Artikel

Mengentaskan Kemiskinan dari Pinggiran Lewat Izin Pengelolaan Hutan

Dalam lima tahun terakhir, Program Perhutanan Sosial di Sumbar menunjukkan hasil positif. yaitu terhentinya laju penebangan hutan di daerah itu.

Penulis: rilis biz | Editor: Emil Mahmud
Istimewa
Dalam lima tahun terakhir, Program Perhutanan Sosial di Sumatera Barat (Sumbar) menunjukkan hasil positif. Hasil yang belum pernah diraih sebelumnya, yaitu terhentinya laju penebangan hutan di daerah itu. 

Kolaborasi pemerintah dengan elemen masyarakat yang selama ini telah terjalin dengan baik perlu terus dijaga dan ditingkatkan. Apalagi, selama ini, dinas kehutanan telah memberikan ruang seluas-luasnya kepada elemen masyarakat itu untuk menyampaikan temuan-temuan mereka di lapangan, menyampaikan kritik maupun saran. Dalam pertemuan itu, media massa juga diundang sehingga tidak ada informasi yang bisa disembunyikan.


Potensi 

Program Perhutanan Sosial dengan lima skema, yaitu Hutan Desa (HD) atau Hutan Nagari, Hutan Kemasyarakatan (Hkm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA), dan Kemitraan Kehutanan (KK) memiliki potensi besar untuk memberikan peningkatan kesejahteraan pada masyarakat sekitar hutan.

Beberapa yang telah sukses, di antaranya Hutan Kemasyarakatan (HKm) Solok Radjo di Nagari Air Dingin, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok. Daerah di ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut itu sangat cocok untuk tanaman kopi. Meski awalnya harus berjalan, berkat kegigihan sejumlah anak muda yang mendirikan Koperasi Produsen & Serba Usaha (KPSU) Solok Radjo pada 2014, saat ini produknya telah menembus pasar ekspor ke Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan Korea.

Ketua KPSU dan HKm Solok Radjo Joni Sandika Putra menyebut mereka menampung hasil panen kopi dari ratusan masyarakat pemilik batang kopi di dalam kawasan HKm Solok Radjo. Buah kopi yang diterima khusus buah ceri, yaitu yang telah matang berwarna merah. Rata-rata masyarakat telah memahami jenis buah yang ditampung KPSU Solok Radjo itu.

Simbiosis antara ratusan petani dan pengelola HKm Solok Radjo itu berhasil memberikan dampak ekonomi yang signifikan terhadap masyarakat sekitar yang rata-rata adalah petani holtikultura. Penghasilan dari kopi yang dijual pada KPSU Solok Radjo bisa menjadi penyangga belanja harian bagi mereka, menjelang kebun holtikultura bisa dipanen.

Potret keberhasilan Program Perhutanan Sosial juga bisa dilihat dari Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) Taram, Kabupaten Limapuluh Kota, yang mendapatkan izin pengelolaan hutan dalam skema Hutan Nagari dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2018 seluas 800 hektare.

Saat ini, kata Ketua Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Ekowisata Kapalo Banda Muhammad Yahdi, dari pengelolaan objek wisata di kawasan itu, perputaran uang bisa mencapai Rp2 miliar per tahun. Perputaran uang itu berasal dari tiket masuk objek wisata, usaha-usaha makanan, minuman dan UMKM lainnya, serta kantong-kantong sumber pendapatan lain dari sektor jasa, seperti travel, penyewaan kendaraan bermotor dan penginapan milik masyarakat.


Mengentaskan kemiskinan 

Potensi Perhutanan Sosial di Sumatera Barat itu terbukti mampu mengangkat pendapatan petani hutan (sebutan untuk masyarakat yang mengelola kawasan hutan), sehingga berpotensi mendukung upaya pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan.

Menurut definisi BPS, warga miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Sementara garis kemiskinan merupakan nilai pengeluaran minimum kebutuhan makanan dan bukan makanan yang harus dipenuhi agar tidak dikategorikan miskin.

Data BPS Sumatera Barat, pada Maret 2024, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di provinsi itu mencapai 345,73 ribu orang (5,97 persen).

Dinas Kehutanan Sumbar mencatat dalam tiga tahun terakhir pendapatan petani hutan sudah naik signifikan. Pendapatan itu jauh di atas pendapatan masyarakat kategori miskin, menurut kategori dari Badan Pusat Statistik (BPS).

Pada 2020 pendapatan petani hutan di Sumatera Barat sebesar Rp1.517.160 per bulan, kemudian naik drastis menjadi rata-rata Rp2.319.511 pada 2023. Angka itu jauh di atas pendapatan masyarakat miskin versi BPS, yaitu Rp525.005 perkapita per bulan untuk perdesaan dan Rp569.299 untuk warga perkotaan.

Merujuk pada jumlah masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan sekitar 175.892 kepala keluarga (KK) atau 877.765 orang, jika diasumsikan satu KK terdapat lima orang, efek yang ditimbulkan untuk mengentaskan kemiskinan dari pinggiran hutan itu cukup signifikan.

Sumatera Barat telah menjadi contoh bagaimana program pemerintah dapat betul-betul dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, khususnya mereka yang berada di pinggiran hutan. (*/ANT)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved