Kasus Kematian Afif Maulana
GMNI Unand Desak Polda Sumbar Ungkap Dalang Kematian Afif Maulana
Dewan Pimpinan Komisariat (DPK) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Universitas Andalas mendesak Polda Sumatera Barat (Sumbar) segera ...
Penulis: Wahyu Bahar | Editor: Fuadi Zikri
TRIBUNPADANG.COM, PADANG - Dewan Pimpinan Komisariat (DPK) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Universitas Andalas mendesak Polda Sumatera Barat (Sumbar) segera mengungkap dalang kematian Afif Maulana, salah seorang siswa SMP di Kota Padang.
Ketua Komisariat GMNI Unand, Muhammad Hamdan Muzhafar mengatakan, mengungkap dalang yang menghilangkan nyawa lebih utama dibandingkan dengan citra lembaga.
"Karena menurut kami citra lembaga akan terjaga dengan pengungkapan kasus ini," ujar Hamdan, Rabu (3/7/2024).
Ia menegaskan, DPK GMNI Unand mengecam tindak penyiksaan yang dilakukan aparat kepolisian, yakni 17 anggota Ditsamapta Polda Sumbar yang melakukan kekerasan saat penangkapan 18 terduga pelaku tawuran.
Hamdan mengatakan, DPK GMNI Unand akan terus berjuang dan bersolidaritas bersama kaum marhaen dan mengutuk keras semua pihak yang mencederai prinsip marhaenis.
Baca juga: Tak Mempan Dikritik, Polda Sumbar Tetap Buru Pihak yang Viralkan Kasus Kematian Afif Maulana
Kajian GMNI Unand: Anomali Hukum Tragedi Penyiksaan
Berikut Kajian GMNI Unand yang diterima tribunpadang.com;
Kasus dugaan tragedi kematian dan penyiksaan anak inisial AM menghebohkan publik. Publik kembali dihebohkan atas dugaan tragedi kematian dan penyiksaan oleh oknum-oknum polisi, dugaan tersebut muncul setelah LBH Padang melakukan investigasi terkait kematian pada salah satu pelajar sekolah menengah pertama (SMP) berusia 13 tahun ditemukan tewas mengapung di Sungai Batang Kuranji, Padang, Sumatera Barat pada Minggu (9/6/2024) tepatnya pada pukul 11:55 WIB.
Pada saat ditemukan, di sekujur tubuh korban ada luka memar di bagian punggung dan perut korban. Mulanya diduga karena penganiayaan, setelah di investigasi lebih lanjut oleh LBH Padang, inisial AM dan beberapa rekannya dituduh akan tawuran sehingga mendapat perbuatan penyiksaan oleh anggota Sabhara Polda Sumbar yang berpatroli pada Sabtu 8 Juni 2024 pada malam hari kejadian, hal ini telah diakui langsung oleh Kapolda Sumbar Irjen Suharyono saat memeriksa 40-an anggota, ada 17 Anggota terbukti memenuhi unsur, namun sedang mencari objeknya sehingga Kompolnas Irjen Purn Benny Mamoto mengintruksikan untuk lakukan penegakan hukum baik secara etik ataupun pidana.
Ihwal Penyiksaan dan Lemahnya Penegakan Hukum Di Indonesia
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dengan UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT).
Tetapi fakta di lapangan, hal tersebut tidak dibarengi dengan langkah serius pemerintah dalam upaya menghapus berbagai bentuk praktik penyiksaan, penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia. Minimnya komitmen tersebut terlihat dari berbagai kasus penyiksaan yang masih terjadi sepanjang 2023-2024.
Lebih lanjut, jaminan dilindunginya hak masyarakat dalam upaya pencegahan praktik penyiksaan sesuai dengan peraturan yang berlaku pada implementasinya belum cukup efektif untuk melindungi hak tersebut, praktik penyiksaan justru masih sering terlihat.
Adapun efektivitas akuntabilitas terhadap kejahatan yang merusak prinsip jus cogens ini tidak pernah berjalan secara transparan, dimana transparansi merupakan hal terpenting dalam mengurangi berbagai bentuk praktik diluar kewenangan hukum yang ada.
Ditakar sepanjang tahun lalu, tidak ada komitmen dari regulator, dalam hal ini pemerintah dan DPR, untuk segera membentuk peraturan anti penyiksaan dalam kerangka pemajuan Hak Asasi Manusia.
Selain itu, Oknum aparat negara sebut saja Kepolisian, TNI ataupun yang lainya masih menormalisasi tindakan penyiksaan dan tidak mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan maupun aturan internal institusi.
Disisi lain jika terjadi pelanggaran, para pelaku tidak diusut secara serius oleh badan peradilan yang imparsial dan independen, sehingga penegakan hukum tidak maksimal.
Hal ini menyebabkan rantai penyiksaan tidak terputus dan terus berulang, belum adanya komitmen serius untuk dapat memastikan pemulihan secara efektif kepada korban.
Tindak penyiksaan juga sangat minim jika merujuk kepada peraturan nasional serta berbagai standar internasional, sejatinya negara telah mengakomodir mekanisme pemulihan bagi korban melalui UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Baca juga: Penyelidikan Kasus Afif Maulana Masih Berlangsung, Polda Sumbar Terus Cari Saksi dan Alat Bukti
Tetapi dalam pelaksanaannya, justru upaya untuk mendapatkan akses terhadap pemulihan secara efektif kepada korban maupun keluarga korban cukuplah minim.
Harusnya negara memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi Hak Asasi Manusia, termasuk dengan memberikan hukuman yang setimpal bagi pelaku penyiksaan.
Dalam UUD 1945 yang merupakan landasan konstitusional negara Indonesia, khususnya dalam Pasal 28I, menegaskan bahwa hak untuk tidak disiksa adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights).
Situasi Penyiksaan Secara Umum di Indonesia
Berdasarkan data yang telah dihimpun pada periode Juni 2023 - Mei 2024, KontraS mencatat 60 peristiwa penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia telah terjadi di Indonesia.
Serupa dengan tahun-tahun sebelumnya pada periode ini Kepolisian Negara Republik Indonesia masih menjadi aktor dominan dalam berbagai peristiwa penyiksaan yang tersebar di indonesia yaitu sebanyak 40 peristiwa; dilanjutkan dengan Tentara Nasional Indonesia (Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara) sebesar 14 peristiwa, dan Sipir atau Petugas Lembaga.
Pemasyarakatan dengan 6 peristiwa.
Adapun berdasarkan 60 peristiwa tersebut, terdapat setidaknya 92 korban tindak penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia sepanjang periode ini.
Pemantauan KontraS juga turut menemukan setidaknya terdapat 14 korban dibawah umur. Masifnya tindak penyiksaan yang justru dilakukan di ruang-ruang publik menunjukkan adanya kegagalan sistematis dalam upaya penegakan hukum dan perlindungan HAM di Indonesia.
Tercermin lemahnya pengawasan terhadap aparat negara serta kultur kekerasan yang telah mendarah daging dalam aparat keamanan.
Pengaturan Penyiksaan Terhadap Anak Dibawah Umur
Anak yang menjadi korban meninggal dunia atas tindak kekerasan Kepolisian jika berkaca pada undang-undang seorang anak terbukti sebagai pelaku tindak pidana, penyiksaan terhadap anak tidak dibenarkan karena secara eksplisit UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur bahwa anak yang berhadapan dengan hukum, termasuk anak yang menjadi tersangka tindak pidana berhak untuk bebas dari tindak penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya.
Kasus penyiksaan yang menimpa anak di bawah umur dalam konteks penegakan hukum pidana anak telah dilindungi oleh undang-undang dan berhak untuk bebas dari segala bentuk kekerasan, namun pada prakteknya aparat penegak hukum masih belum sadar dan sepenuhnya mematuhi hal tersebut.
Baca juga: Polda Sumbar Bantah Kabar Kasus Afif Maulana Dihentikan, Proses Penyelidikan Masih Lanjut
Penyiksaan terhadap anak dalam rangka penegakan hukum pidana juga menunjukkan watak penegakan hukum pidana di Indonesia yang masih mengedepankan kekerasan dan abai terhadap HAM, dalam konteks ini anak-anak lah yang menjadi korbannya.
