Opini Citizen Journalism

Opini : Menemukan Keheningan yang Menyentuh: Belajar dari Sunyinya Rumah Ibadah

PADA saat hiruk-pikuk dunia yang terus bergerak, keheningan kerap terasa seperti kemewahan yang langka. Padahal, justru dalam diam itulah manusia bisa

Editor: Emil Mahmud
FOTO: ISTIMEWA
ILUSTRASI RANCANGAN ARSITEKTUR - Corak serta arsitektur gereja memang dirancang untuk menyentuh emosi manusia. Peter Zumthor menyebut pengalaman semacam itu sebagai “atmosfer,” yakni perasaan ruang yang begitu kuat hingga mampu berbicara langsung kepada jiwa (Zumthor, 2006). 

Oleh: Nadyah Ayuningsih, Mahasiswa Arsitektur Universitas Andalas

PADA saat hiruk-pikuk dunia yang terus bergerak, keheningan kerap terasa seperti kemewahan yang langka. Padahal, justru dalam diam itulah manusia bisa menemukan kembali keseimbangannya. Ketenangan hati bukanlah sesuatu yang abstrak; ia hadir saat pikiran mampu mengenali, menerima, dan mengelola emosinya dengan jernih. 

Seperti dikatakan Juhani Pallasmaa, arsitektur sejatinya adalah seni yang mendamaikan manusia dengan dunia di sekitarnya—ia tidak hanya memuaskan indera visual, tetapi menyentuh seluruh indera untuk menghadirkan keutuhan pengalaman (Pallasmaa, 2005).

Pernahkah Anda masuk ke dalam gereja tua sekaligus rumah ibadah yang sepi? Tidak ada lantunan doa yang menggema atau suara adzan yang menggetarkan, hanya keheningan yang menyelimuti dan cahaya lembut yang menyusup dari jendela-jendela tinggi berhiaskan kaca patri. 

Udara sejuk berhembus pelan, membawa keteduhan yang tidak dijelaskan tapi terasa. Duduk diam di sana, tanpa kata, kadang cukup untuk membuat hati hangat.

Itu bukan sulap atau sugesti—arsitektur gereja memang dirancang untuk menyentuh emosi manusia. Peter Zumthor menyebut pengalaman semacam itu sebagai “atmosfer,” yakni perasaan ruang yang begitu kuat hingga mampu berbicara langsung kepada jiwa (Zumthor, 2006).

Lihat saja gereja-gereja klasik di Eropa. Langit-langitnya menjulang tinggi, kubahnya megah, dan bentuk ruangnya mengarahkan pandangan lurus ke altar.

Semua itu menciptakan rasa kecil, bukan untuk mengecilkan manusia, tapi untuk membuatnya merenung dalam kebesaran. Gaston Bachelard menyebut ruang seperti ini sebagai “wadah bagi kenangan dan emosi”—mereka bukan sekadar geometri, melainkan tempat yang menyimpan pengalaman batin terdalam (Bachelard, 1994).

Baca juga: Prodi Arsitektur Unand Gelar Workshop, Terkait Dokumentasi Arsitektur di Kota Sawahlunto

Hening Gema
ILUSTRASI RANCANGAN ARSITEKTUR - Corak serta arsitektur gereja memang dirancang untuk menyentuh emosi manusia. Peter Zumthor menyebut pengalaman semacam itu sebagai “atmosfer,” yakni perasaan ruang yang begitu kuat hingga mampu berbicara langsung kepada jiwa (Zumthor, 2006).

Baca juga: Membangun Sinergi: Kunjungan Resmi, Program Studi Arsitektur Unand ke UiTM Malaysia

Pencahayaan alami dari jendela yang tinggi menenangkan, dan sistem akustiknya menjaga gema tetap hening. Bahkan langkah kaki terdengar lebih lambat, seolah ruang itu memaksa kita untuk berhenti dan mendengarkan diri sendiri.

Pertanyaannya: mengapa pendekatan ini hanya kita temukan di tempat ibadah?

Bayangkan jika rumah sakit, perpustakaan, atau bahkan ruang kelas dirancang dengan prinsip serupa. 

Langit-langit tinggi untuk memberi rasa lega, cahaya alami yang disaring indah, lorong-lorong sunyi yang merangsang refleksi, hingga material yang menyerap suara tanpa membunuh suasana.

Studi klasik oleh Roger Ulrich bahkan menunjukkan bahwa pasien rumah sakit yang mendapat akses visual ke alam dari jendela sembuh lebih cepat dan membutuhkan lebih sedikit obat penghilang rasa sakit dibanding pasien yang hanya melihat dinding bata (Ulrich, 1984). Ini bukan soal meniru simbol keagamaan, tapi menyerap pesan dari cara ruang dibentuk agar selaras dengan batin manusia.

Sakral tak selalu identik dengan agama. Ia bisa hadir saat sebuah ruang mampu menampung emosi kita—entah itu sedih, haru, harap, atau bahagia.

Mircea Eliade dalam karyanya The Sacred and the Profane menyatakan bahwa manusia modern pun tetap merindukan ruang yang dapat menandai momen transendensi, meskipun dalam bentuk yang profan—seperti kesendirian di bangku taman, keheningan perpustakaan, atau sunyinya ruang kelas yang kosong (Eliade, 1957).

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved