TRIBUNPADANG.COM, PADANG - Berbekal pengalaman tsunami Aceh 2004, Hidayat mengomandoi ratusan relawan dalam operasi gempa Sumbar 2009.
Ia yang kala itu menjabat sebagai Kepala Markas Palang Merah Indonesia (PMI) Provinsi Sumatra Barat (Sumbar) menghimpun relawan PMI dari berbagai daerah di Indonesia.
"Ada 800 relawan se-Indonesia, kecuali Jayapura dan Maluku," ujar Hidayatul Irwan mengawali, saat berbagi pengalaman dengan TribunPadang.com, Kamis (29/9/2022).
Baca juga: Kepala BMKG Dwikorita Karnawati Menilai Kota Padang, Paling Siap Hadapi Bencana Gempa, dan Tsunami
Hidayat sebenarnya juga korban gempa.
Ia adalah warga Kota Padang yang tinggal di Gunung Sarik, Kecamatan Kuranji.
Saat gempa ia ketika itu berada di Hotel Pangeran Beach di Ulak Karang, Kecamatan Padang Utara.
"Saya sedang berada di kamar lantai 2. Tiba-tiba gempa. Untungnya kamar saya itu ada jendela menuju lantai paling atas ballroom. Spontan saya melompat ke sana," kisahnya.
Malang melintang di kebencanaan, mental Hidayat telah membatu. Jiwa kepemimpinannya juga telah terbentuk.
Pasca gempa, dari hotel pangeran, saat itu ia bergegas ke Markas PMI Provinsi Sumbar di Jalan Sisingamangaraja, Kecamatan Padang Timur.
Ia berfikir Kota Padang pasti luluh lantah setelah lindu yang kuat.
Ia harus segera menghimpun relawan untuk operasi.
"Istri saya ketika itu sedang bekerja di Rumah Sakit Selasih, saya belum kepikiran kesana, yang saya pikir bagaimana cepat-cepat sampai markas," imbuhnya.
"Saya baru pulang subuh setelah mendapat kabar istri saya sudah pulang duluan. Ini yang membuat saya sedikit lega," lanjut Hidayat.
Baca juga: Mengenang Gempa 30 September 2009, Wali kota Padang Sebut Jatuh Korban Ratusan Jiwa, dan Luka-luka
Perempuan Berdarah
Sebelum sampai ke markas, Hidayat melewati sejumlah ruas jalan di Kota Padang dengan sepeda motor.
Apa yang dipikirkannya memang terjadi. Daerah yang ia tempati selama ini porak-poranda.
"Di kawasan Purus Kebun, Kecamatan Padang Barat, saya lihat ada yang terbakar, ruko-ruko banyak miring dan roboh. Jalanan sudah macet," kata Hidayat.
Di kawasan Sawahan, Kecamatan Padang Timur, Hidayat bertemu dengan seorang perempuan berdarah-darah di bagian kepala.
Di sisi perempuan yang tergelak itu, ada seorang laki-laki yang menunggu dan menangisinya. Sesekali juga meminta pertolongan dari orang yang melintas.
"Dengan berat hati saya tidak bisa menolong, kondisinya juga sudah sangat parah dan sulit untuk bisa selamat. Saya ketika itu berpikir harus cepat ke markas," tuturnya.
"Saya kumpulkan relawan, kita mulai operasi. Karena pasti ada yang selamat tapi tertimpa bangunan, ini yang taget kita," sambungnya.
Sesampai di markas, ia bergegas melaporkan kondisi Kota Padang ke PMI Pusat melalui telepon kabel.
Setelah itu, ia baru menghubungi relawan se-Kota Padang melalui radio HT untuk melaporkan kondisi masing-masing dan berkumpul di markas.
"Ketika itu tidak banyak yang berkumpul, karena ada juga yang menjadi korban," ucapnya.
Relawan yang telah berkumpul dibagi beberapa tim. Dengan membawa peralatan seadanya, mereka terjun ke lokasi mengevakuasi korban yang tertimpa reruntuhan.
"Kita bergabung dengan TNI dan Polri ketika itu," ucapnya lagi.
Ia menuturkan, lokasi yang terparah ketika itu adalah Hotel Ambacang (kini Hotel Axana) dan tempat bimbel Gama.
Satu tim ia terjunkan ke masing-masing lokasi untuk membantu mengevakuasi.
Baca juga: Mengenang Gempa 2009 : Pemko Padang Gelar Apel, Pencanangan Tsunami Ready Community
Rumah sakit penuh
Semalaman beroperasi di hari pertama dan lanjut seharian di hari kedua, ratusan orang berhasil dievakuasi.
Terutamanya mereka yang selamat dan luka-luka.
Rumah sakit mendadak penuh. Pasien luka-luka yang begitu banyak membuatnya berinisiatif membuka pelayanan medis di markas PMI.
Apalagi beberapa rumah sakit turut ambruk karena gempa, salah satunya RSUP M Djamil Padang.
Menggunakan terpal seadanya, pihaknya membangun tempat pengobatan sementara di halaman markas.
"Kita ada SDM medis, ada peralatan medis, kita kerahkan dan gunakan semuanya untuk mengobati dan merawat yang luka-luka ini," ungkapnya.
Korban terus bertambah. Selain yang luka-luka, yang meninggal juga mulai keluar.
Apalagi ratusan relawan sudah mulai berdatangan via udara dan darat. Proses evakuasi semakin cepat.vSebanyak 800 relawan PMI di bawah komandonya.
"Kita ketika itu kekurangan ambulans, meski sudah ada bantuan juga dari provinsi tetangga, Sumut, Riau, Jambi dan lainnya" kenang Hidayat.
"Kalau kondisi kami sendiri, alhamdulillah selama itu kuat dan semangat semua, padahal kurang istirahat. Alhamdulillah tidak ada yang sakit semua," tutupnya.
Air bersih dari Banda Bakali
Kian hari, suasana semakin sulit. Aliran listrik padam, makanan sulit, dan sumber air bersih tidak ada.
Hidayat menyebut, pihaknya menyuplai air bersih yang diolah dari air sungai Banda Bakali di Simpang Haru, Kecamatan Padang Timur.
Ada puluhan relawan yang bertugas di sana secara bergantian.
"Kita punya alat yang memadai untuk itu. Selain kita, juga ada dari Australia di Muara," bebernya.
Hidayat menerangkan, sumber air bersih yang dibangun pihaknya untuk menyuplai kebutuhan air bersih untuk wilayah timur Kota Padang.
"Sementara untuk wilayah barat Kota Padang disuplai dari tim Australia," kata Hidayat.
Selama berminggu-minggu ia memimpin operasi, tak ada halangan yang begitu berat melintang dihadapannya.
"Emosional saya terus saya jaga agar tetap stabil, karena saya komandonya saya harus kuat,"
"Alhamdulillah selama operasi kami baik-baik semua, kuat dan semangat semua meski kelelahan. Alhamdulillah sehat juga semuanya sampai selesai," tutupnya.
Tepat hari ini, Jumat (30 September 2022), 13 tahun insiden gempa Sumatra Barat 2009 yang memporak-porandakan Kota Padang berlalu.
Ratusan orang di Kota Padang meregang nyawa dalam peristiwa ini. Sementara se-Sumber dilaporkan seribuan orang.
Selain itu, ratusan ribu bangunan rusak, baik rumah warga, fasilitas umum, maupun perkantoran. Kerugian ditaksir puluhan triliun rupiah.
(TribunPadang.com, Muhammad Fuadi Zikri)