Selain itu, berbagai standar internasional misalnya United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice menyatakan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum khususnya tersangka tindak pidana, berhak untuk bebas dari corporal punishment.
Proses Hukum Penyiksaan oleh Kepolisian Sering Berlarut-larut
Kasus-kasus penyiksaan yang terjadi di Indonesia kerap melewati tantangan berat ketika dihadapkan pada proses pengungkapan kebenaran. Salah satu tantangan tersebut yaitu penyelesaian berlarut (undue delay) yang dilakukan oleh pihak kepolisian.
Polri semestinya mampu bertindak cepat dan tepat ketika melakukan pengungkapan kasus penyiksaan demi terciptanya keadilan bagi korban. Hal ini dapat dilihat dalam mandat UU 2/2002 sebagaimana disebutkan dalam penjelasan.
Pasal 2 sejatinya fungsi kepolisian wajib dijalankan dengan turut memperhatikan penegakan HAM, Hukum dan Keadilan. Sejalan dengan itu, Pasal 13 UN CAT menyebut bahwa instansi berwenang terhadap kasus penyiksaan harus sesegera mungkin diperiksa.
Sebelumnya terdapat aturan teknis di lingkungan internal Polri yang mengatur mengenai batasan waktu penyelesaian perkara tindak pidana sebagaimana tertuang dalam Pasal 31 Peraturan Kepala Polri Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan KAPOLRI.
Berbicara pada tindakan undue delay merupakan persoalan serius dalam pengentasan kasus penyiksaan. Hal ini bertolak belakang dengan prinsip hak atas keadilan bagi korban. Jika kemudian polisi berlarut-larut menggantung proses hukum pelaku penyiksaan, artinya polisi telah menunda keadilan bagi korban.
Impunitas Bagi Pelaku Penyiksaan
Kepolisian sebagai institusi aparat penegak hukum memiliki wewenang dalam mengungkap suatu tindak kejahatan. Institusi ini juga menjadi garda terdepan menjalankan fungsi penegakan hukum yang terintegrasi dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system).
Dalam UUD ditegaskan bahwa Kepolisian bertanggung jawab untuk menegakan hukum, melindungi serta mengayomi masyarakat.
Pengaturan selanjutnya, dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang KAPOLRI (UU 2/2002) pengejawantahan perintah konstitusional tentang ‘penegakan hukum’ disebut dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g jo. Pasal 15 ayat (1) huruf a yang intinya Kepolisian bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan yang didahului melalui wewenang menerima laporan dan/atau pengaduan.
Guna memperlancar penyelenggaraan penegakan hukum, kepolisian juga diperkuat dengan wewenang melakukan upaya paksa seperti penangkapan, penetapan tersangka, penggeledahan, hingga penyitaan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU 2/2002.
Apabila penyiksaan dilakukan oleh Institusi Kepolisian. Kecendrungan pihaknya berusaha menutupi tindak penyiksaan dengan bertindak pasif. Padahal pada instrumen hukum nasional, polisi diberi mandat oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan untuk menegakan hukum tak terkecuali kasus-kasus penyiksaan.
Hal ini juga menunjukan bagaimana kegagalan polisi melaksanakan kewajiban Pasal 12 dan 13 UN CAT yang menjadi pijakan negara dalam menjamin proses hukum terhadap pelaku penyiksaan hingga tuntas.
Impunitas muncul karena kegagalan aparat penegak hukum untuk serius dalam memenuhi kewajibannya pada upaya penyelidikan terhadap pelanggaran HAM, pengambilan langkah hukum bagi para pelaku, pemulihan yang efektif untuk para korban, dan pencegahan agar kasus serupa tidak terulang.
Baca juga: Kapolda Sumbar Beberkan Kronologi Kematian Afif Maulana, Yakini Loncat ke Sungai
Hukuman Terhadap Pelaku Penyiksaan Masih Kurang Maksimal
Sebagaimana dalam UN CAT yang diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 5 Tahun 1988, dalam pasal 2 telah disebutkan bahwa Tindakan penyiksaan merupakan Tindakan yang dilarang dan harus dicegah, termasuk tidak adanya keadaan luar biasa yang dapat membenarkan penyiksaan, termasuk perintah dari atasan atau otoritas publik.
Seringkali dalam berkas penyidikan maupun peradilan, disebutkan nama-nama aparat yang turut serta berperan dalam penyiksaan. Sering terjadi dalam Mekanisme hukum apapun terhadap aktor-aktor tersebut menandakan proses pembuktian yang dilakukan tidak transparan.
Padahal, terdapat postulat hukum yakni In Criminalibus Probantiones Bedent Esse Luce Clariores, yang artinya bahwa dalam perkara pidana, bukti-bukti itu harus lebih terang daripada Cahaya.
Penegakan hukum yang adil dan tegas adalah salah satu pilar utama dalam sistem peradilan pidana. Namun, seringkali hukuman pidana yang dijatuhkan tidak maksimal terhadap pelaku tindak pidana, khususnya dalam kasus penyiksaan.
Ancaman pidana seringkali tidak menghukum berat pelaku. Vonis hakim yang rendah kemudian dapat berimplikasi terhadap hilangnya kepercayaan publik terhadap sistem peradilan pidana yang tidak memberikan keadilan yang layak bagi korban penyiksaan.
Aparat Negara telah sengaja menggunakan alat yang sudah disiapkan dengan motif untuk mendapatkan pengakuan. Hal-hal yang meringankan seharusnya tidak diperhitungkan ketika hakim menjatuhkan vonis.
Apabila hal yang meringankan diperhitungkan, seakan-akan tindak penyiksaan yang dilakukan tidaklah serius. Padahal penyiksaan merupakan pelanggaran berat terhadap HAM yang menyebabkan penderitaan fisik, psikologis, bahkan nyawa bagi korban.
Konsep penegakan hukum adalah indikator yang menjamin suatu aturan yang objektif, sehingga keadilan dapat diterima secara Pure Procedural Justice. Artinya, keadilan harus berproses sekaligus terefleksi melalui suatu prosedur yang adil untuk menjamin hasil yang adil pula guna memanusiakan manusia sebagaimana teori keadilan.
Kepentingan politik kerap menjadi hambatan dalam upaya pengungkapan pelanggaran hingga merintangi proses pengadilan terhadap pelaku yang bertanggung jawab seperti adanya semangat untuk menjaga nama baik, bersikap manipulatif, mengubah fakta peristiwa yang terjadi kemudian seolah-olah terlihat sulit untuk menjawab suatu tantangan dalam hal penyelesaian.
Sebagaimana ungkapan yang sering dipakai oleh Soekarno, dan yang paling terkenal, adalah Exploitation de I’Homme par I’Homme (Penghisapan manusia oleh manusia). Didasarkan sebuah ideologi perjuangan Marhaenisme yang mengangkat masalah penghisapan dan penindasan rakyat kecil yang terdiri dari kaum tani miskin, petani kecil, buruh miskin, pedagang kecil kaum melarat Indonesia yang dilakukan oleh para kapitalis, tuan-tanah, rentenir dan golongan-golongan penghisap lainnya.
Ir Soekarno berpikir, bahwa diperlukan sebuah landasan perjuangan (Flat Form Perjuangan) bagi bangsa Indonesia untuk membebaskan diri dari segala bentuk penindasan yang menyengsarakan tersebut. Sebuah ideologi perjuangan sekaligus sebagai ideologi pembebasan. Bahwa marhaenisme memiliki keperpihakan yang sangat besar terhadap kaum tertindas (marhaen) salah satunya korban atas penyiksaan.
_____
Baca berita terbaru di Saluran TribunPadang.com dan Google News
Putusan PTUN Padang Batalkan Hak Akses Autopsi Afif Maulana, Keluarga Ajukan Kasasi ke MA |
![]() |
---|
Keluarga Kecewa Polda Sumbar Hentikan Penyidikan Kasus Kematian Afif Maulana |
![]() |
---|
LBH Muhammadiyah & LBH Padang Desak Polisi Naikkan Status Kasus Kematian Afif Maulana ke Penyidikan |
![]() |
---|
Sidang Pembuktian Sengketa Informasi Publik Kasus Afif, Polda Sumbar Perbaiki Hasil Uji Konsekuensi |
![]() |
---|
Hasil Ekshumasi Afif Maulana Ungkap Kejanggalan, LBH Padang Desak Transparansi dari Polisi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.