Opini

Menikam Jejak dan Mengembalikan Kejayaan Kopi di Nagari Pagadih

Penggalakan kembali penanam kopi di nagari ini menjadi bagian dari pemaksimalan potensi lahan yang ada di Nagari Pagadih.

Editor: Rahmadi
Dok. Syahrul
PETANI KOPI PAGADIH - Petani Memanen Kopi di Nagari Pagadih, Kabupaten Agam, Sumatera Barat (11/4/2023). Penggalakan kembali penanam kopi di nagari ini menjadi bagian dari pemaksimalan potensi lahan yang ada di Nagari Pagadih. 

Oleh: Syahrul Rahmat, Dosen Sejarah STAIN Sultan Abdurrahman Kepri dan Peneliti Regalia Institue

Jejeran batang kopi setinggi pinggang terhampar di hadapan mata. Di sela-sela biji hijau, beberapa terselip biji berwarna merah pekat, tanda biji kopi siap untuk di panen. Kopi tersebut berada di lahan yang dikelola oleh Syarif Efendi Datuak Sinaro, seorang tokoh adat di Nagari Pagadih, Kabupaten Agam, Sumatra Barat.

Jumat itu, tanggal 11 April 2025, hari sudah menjelang sore ketika saya menelusuri perkebunan jauh ke dalam, mata semakin dimanjakan oleh batang-batang kopi yang tumbuh dengan ranum. Sebanyak 1.000 pohon kopi terawat dengan baik, berjejer rapi pada tanah dengan ketinggian 844 mdpl. Ujung kebun tersebut berada di puncak bukit. Di kejauhan, hamparan pesawahan menyatu dengan bibir hutan, tepat di arah matahari terbenam.

Kopi tersebut berada pada kebun contoh yang sudah dimulai ditanam sejak 20 Juni 2023 silam. Penggalakan kembali penanam kopi di nagari ini menjadi bagian dari pemaksimalan potensi lahan yang ada di Nagari Pagadih. Disebut penggalakan kembali memang berkaitan dengan riwayat Nagari Pagadih yang sejak dahulunya sudah menjadi lokasi penanaman kopi sejak masa kolonialisme Belanda.

Tidak jauh dari kebun, terdapat rumah produksi yang dikelola oleh Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Argo Forestry Alam Merdeka. Di halaman rumah produksi terdapat bangunan putih yang diselimuti oleh plastik ultraviolet. Bangunan ini dikenal dengan drying house, yang berfungsi untuk mengeringkan kopi. 

Pengeringan menggunakan plastik ultraviolet juga biasa disebut dengan metode efek rumah kaca. Sam Budi, dkk (2020) dalam artikel berjudul “Studi Eksperimental Rumah Pengering Kopi Menggunakan Plastik Ultra Violet (UV Solar Dryer) Dengan Mekanisme Konveksi Alamiah”, menyebutkan energi surya adalah sumber utama dalam metode ini. Dalam prosesnya, radiasi sinar matahari diserap oleh plastik UV yang berfungsi sebagai penahan dan penghantar panas, sehingga temperatur dalam ruangan yang tertutup plastik tersebut tetap terjaga.

Baca juga: Jaga Kelestarian Hutan, LPHN Unggan Alihkan Warga dari Illegal Logging Jadi Petani Kopi di Sijunjung

Di dalam bangunan tersebut, terdapat sejumlah rak yang telah berisi biji kopi. Biji kopi di dalamnya beragam, beberapa di antaranya sudah berupa biji tanpa kulit, sebagian lainnya masih ditutupi kulit yang sudah mengering, bahkan sebagain lainnya masih berwarna merah, tanda kopi tersebut baru saja dipanen. 

Dibentuknya kelompok, dibukanya perkebunan yang dikelola tanpa menggunakan pupuk kimia hingga beberadaan rumah produksi ini menjadi sebuah gambaran, bahwa para petani kopi sedang mempersiapkan kopi berkualitas tinggi, dan barangkali juga sedang berupaya mengembalikan kejayaan kopi di Nagari Pagadih.

Aroma Kopi dari Masa Lalu: Sejarah Panjang Kopi di Pagadih

Pada dasarnya, kopi bukan merupakan komoditas baru bagi masyarakat nagari Pagadih. Jejak kopi di nagari Pagadih secara tidak langsung terlihat dari adanya jejak tanaman kopi di beberapa kebun masyarakat. Beberapa masyarakat pun mengakui bahwa Pagadih pernah “jaya” dengan kopi di masa lalu. 

Jika waktu ditarik jauh ke belakang, jejak pertanian kopi di Pagadih bahkan sudah ada sejak masa kolonial. Sekalipun demikian, secara spesifik, data terkait hasil produksi dan luas lahan kopi di Pagadih pada masa itu belum diketahui secara pasti. Namun, barangkali dapat disepakati bahwa kopi merupakan salah satu komoditas yang cukup populer dari dataran tinggi Minangkabau, terutama sejak abad ke-19. Dari sekian banyak sumber kolonial yang berbicara kopi, salah satunya dimuat dalam Tijdschrift voor Nederland's Indië, volume 18 tahun 1856.

Pada tahun 1854, Belanda mencatat sebanyak 1.540.000 gulden dihasilkan dari perkebunan kopi di dataran tinggi Padang (Padangsche bovenlanden). Jumlah tersebut, menurut Belanda, apabila tidak ada campur tangan pemerintah dan pembayaran terhadap pajak ekspor, maka sekitar 1.5 juta gulden akan diterima dengan bersih oleh masyarakat. Artinya, pada masa tersebut, kopi merupakan salah satu komoditas yang menjanjikan. 

Baca juga: WALHI Sumbar Gelar Sekolah Lapangan Kopi di Solok Selatan, Diikuti 22 Petani Kopi

Sekalipun demikian, bukan berarti tidak ada satupun sumber sejarah tentang kopi Pagadih. Sekalipun tidak membahas kopi atau pun Pagadih secara sepesifik, sebuah peta yang dikeluarkan oleh Biro Topografi Belanda di Batavia (Topographisch Bureau) pada paruh kedua tahun 1904, memberi titik terang tentang riwayat penanam kopi di nagari yang berbatasan langsung dengan Koto Tinggi, Kabupaten Lima Puluh Kota itu. 

Merujuk pada peta resmi yang dibuat untuk memetakan wilayah Gouvernement Sumatra’s Weskust tersebut, diketahui bahwa pada akhir abad ke-19 (1889-1898) beberapa titik di Nagari Pagadih adalah kebun kopi. Titik perkebunan kopi terbanyak ditemukan di Bateh Gadang, saat ini menjadi salah satu jorong yang ada di Pagadih. Rata-rata kebun kopi di wilayah ini berada di dataran tinggi, tepatnya di sekitaran Bukit Bateh Gadang.

Semakin ke utara, informasi dari peta yang merupakan koleksi digital Perpustakaan Universitas Leiden (Universiteit Leiden) menerangkan bahwa kebun kopi juga tersebar di beberapa bukit lain. Bukit-bukit tersebut adalah Bukit Runcing, Bukit Bulat, Bukit Jalan Tunggang hingga berakhir di Bukit Banio Baririk. Bukit terakhir ini kemudian juga menjadi menjadi salah satu jorong di Nagari Pagadih. Selain di perbukitan, kebun kopi juga ditemukan di sekitar aliran Batang Pagadih dan Batang Pagadih Gadang. 

Jefri Nurrahman, fasilitator yang mendampingi masyarakat Pagadih untuk pemberdayaan masyarakat menyebutkan, aspek historis dari keberadaan perkebunan kopi di Pagadih merupakan klaim historis yang digunakan untuk kembali menggalakkan penanaman kopi. Merujuk pada informasi dari peta, ia bersama masyarakat bahkan telah menelusuri titik-titik yang dahulunya menjadi lokasi penanaman kopi. Hasilnya ditemukan ditemukan sejumlah pohon kopi dengan diameter 34 sentimeter. 

Penanam Kopi Kembali dan Upaya Memaksimalkan Potensi Lahan

Berdasarkan data dari Lembaga Pengelolaan Hutan Nagari (LPHN) Pagadih, terdapat satu kebun percontohan yang disepakati untuk budidaya kopi dengan dua varietas. Kebun tersebut dikelola oleh Datuak Sinaro pada lahan seluas lebih kurang 1 hektare. Sebagian dari lahan yang dikelola tersebut di antaranya merupakan bagian 768 hektare Perhutanan Sosial yang ada di Nagari Pagadih. Kebun percontohan ini ditanami dua varietas kopi, yaitu varietas Robusta lokal (Situjuah) dan BP 358.

Baca juga: Wakili Sumbar, KUPS Agroekoeduwisata Pesona Pagadih Ikuti Festival Pesona KLHK di Jakarta

Selain dikelola perorangan, budidaya kopi di juga dilakukan oleh kelompok yang tergabung dalam KUPS Argo Forestry Alam Merdeka yang didirikan pada 17 Agustus 2023. Kelompok yang berada di bawah LPHN Pagadih ini melakukan budidaya kopi pada lahan yang notabenenya merupakan tanah kaum mereka masing-masing. 

Muhammad Riko Datuak Bagindo Kali yang merupakan Ketua LPHN Pagadih menyebutkan, KUPS Argo Forestry Alam Merdeka dijalankan oleh 10 orang anggota. Pada awalnya, setiap anggota kelompok ini masing-masingnya menamam sekitar 150 batang kopi dengan varietas BP 358. Lebih lanjut, setelah beberapa waktu berselang, kelompok ini juga melakukan pembibitan varietas Robusta Situjuah hingga 8.000 ribu bibit yang kemudian ditanam pada lahan anggota kelompok. 

Setelah lebih kurang dua tahun berselang, rata-rata kopi tersebut sudah mulai berbuah dan bahkan beberapa di antaranya sudah ada yang bisa dipanen, walaupun dalam jumlah yang terbatas.

Setelah dimulai oleh KUPS dan Datuak Sinaro, pemerintah nagari menyebutkan belakangan sejumlah masyarakat juga tertarik untuk menanam kopi pada lahan mereka masing-masing. Setidaknya terdapat sekitar 10 orang masyarakat yang secara keseluruhan telah menanam lebih kurang sebanyak 2.500 bibit kopi. 

Dalam hal ini, para petani di Nagari Pagadih terlihat mulai merespon kebutuhan pasar akan kopi. Merujuk pada artikel Bisnis.com yang ditayangkan pada 25 Maret 2025, disebutkan produksi kopi di Sumbar masih tergolong rendah, sekalipun untuk skala nasional Sumbar berada pada peringkat 10 besar. Sementara itu, jika melihat permintaan pasar, kopi-kopi dari Sumbar mulai diminati dan sudah mulai menembus pasar internasional.

Baca juga: Penas Tani XVI di Padang, KUPS Nagari Pagadih Agam Pamerkan 3 Produk Ramah Lingkungan

Setelah lebih dari seratus tahun sejak Pagadih ditanami kopi secara masal, petani kembali bergeliat untuk menggalakkan penanaman kopi. Sejauh ini, memang belum semua masyarakat menjadikan kopi sebagai tanaman utama di kebun mereka. Akan tetapi, sejumlah kebun yang dikelola sudah mulai menampakkan hasil. Harapannya tentu saja hal tersebut dapat menjadi pemantik bagi masyarakat untuk ikut menjadi bagian dari petani kopi, yang tentu saja bermuara pada kesejahteraan ekonomi masyarakat.***

 

Sumber: Tribun Padang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved