Opini

Citra Masakan Padang Terjun Bebas: Antara Gengsi dan Perang Harga Murah!

Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat di berbagai daerah—khususnya di Sumatera dan Pulau Jawa—semakin terbiasa menemukan rumah makan Padang

Editor: Rahmadi
Dok. Pribadi
Mel Sofyan, Ketua Umum Rumah Seniman Minang. Mel menyoroti dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat di berbagai daerah—khususnya di Sumatera dan Pulau Jawa—semakin terbiasa menemukan rumah makan Padang dengan harga yang mencengangkan. 

Oleh: Mel Sofyan, Ketua Umum Rumah Seniman Minang

Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat di berbagai daerah—khususnya di Sumatera dan Pulau Jawa—semakin terbiasa menemukan rumah makan Padang dengan harga yang mencengangkan. Di sudut-sudut kota besar, terutama kawasan Jabodetabek dan Yogyakarta, menjamur rumah makan yang menawarkan menu lengkap masakan Padang hanya seharga Rp10.000 hingga Rp12.000.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apa yang sedang terjadi dengan dunia usaha rumah makan Padang?

Selama ini, masakan Padang dikenal sebagai kuliner dengan cita rasa tinggi, kaya rempah, dan penuh warisan budaya. Nilai eksklusifnya terjaga melalui kualitas bahan, resep turun-temurun, dan filosofi pelayanan. Namun kini, citra itu perlahan memudar—bahkan terancam punah.

Padahal, harga bahan pokok dan bumbu-bumbu dapur yang menjadi kunci kelezatan masakan Padang justru terus melonjak. Secara logika ekonomi, harga jual seharusnya ikut naik, bukan justru anjlok. Namun itulah yang terjadi: harga terus ditekan hingga ke titik yang tak masuk akal.

Baca juga: Diplomasi Kuliner Gubernur Sumbar: Mempersatukan Kepala Daerah Melalui Cita Rasa Masakan Padang

Dari Strategi Bertahan Menuju Perang Bunuh Diri

Kondisi ini menciptakan dugaan: apakah para pemilik rumah makan Padang kehilangan arah dalam bersaing? Atau ini bentuk adaptasi ekstrem demi bertahan hidup?

Yang pasti, kompetisi harga yang brutal telah mengorbankan kualitas rasa, keaslian resep, bahkan marwah kuliner Minang itu sendiri.

Memang, masih ada rumah makan Padang yang bertahan menjaga mutu dan pelayanan. Tapi mereka makin terpinggirkan oleh gelombang rumah makan murah yang membidik pasar menengah ke bawah. Jika fenomena ini dibiarkan tanpa koreksi kolektif, warisan kuliner Minangkabau akan terkikis dari akar.

Baca juga: Rekor MURI Rendang di HUT Bhayangkara, Ketua DPRD Sumbar Harapkan UMKM Maju dan Rakyat Sejahtera

Bukan Lagi Kompetisi Sehat, Tapi Perang Budaya

Sudah waktunya para pelaku usaha rumah makan Padang duduk bersama. Bukan untuk saling menyalahkan, tapi merumuskan strategi bertahan secara kolektif dan bermartabat. Persaingan harus diarahkan pada inovasi rasa, keaslian resep, dan pelayanan prima—bukan sekadar adu murah.

Lebih dari sekadar pedagang, para pengusaha rumah makan Padang adalah duta budaya Minangkabau. Melalui masakan dan pelayanan merekalah, wajah Minangkabau dikenal oleh dunia luar. Maka menjaga marwah dan keaslian kuliner adalah tanggung jawab bersama.

Saatnya Diaspora dan Tokoh Minang Turun Tangan

Tokoh-tokoh Minang di ranah maupun rantau—baik lokal, nasional, maupun internasional—harus mulai turun tangan. Dukungan berupa edukasi, pelatihan, promosi, hingga standarisasi mutu sangat penting untuk memperkuat posisi rumah makan Padang sebagai kuliner kelas dunia.

Jangan biarkan harga murah menghancurkan harga diri. Menjual murah tanpa strategi hanya akan mendatangkan kerugian—bukan hanya dari sisi bisnis, tapi dari sisi identitas budaya.

Jika tak ada langkah nyata sekarang, jangan terkejut bila suatu hari nanti masakan Padang hanya tinggal cerita—warisan rasa yang hilang, akibat kesalahan kita sendiri.(*)

Sumber: Tribun Padang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved