Opini Citizen Journalism

Opini : Menemukan Keheningan yang Menyentuh: Belajar dari Sunyinya Rumah Ibadah

PADA saat hiruk-pikuk dunia yang terus bergerak, keheningan kerap terasa seperti kemewahan yang langka. Padahal, justru dalam diam itulah manusia bisa

Editor: Emil Mahmud
FOTO: ISTIMEWA
ILUSTRASI RANCANGAN ARSITEKTUR - Corak serta arsitektur gereja memang dirancang untuk menyentuh emosi manusia. Peter Zumthor menyebut pengalaman semacam itu sebagai “atmosfer,” yakni perasaan ruang yang begitu kuat hingga mampu berbicara langsung kepada jiwa (Zumthor, 2006). 

Tak heran, banyak orang justru menangis saat sendiri di sudut ruangan, bukan ketika mendengar khotbah. Ruang bisa menyembuhkan, memberi pelukan diam-diam kepada jiwa yang lelah.

Inilah tantangan sekaligus peluang bagi arsitektur masa kini: menciptakan ruang yang bukan hanya fungsional, tapi juga emosional.

Christopher Day, arsitek yang dikenal dengan pendekatan penyembuhan melalui desain, menyebut ruang semacam ini sebagai places of the soul, tempat di mana tubuh dan batin bisa merasa diterima, dipulihkan, dan dihargai (Day, 2002).

Kota-kota besar yang penat membutuhkan tempat-tempat yang mengizinkan manusia merasa, bukan sekadar bergerak. Bayangkan jika kantor bisa membuat kita lebih sabar, rumah sakit membuat kita tenang, dan kampus tak hanya mendidik, tapi juga merawat pikiran.

Kendati tak juga perlu untuk meniru bentuk gereja, tapi bisa belajar dari prinsip-prinsip yang membuatnya menenangkan. Sebab di balik sunyinya, gereja mengajarkan satu hal penting: bahwa ruang bisa menjadi teman bagi jiwa.

Dan, barangkali, di masa depan, kita semua butuh teman seperti itu.(*)

 

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved