Air itu coklat pekat, menghantam rumahnya yang berjarak puluhan meter dari bantaran sungai sedalam belasan meter.
Pipit kelabakan, sigap mencari pintu rumah, memulai langkah panik dengan kencang ke belakang rumah.
Langkahnya panjang, di gelap malam saat lampu sudah padam, bersama menantunya, Pipit menyusuri ingatannya mengingat gambaran jalan untuk menyelamatkan diri.
Bersama doa dan teriakan Allahuakbar, ia dan menantunya selamat dari hempasan pohon tujuh meteran yang roboh karena banjir lahar dingin.
Tidak hanya pohon itu yang membuatnya cemas, rumah kakaknya berjarak 10 meteran dari rumahnya juga hanyut bersama pohon itu.
Material rumah kakaknya turut menghanyutkan rumah Pipit dan rumah menantunya.
"Saya melihatnya habis terbawa air, tapi kondisi air yang sangat besar. Saya tidak berani untuk kembali ke sana. Saya hanya berharap kakak saya selamat," ujarnya.
Bersama warga, Pipit sempat dievakuasi dengan mobil Pick-Up ke tempat lebih aman. Sekitar satu jam pula ia disana.
Rasa cemas menghampiri dirinya, meski sudah berdoa dengan sekuat tenaga, bagaimana kondisi kakaknya masih menjadi beban bagi Pipit.
Di sana ia menangis mengingat rumah kakaknya hanyut, sedangkan ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Pipit yakin sekali saat kejadian kakaknya sedang tertidur pulas, mengingat kebiasaan kakaknya yang setiap pukul 22.00 WIB sudah naik ke kasur untuk istirahat.
Benar saja, selang beberapa jam beberapa warga yang sudah melihat kembali lokasi kejadian, mengabari Pipit, bahwa kakaknya ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa .
Meski sudah mendapatkan kabar kakaknya meninggal Pipit masih belum percaya, bahwa malam itu malam terakhirnya bercanda dengan kakaknya.
Tidak hanya kondisi kakaknya yang membenai Pipit, kabar suaminya yang belum kunjung ada juga menghantui perasaannya.
"Tapi saya coba yakin saja kalau suami saya masih baik-baik saja. Jadi saya putuskan untuk melihat kakak saya dulu ke rumah sakit," ujarnya.