Opini

Jika Tidak Bertemu dengan Nan Ampek, Celaka lah yang Gadaikan dan Jual Harta Pusako di Minangkabau

Minangkabau adalah sebuah tatanan adat yang unik, dengan sistem matrilineal—garis keturunan ditarik dari ibu.

Editor: Rahmadi
Dok. Pribadi
WALI NAGARI FIRDAUS - Firdaus, Walinagari Bukik Batabuah Kabupaten Agam, Sumatera Barat. 

Oleh: Firdaus, Walinagari Bukik Batabuah Kab. Agam, Ketua DPD KNPI Bukittinggi, Tokoh Muda Minangkabau

Minangkabau adalah sebuah tatanan adat yang unik, dengan sistem matrilineal—garis keturunan ditarik dari ibu. Dalam sistem ini, dikenal adanya harta pusako tinggi, yakni harta yang diwariskan turun-temurun melalui garis ibu. Harta pusako bukan sekadar aset materi, tetapi simbol marwah, identitas, dan keberlanjutan kaum.

Dalam adat Minangkabau, harta pusako tinggi merupakan hak bagi laki-laki, milik bagi perempuan. Artinya, laki-laki memiliki hak untuk mengurus dan menjaga, sementara perempuan sebagai pemilik tidak dapat dipisahkan dari pusaka itu. Oleh karena itu, harta pusako tinggi tidak boleh diperjualbelikan ataupun digadaikan.

Adat pun menegaskan: “Harto pusako tinggi itu di jua indak makanan bali, di gadai indak makanan tando.”

Artinya, pusako yang telah terjual tidak bisa ditebus kembali, pusako yang tergadai bisa hilang tanpa tanda.

Namun adat juga memberi ruang bijaksana. Harta pusako boleh digadai atau dijual hanya jika bertemu dengan empat hal yang disebut “Nan Ampek”:

Baca juga: Dua Warga Solok Selatan Diserang Harimau, BKSDA Pasang Perangkap dan Lakukan Patroli Penghalauan

1. Rumah gadang katirisan – rumah gadang bocor atau rusak berat yang harus diperbaiki demi martabat kaum.

2. Gadih gadang indak balaki – anak gadis dewasa yang belum menikah, sehingga perlu biaya untuk perjodohannya agar marwah keluarga tetap terjaga.

3. Maik tabujua di tangah rumah – ada anggota keluarga yang meninggal dan butuh biaya untuk penyelenggaraan jenazah sesuai adat.

4. Mambangkik batang tarandam – membangkitkan martabat kaum yang hilang atau membangun kembali sesuatu yang menjadi lambang identitas keluarga.

Selain dari empat hal ini, menjual atau menggadaikan harta pusako adalah perbuatan yang celaka, karena sama saja dengan melepaskan identitas dan marwah kaum demi kepentingan pribadi. Harta pusako bukan milik satu orang, tetapi milik generasi yang lalu, yang kini, dan yang akan datang.

Baca juga: 5 Fakta Seputar Serangan Harimau di Solok Selatan, Ayah dan Anak Jadi Korban

Sebagai generasi muda Minangkabau, kita harus menyadari bahwa pusako adalah benteng marwah kita. Jangan sampai karena kepentingan sesaat, pusako dijual murah, lalu anak-cucu kita kelak kehilangan akar dan sejarahnya.

Saya, sebagai anak nagari, Walinagari Bukik Batabuah, Ketua DPD KNPI Bukittinggi, sekaligus bagian dari generasi muda Minang, mengajak kita semua untuk kembali kepada pepatah adat: “Jikok indak basuo jo nan ampek, pantang pusako dijua gadang.”

Karena pada akhirnya, menjaga pusako adalah menjaga marwah Minangkabau itu sendiri.(*)

Sumber: Tribun Padang
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved