Opini Citizen Journalism
Opini : Menemukan Keheningan yang Menyentuh: Belajar dari Sunyinya Rumah Ibadah
PADA saat hiruk-pikuk dunia yang terus bergerak, keheningan kerap terasa seperti kemewahan yang langka. Padahal, justru dalam diam itulah manusia bisa
Tak heran, banyak orang justru menangis saat sendiri di sudut ruangan, bukan ketika mendengar khotbah. Ruang bisa menyembuhkan, memberi pelukan diam-diam kepada jiwa yang lelah.
Inilah tantangan sekaligus peluang bagi arsitektur masa kini: menciptakan ruang yang bukan hanya fungsional, tapi juga emosional.
Christopher Day, arsitek yang dikenal dengan pendekatan penyembuhan melalui desain, menyebut ruang semacam ini sebagai places of the soul, tempat di mana tubuh dan batin bisa merasa diterima, dipulihkan, dan dihargai (Day, 2002).
Kota-kota besar yang penat membutuhkan tempat-tempat yang mengizinkan manusia merasa, bukan sekadar bergerak. Bayangkan jika kantor bisa membuat kita lebih sabar, rumah sakit membuat kita tenang, dan kampus tak hanya mendidik, tapi juga merawat pikiran.
Kendati tak juga perlu untuk meniru bentuk gereja, tapi bisa belajar dari prinsip-prinsip yang membuatnya menenangkan. Sebab di balik sunyinya, gereja mengajarkan satu hal penting: bahwa ruang bisa menjadi teman bagi jiwa.
Dan, barangkali, di masa depan, kita semua butuh teman seperti itu.(*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/padang/foto/bank/originals/Hening-Gema.jpg)