Artikel

Menabung Cuan Besar di Hutan Pasaman

Jorong Aia Abu, Nagari V Koto, Kecamatan Bonjol, Kabupaten Pasaman Barat, akhir Juli ini tengah musim durian.

Penulis: rilis biz | Editor: Emil Mahmud
Istimewa
Jorong Aia Abu, Nagari V Koto, Kecamatan Bonjol, Kabupaten Pasaman Barat, akhir Juli ini tengah musim durian. 

JORONG Aia Abu, Nagari V Koto, Kecamatan Bonjol, Kabupaten Pasaman Barat, akhir Juli ini tengah musim durian. Sepeda motor dengan modifikasi keranjang besar di bagian belakang, setiap saat melintas membawa raja buah itu ke tempat pengepul.

Pada musim durian seperti itu, sebagian warga Jorong Aia Abu beralih profesi menjadi pengumpul buah. Penghasilannya lumayan untuk menutup kebutuhan sehari-hari. Apalagi, jumlah pohon durian di daerah itu cukup banyak.

Durian bonjo, begitu orang biasa menyebut. Memang bukan jenis terkenal seperti musang king. Akan tetapi orang Pasaman maupun Sumatera Barat sudah kenal dengan rasanya yang istimewa. Legit, nikmat. Durian itu sebagian juga dibawa ke Pekanbaru, Riau, dan Medan.

Nagari V Koto memang mendapatkan anugerah tanah yang subur untuk pertanian. Meski konturnya berbukit dan berlembah, segala yang ditanam tumbuh subur. Namun layaknya tanaman pertanian, hasilnya tidak bisa dipanen setiap hari, sementara biaya hidup terus mendesaknya.

Biaya anak pergi sekolah adalah pengeluaran yang tidak bisa ditunda. Setidaknya butuh Rp15 ribu setiap hari bagi anak SMP atau SMA untuk ongkos pergi-pulang sekolah dan belanja harian.

Jorong Aia Abu berada sekitar 2 kilometer dari jalan lintas Palupuah-Pasaman. Jika dihitung dari Ibu Kota Kabupaten, Lubuk Sikaping, waktu tempuhnya sekitar 1 jam perjalanan. Sekolah rata-rata berada di jalan lintas tersebut.

Oleha karena itu, untuk pergi sekolah, anak-anak biasanya menggunakan jasa ojek. Mau tidak mau, orang tua harus mencari pendapatan harian agar anak-anaknya bisa terus sekolah.

Ketika musim durian dan pemasukan lumayan besar, masyarakat tidak terlalu pusing. Namun bila musim panen berlalu, maka mereka harus kembali memutar otak untuk bisa mendapatkan penghasilan. Tidak ada duit, artinya anak tidak bisa berangkat ke sekolah.

Hal itulah yang memaksa mayoritas masyarakat di daerah itu akhirnya memilih pergi ke hutan, menebang pohon. Sebelum 2017, lebih dari 90 persen masyarakat pergi ke hutan menebang pohon jika butuh uang cepat.

Sekali masuk hutan biasanya berombongan hingga 30 orang. Pohon yang ditebang di dalam kawasan hutan itu sudah berupa kayu dan papan berbagai ukuran saat dibawa keluar rimba.

Rata-rata sekali pergi ke hutan, masing-masing anggota kelompok bisa mendapatkan Rp100 ribu. Cukup untuk membeli kebutuhan harian dan biaya anak pergi sekolah.

Tidak mengherankan. Sebelum 2017, Jorong Aia Abu pernah menjadi lima besar daerah rawan pembalakan atau illegal logging di Sumatera Barat sehingga mendapatkan perhatian serius Dinas Kehutanan.
 Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM) Nagari V Koto, Pasaman, Amalrudin menyebut Program Perhutanan Sosial dengan skema Hutan Desa/Nagari kemudian dipilih untuk membendung aksi pembalakan di daerah itu.

Hak Pengelolaan Hutan Nagari (HPHN) dikeluarkan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup pada 2018 seluas 380 hektare. Masyarakat nagari diizinkan mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan untuk menambah penghasilan secara legal.

Targetnya, menumbuhkan rasa memiliki di tengah masyarakat sehingga tergugah untuk ikut menjaga kelestarian hutan. Masyarakat yang semula melakukan penebangan pohon ilegal memiliki pilihan untuk menggarap lahan untuk usaha.

Namun, mengubah kebiasaan secara instan memang bukan persoalan mudah. Setelah mendapatkan HPHN, dibentuklah Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) sebagai wadah.
 Sejurus kemudian, pengurus LPHN merumuskan AD/ART organisasi, membuat rencana pengelolaan, lalu membentuk kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS) untuk menjalankan rencana itu.

Halaman 1 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved