Sebagai bukti nyata, pada penghujung Maret 2021, banjir besar melanda dua kecamatan di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Kawasan ini berbatasan langsung dangan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) tepatnya di kecamatan Ranah Ampek Hulu Tapan dan Basa Ampek Balai Tapan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat.
Saat itu banjir tak hanya limpahan air tetapi juga membawa balok-balok kayu yang diduga berasal dari hutan TNKS, dugaan ini berdasarkan jenis kayu dan asal datangnya kayu, yaitu ada balok-balok kayu berjenis Meranti dan Surian, balok kayu tersebut bahkan ada yang menghantam beberapa rumah warga sehingga menyebabkan kerusakan yang cukup parah.
Hal sama juga pernah dilalui warga Tapan, Kabupaten Pesisir Selatan, Ahmadi, dulu pernah bekerja menjadi bagian dari pelaku ilegal loging sebagai penyedia jasa pengakut balok-balok kayu dari dalam hutan ke luar. Hal tersebut dilakukannya tidak terlepas atas keinginan untuk mengubah perekonomian keluarga.
Ahmadi menceritakan bagaimana ia membawa kayu-kayu balok tersebut untuk bisa keluar dari hutan dengan ditarik menggunakan tali dengan kekuatan tenaganya lalu dihanyutkan ke sungai dan sebelum itu ia harus melakukan perjalanan terlebih dahulu ke bukit kawasan TNKS dimana tempat penebangan kayu ilegal tersebut.
“Sekitar tahun 2000 an saya bekerja mengangkut kayu ilegal logging, selama tiga tahun lamanya saya bekerja seperti itu,” kenang Ahmadi.
Tahun 2000 an tersebut menurut Ahmadi masih banyak cukong-cukong kayu, sehingga bisa memilih dimana ingin bekerja dengan upah yang besar.
Ahmadi menceritakan upah yang diterimanya saat itu ada Rp 25 ribu per potong kayu yang dibawanya ke luar hutan. Upah tersebut langsung dibayar cukong jika pekerjaan telah selesai.
Seiring berjalannya waktu, Ahmadi merasa tidak ada perubahan ekonomi kehidupannya dengan bekerja sebagai pengangkut kayu illegal logging tersebut. Malahan Ahmadi merasa bersalah terhadap diri dan lingkungannya. Sebab secara tidak langsung dia sudah menjadi bagian dari pelaku ilegal logging yang merusak kelestarian hutan.
Sadar akan pekerjaannya yang salah, Ahmadi mulai berladang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mulai dari berladang palawija, perlahan Ahmadi mengumpulkan uang dari hasil ladangnya dan bergabung dalam kelompok tani hingga akhirnya memiliki ladang seluas dua hektar.
Ahmadi merasa hidupnya lebih tenang dengan berladang dan perekonomian keluarganya lebih baik daripada saat ia menjadi penyedia jasa pengangkut kayu ilegal logging.
Ahmadi juga mulai mengajak para warga lain untuk berladang agar tidak bekerja sebagai penyedia jasa untuk membantu pembalakan liar di hutan TNKS. Ajakan tersebut dilakukannya dari satu warga ke warga lainnya.
“Hutan ini sumber kehidupan, kalau dirusak tentu akan berdampak kepada hidup kita juga. Makanya kita harus jaga hutan,” kata Ahmadi yang memiliki tiga orang anak ini.
Ahmadi juga tak memungkiri hingga saat ini masih ada pembalakan liar yang terjadi di kawasan hutan di daerah Tapan. Hal itu biasanya terjadi tak terlepas dari permasalahan ekonomi dan susahnya bagi warga untuk mencari pekerjaan lain.
“Pasti berawal dari masalah ekonomi makanya mau bekerja seperti itu,” sebut Ahmadi.
Hal tersebut terlihat beberapa waktu lalu ketika penulis mengunjungi hutan kawasan TNKS di Tapan, Kabupaten Pesisir Selatan nampak masih ada tersisa aktivitas pembalakan liar seperti potongan-potongan kayu yang ditinggal begitu saja di tengah hutan oleh pelaku ilegal logging.