Polisi Tembak Polisi di Solok Selatan

Kapolres Diduga Terlibat Praktik Beking Tambang di Solok Selatan, Polda Sumbar: Masih Didalami

Nama Kapolres Solok Selatan AKBP Arief Mukti turut terseret dalam dugaan praktik beking tambang.

Penulis: Wahyu Bahar | Editor: Mona Triana
TribunPadang.com/Wahyu Bahar
Diskusi publik bertemakan "Mampukah Kapolri sapu bersih beking tambang emas ilegal di Sumatera Barat" yang diselenggarakan The Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) di Kota Padang, Rabu (4/12/2024) siang 

TRIBUNPADANG.COM, PADANG - Nama Kapolres Solok Selatan AKBP Arief Mukti turut terseret dalam dugaan praktik beking tambang.

Hal itu diungkap Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera Barat (Sumbar) pada sebuah diskusi publik yang diselenggarakan The Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) di Kota Padang, Rabu (4/12/2024) siang.

Direktur Eksekutif WALHI Sumbar Wengki Purwanto menyebut, Arief Mukti diduga menerima aliran dana beking tambang di Solok Selatan.

Disinyalir, Kapolres menerima uang Rp600 juta setiap bulan membekingi tambang ilegal. Wengki menuturkan, informasi terkait dugaan keterlibatan Arief Mukti itu dihimpun WALHI Sumbar dari kanal YouTube Kompas TV yang menyiarkan sidang etik tersangka polisi tembak polisi di Solok Selatan, yakni AKP Dadang Iskandar.

Di sidang tersebut, katanya, saksi menerangkan dugaan keterlibatan Kapolres saat proses pembacaan sangkaan terhadap Dadang.

Baca juga: Buntut Kasus Polisi Tembak Polisi, Mahasiswa Demo Minta Kapolda Sumbar Irjen Pol Suharyono Mundur

"Dari hasil analisis WALHI terhadap kasus ini, ternyata ada fakta lain yang belum dijelaskan ke publik oleh Kapolri maupun Kapolda (Sumbar). Ternyata Kapolres (Solok Selatan) disebut menerima aliran dana tambang ilegal per bulan itu Rp600 juta per bulan dari 20 unit alat berat, dan dari tambang-tambang lain yang disebut tambang tradisional," ujar Wengki.

Selain itu, kata dia, tambang galian c yang memicu peristiwa polisi tembak polisi itu diduga milik seorang personel kepolisian di Solok Selatan.

"Nah yang kedua, ternyata lokasi tambang galian c yang menjadi latar belakang Dadang menembak Ulil ternyata diduga dimiliki oleh anggota kepolisian yang berdinas di Polres Solok Selatan," ungkapnya.

"Jadi tambang ilegal ini dimiliki oleh polisi, dibekingi oleh polisi dan Kapolres di sisi lain juga menerima aliran dana tambang ilegal, meskipun tidak di situ, di tambang ilegal yang lain," tambah Wengki.

Diketahui sebelumnya, tambang galian c di Solok Selatan menjadi sorotan karena tewasnya Kasat Reskrim Polres Solok Selatan AKP Ryanto Ulil Anshar karena ditembak oleh rekannya sendiri yakni Kabag Ops AKP Dadang Iskandar.

Baca juga: Polisi Tembak Polisi dan Siswa SMK Tertembak, SETARA: Hambatan Serius Agenda Transformasi Kepolisian

Di samping itu, Wengki menyebut, dugaan keterlibatan polisi dalam tambang ilegal, khususnya di Solok Selatan semestinya menjadi momentum bersih-bersih institusi kepolisian.

"Dengan fakta ini, mestinya kasus ini diambil langsung oleh Kapolri. Dalam arti, tidak hanya soal Dadang saja. Tapi Kapolri harus memeriksa Kapolda secara langsung dan seluruh Kapolres di Sumatera Barat. Karena tambang ilegal ini masif, tidak hanya di Kabupaten Solok Selatan, juga Sijunjung, Solok, Dharmasraya, Pasaman, Pasaman Barat, dan di banyak tempat," ujar Wengki.

TribunPadang.com memintai tanggapan Polda Sumbar terkait dugaan keterlibatan AKBP Arief Mukti dalam membekingi tambang ilegal di Solok Selatan itu.

"Masih didalami," ujar Kepala Bidang (Kabid) Hubungan Masyarakat (Humas) Polda Sumbar Kombes Pol Dwi Sulistyawan melalui pesan WhatsApp pada Kamis (5/12/2024) siang.

Baca juga: Bekas Peluru di Kaca Depan hingga Tempat Tidur, Temuan Kompolnas Seusai Cek TKP Polisi Tembak Polisi

Dewi Anggraini, pengajar di Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas memaparkan, berdasarkan riset yang dia lakukan sejak 2015 lalu dapat diklasifikasikan sejumlah aktor yang terlibat dalam tambang ilegal, di antaranya pemilik modal, pemilik lahan, operator mesin hingga supplier BBM hingga pekerja tambang.

Hanya saja, yang kerap menjadi korban ialah pekerja, yakni masyarakat. Ketika pemilik modal meraup cuan yang banyak, pekerja hanya dapat upah yang hanya dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Belum lagi, risiko kehilangan nyawa yang menghantui para pekerja.

"Risikonya besar bagi pekerja tambang, tapi keuntungan bukan milik mereka. Mereka tak punya pekerjaan lain, sedangkan kebun atau lahan pertanian mereka sudah tak ada karena tambang," Dewi.

Selain aktor-aktor yang disebutkan tadi, kata Dewi, juga ada aktor yang tak berlumpur kakinya, namun mendapatkan keuntungan, yakni yang membekingi tambang. "Itulah dia oknum aparat penegak hukum, biasanya kepolisian," ujarnya.

Sebagaimana diketahui, sebagian wilayah Sumbar marak aktivitas tambang ilegal. Kasus polisi tembak polisi di Solok Selatan yang diduga karena beking membeking tambang, lanjut Dewi, mestinya menjadi momentum bersih-bersih di tubuh kepolisian.

Baca juga: POPULER SUMBAR Fakta Baru Polisi Tembak Polisi, Kebakaran Tewaskan 1 Orang , Korban Galodo 50 Kota

"Apakah polisi mampu? Pasti mampu, karena sumber daya ada pada mereka, persoalannya apakah mau untuk menghentikan itu (tambang ilegal)," ujarnya 

Dewi menuturkan, di samping menindak aktor pelaku tambang, pemerintah juga perlu memikirkan solusi untuk masyarakat pekerja yang hidupnya bergantung dengan aktivitas tambang.

"Tidak serta merta harus dihentikan begitu saja, kasihan juga kan negara tak sanggup menyediakan lapangan pekerjaan ke masyarakat," kata dia.

Dewi membeberkan sejumlah hal yang perlu dilakukan menyikapi tambang ilegal di Sumbar diantaranya;

1. Penindakan hukum yang tegas terhadap pelaku penambangan emas ilegal.

2. Melakukan inventarisasi lokasi pertambangan emas ilegal dan penataan wilayah pertambangan yang ada.

3. Dukungan regulasi guna mendukung pertambangan berbasis rakyat dengan usulan penetapan wilayah pertambangan rakyat (wpr) sehingga pemerintah dan pemerintah daerah dapat melakukan pembinaan kepada para penambang, agar penambang mengurus perizinan pertambangan dan melakukan penambangan dengan memperhatikan good meaning practice.

"Saya punya opsi, bagaimana tambang rakyat itu dikelola saja oleh nagari, artinya mereka silahkan usahanya disitu, tapi kemudian dibuat regulasi di nagari, bahwa tambang itu untuk rakyat, mereka bertanggung jawab untuk reklamasi dan menjaga lingkungan. Tapi tak ada lagi beking membeking, tak ada alat berat," kata Kepala Prodi S1 Ilmu Politik FISIP Unand ini. (*)

Sumber: Tribun Padang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved