Opini Citizen Journalism

Opini : Uang Kuliah Tunggal yang tak Masuk Akal, Persempit Akses Pendidikan

Bila sebuah kebijakan publik lahir tanpa partisipasi berarti dari masyarakat, hasilnya

Editor: Emil Mahmud
DOK/TribunPadang.com/Wahyu Bahar
AKSI DEMO MAHASISWA - Mahasiswa dari berbagai kampus di Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) hingga aktivis melakukan demonstrasi ke Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Mereka demontrasi merespons kondisi Indonesia hari ini, khususnya terkait efisiensi anggaran dan kebijakan pemerintah. 

Oleh:  Maisyarah,
Mahasiswa Prodi Ilmu Hukum,
Universitas Nahdlatul Ulama Sumatera Barat


BILA sebuah kebijakan publik lahir tanpa partisipasi berarti dari masyarakat, hasilnya bisa menjadi kontraproduktif.

Fenomena terkait Permendikbudristek No. 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi Negeri (SSBOPTN), yang dalam praktiknya diikuti oleh penyesuaian besar-besaran terhadap Uang Kuliah Tunggal (UKT) di sejumlah perguruan tinggi negeri.

Kebijakan ini sejatinya dimaksudkan untuk memperbaiki akuntabilitas dan efisiensi pembiayaan pendidikan.

Namun dalam implementasinya, sejumlah mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil menyampaikan keberatan, terutama terkait kurangnya transparansi dan minimnya ruang dialog publik dalam proses perumusan kebijakan ini.

Universitas Indonesia (UI), misalnya, pemberlakuan UKT baru bagi mahasiswa tahun ajaran 2024/2025 memicu protes karena kelompok UKT menengah ke atas mengalami kenaikan signisifkan. Dalam laporan Kompas.com (16 Mei 2024), perwakilan mahasiswa menyampaikan keresahan karena beberapa program studi kini menetapkan UKT belasan juta per semester, bahkan untuk kelompok yang sebelumnya berada di tengah.

Hal serupa terjadi di Universitas Sumatera Utara (USU). Menurut laporan Detik.com (17 Mei 2024), mahasiswa Fakultas Kedokteran USU mengeluhkan UKT yang ditetapkan hingga Rp25 juta per semester.

Padahal tahun-tahun sebelumnya berada di kisaran Rp10-15 juta. BEM USU menilai kebijakan ini membenai calon mahasiswa baru dari keluarga tidak mampu dan menuntut agar pihak kampus membuka detail perhitungan biaya secara transparan.

Kita tidak bisa memungkiri bahwa biaya pendidikan tinggi memang mahal, dan kebutuhan pendanaan institusi harus dikelola dengan baik.

Namun, proses hukum yang menerjemahkan kebijakan publik seperti ini harus tetap menjunjung prinsip akuntabilitas dan keadilan sosial. 

Kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak terlebih pendidikan tidak cukup hanya legal secara administratif, tapi juga harus legitim secara sosial.

Permendikbudristek No. 2/2024 sah secara hukum, tapi menuai kritik karena dipertanyakan akan relatif belum sepenuhnya berbasis riset sosial menyeluruh.

Kemudian juga, relatif rendah atau minim keterlibatan publik, terutama dari kalangan mahasiswa dan masyarakat terdampak. 

Hal ini memperlihatkan bahwa mekanisme hukum sebagai alat penerjemah kebijakan publik belum sepenuhnya mengakomodasi prinsip partisipasi demikratis.

Masalah utamanya bukan pada kebijakan itu sendiri, melainkan pada cara hukum membumikan kebijakan dalam bentuk regulasi konkret. Ketika peraturan disusun dari atas tanpa ruang kritik, hasilnya bisa menjadi bentuk eksklusi struktural bukan secara sengaja, tapi melalui proses hukum yang terlalu teknokratis dan sempit.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved