Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur Sumbar Tahun 2020 atas nama pemohon Mulyadi-Ali Mukhni.
"Kita langsung ke termohon, silakan menyampaikan jawabannya yang sudah diringkas," ujar Anwar.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumbar sebagai termohon memberi kuasa kepada Sudi Prayitno dalam menghadapi persidangan.
Pada kesempatan tersebut, Kuasa Hukum KPU Sumbar Sudi Prayitno menyatakan, dalam eksepsi mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi mengingat ketentuan pasal 157 UU Nomor 1 tahun 2015 beserta perubahannya dan pasal 2 peraturan MK nomor 6 tahun 2020, menurut termohon MK tidak berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara perselisihan hasil pemilihan yang diadukan pemohon.
Baca juga: Hari Ini Sidang Sengketa Hasil Pilkada Sumbar Digelar di MK, KPU Sumbar Gandeng Sudi Prayitno
Karena permasalahan yang pemohon ungkapkan sesungguhya bukanlah merupakan perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumbar 2020.
Melainkan masalah proses penegakkan hukum yang tidak adil dan dipaksakan oleh penyelenggara pemilihan dalam hal ini sentra penegakkan hukum terpadu dengan melibatkan kandidat lain.
"Ini lebih tepat dikualifikasikan sebagai pelanggaran kode etik peyelenggara pemilihan yang menjadi kewenangan DKPP," kata Sudi Prayitno.
Sementara untuk kedudukan hukum pemohon, mengingat ketentuan pasal 158 ayat 1 huruf B UU 1 tahun 2015 beserta perubahannya, menurut Sudi Prayitno, pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan PHP Gubernur dan Wakil Gubernur Sumbar 2020.
Karena, lanjutnya, selisih perolehan suara sebanyak 112.406 suara antara Paslon peraih suara terbanyak dan pemohon dari total suara sah sebanyak 2.241.292 suara berada di atas ambang batas perbedaan perolehan suara yang diperbolehkan undang-undang untuk mengajukan permohonan yaitu sebanyak 33.620 suara.
Sudi Prayitno juga menyebut, permohonan pemohon tidak jelas apa yang menjadi pokok tuntutannya dan tidak menguraikan dalil-dalil yang menjadi dasar diajukannya permohonan.
Selain itu untuk tuntutan dilakukannya PSU di seluruh TPS dalam Pilgub dan Wagub Sumbar 2020, menurut Sudi Prayitno hal itu tidak didukung dengan alasan yang menjadi dasar dapat dilakukannya pemungutan suara ulang di TPS sebagaimana ditentukan pasal 112 UU No 1 tahun 2015 beserta perubahannya.
Selanjutnya Sudi Prayitno menyampaikan, selama pelaksanaan tahapan Pilkada Sumbar, mulai persiapan sampai penyelenggaraan, tidak satupun dugaan pelanggaraan pemilihan baik pelanggaran kode etik penyelenggara pemilihan, administrasi, sengketa pemilihan maupun tindak pidana yang berimplikasi terhadap perbedaan perolehan suara masing-masing pasangan calon yang secara signifikan mempengaruhi penetapan Paslon terpilh dalam Pilgub Sumbar 2020.
Terkait dalil permohonan pemohon mengenai penetapan status pemohon prinsipal sebagai tersangka yang terkesan terburu-buru dan dipaksakan Bawaslu sehingga mempengaruhi preferensi pemilih dalam menggunakan hak pilihnya dan mengakibatkan pemilih tidak menggunakan hal pilihnya atau paling tidak telah mengalihkan pilihannya kepada paslon lainnya, Sudi Prayitno menegaskan juga tidak benar dan tidak beralasan menurut hukum karena dari proses penanganan tindak pidana pemilihan dilakukan lebih cepat daripada tindak pidana biasa sesuai ketentuan.
Sudi menjelaskan, elektabilitas Paslon dalam pemilihan kepala daerah tidak dipengaruhi oleh status tersangka yang dimiliki oleh seorang calon.
Karena di samping belum ada kajian ilmiah yang dapat membuktikannya, ternyata di Sumbar, ada seorang calon dalam pemilihan bupati dan wakil bupati Pesisir Selatan tahun 2020 yang berstatus sebagai terdakwa justru memiliki elektabilitas lebih tinggi dibanding Paslon lain dan ditetapkan di oleh KPU Pessel sebagai Paslon peraih suara terbanyak.
Bahkan ada seorang calon dalam Pilbup Solok tahun 2015 yang berstatus terpidana dan oleh KPU ditetapkan sebagai paslon peraih suara terbanyak.
Kemudian, pemberitaan media yang menurut pemohon telah merugikannya dalam Pilgub Sumbar 2020, kata Sudi, seharusnya disikapi oleh pemohon dengan menggunakan hak jawab diatur dalam UU No 40 tahun 1999 tentang pers.
Hal tersebut untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya dan atau menempuh upaya hukum lain yang disedikan dalam peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan hal itu, KPU memohon kepada MK, untuk menjatuhkan putusan dalam eksepsi mengabulkan seluruh ekspesi termohon dalam pokok perkara serta menolak seluruh permohonan pemohon dan menetapkan hasil penetapan perolehan suara oleh KPU Sumbar.
"Apabila MK berpendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya," ucap Sudi Prayitno.
Diketahui, sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang sengketa Pilkada Sumatera Barat, Selasa (26/1/2021).
Dalam kesempatan tersebut kuasa Hukum pemohon Mulyadi, Veri memaparkan sejumlah petitum permohonan dengan nomor perkara 129/PHP.GUB-XIX/2021 tersebut.
Pertama, kata Veri, pemohon memohon agar Majelis Hakim Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya.
Kedua, pemohon memohon agar Majelis Hakim Konstitusi membatalkan keputusan KPU Provinsi Sumatera Barat Nomor 113/PL.02.6-KPT/13/Prov/XII/2020 tentang penetapan hasil rekapitulasi penghitungan suara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Barat tahun 2020 tanggal 20 Desember 2020.
Ketiga, pemohon memohon Majelis Hakim Konstitusi memerintahkan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sumatera Barat untuk melakukan pemungutan suara ulang di seluruh tempat pemungutan suara dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Barat. (*)