Citizen Journalism

Opini : Kebablasan dalam Berbahasa, Berkata Kasar, Provokatif, atau tidak Pantas

BAHASA adalah alat komunikasi yang sangat kuat (Revita,  2024). Dengan bahasa, manusia dapat menyampaikan

Editor: Emil Mahmud
Brightside.me via Tribunnews
Ilustrasi: Huruf-huruf yang jadi dirangkai jadi kata. 

Oleh Ike Revita , Penulis adalah Dosen Prodi Magister Linguistik FIB Unand

Kebebasan berbahasa adalah hak, namun tanggung jawab berbahasa adalah kewajiban. Kata-kata yang terucap tanpa batas dapat merusak, sementara bahasa yang santun membangun jembatan keharmonisan- Ike Revita

BAHASA adalah alat komunikasi yang sangat kuat (Revita,  2024). Dengan bahasa, manusia dapat menyampaikan ide, gagasan, emosi, bahkan membentuk persepsi masyarakat.

Namun, di era digital ini, kebebasan berbahasa sering kali melampaui batas-batas yang seharusnya dijaga. 

Fenomena kebablasan dalam berbahasa, baik secara lisan maupun tulisan, menjadi persoalan serius yang perlu mendapatkan perhatian, terutama dalam konteks etika komunikasi.

Kebablasan dalam berbahasa dapat terjadi dalam berbagai bentuk.

Salah satu yang paling umum adalah penggunaan kata-kata yang kasar, provokatif, atau tidak pantas dalam percakapan sehari-hari (Revita, 2024a) , terutama di media sosial (Revita, 2023). 

Kebebasan berbicara di ruang digital sering kali disalahartikan sebagai kebebasan tanpa batas. 

Akibatnya, banyak orang merasa bisa mengatakan apa saja tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain. 

Hal ini bisa dilihat dari komentar-komentar negatif yang beredar di media sosial, berita yang tidak terverifikasi, hingga ujaran kebencian yang merusak hubungan sosial.

Salah satu dampak terbesar dari kebablasan dalam berbahasa adalah rusaknya keharmonisan sosial. 

Bahasa yang seharusnya digunakan untuk mempererat hubungan (Revita, 2018) justru menjadi senjata yang memecah belah. 

Ketika seseorang berbicara atau menulis tanpa mempertimbangkan norma-norma kesopanan, efek negatifnya bukan hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga oleh kelompok masyarakat yang lebih luas.

Sebagai contoh, ujaran kebencian atau penyebaran berita bohong dapat menciptakan ketidakpercayaan dan perpecahan dalam masyarakat (Revita, 2023a). 

Dalam situasi seperti ini, bahasa kehilangan fungsinya sebagai sarana komunikasi yang konstruktif dan justru menjadi alat untuk menyebarkan permusuhan.
Fenomena kebablasan dalam berbahasa menjadi semakin jelas di era digital.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved