Kabupaten Padang Pariaman

Merekam Kehidupan Rasip dan Keluarga di Padang Pariaman, Belasan Tahun Hidup Tanpa Listrik

Waktu menunjukan pukul 17.45 WIB, sinar surya perlahan redup, Nabila Ramadani (15) mulai menuntun langkah bersama ibunya menuruni gundukan bukit untuk

|
Penulis: Panji Rahmat | Editor: Mona Triana
TribunPadang.com/Panji Rahmat
Nabila Ramadani dan Zilhan sedang bercanda saat mengerjakan PR ditemani cahaya lampu teplok bersama ayahnya, di Gumali Bukit Jariang, Guguk Kuranji Hilir, Padang Pariaman, Rabu (15/3/2023) 

Resmawati kembali ke periuk tanak berasnya, Rasip duduk bersandar di ruang tengah rumah berukuran 3 kali 3 meter melepas penat seharian ke ladang.

Pukul 19.00 WIB Nabila dan Zilhan menyongsong dua lampu teplok ke ruang tengah dekat Rasip duduk.

Keduanya membuka Al Qur'an menyusun huruf Hijaiyah dengan suara pelan bersahutan.

Hanya beberapa menit, setidaknya satu lembar Al Qur'an mereka tuntaskan, meja lipat sudah ada di sana.

Keduanya mulai menggelar buku pelajaran mereka mengangsur pekerjaan rumah dari sekolah untuk esok hari.

Keduanya tidak bisa diganggu untuk beberapa waktu, sorot mata mereka fokus, tangannya telaten mencoret buku tulis dan mulutnya komat kamit membaca pertanyaan di buku pelajaran.

Nabila Ramadani dan Zilhan sedang fokus mengerjakan PR di ruang tengah rumahnya berteman lampu teplok di Gumali Bukit Jariang, Guguk Kuranji Hilir, Padang Pariaman, Rabu (15/3/2023)
Nabila Ramadani dan Zilhan sedang fokus mengerjakan PR di ruang tengah rumahnya berteman lampu teplok di Gumali Bukit Jariang, Guguk Kuranji Hilir, Padang Pariaman, Rabu (15/3/2023) (TribunPadang.com/Panji Rahmat)

Meski sudah rutin kegiatan belajar dan mengaji ini dilakukan, Nabila mengaku masih kesulitan untuk tetap fokus di tengah keterbatasan cahaya lampu.

"Kalau susah pastilah, belum lagi lampu teplok itu padam ditiup angin saat belajar, tapi harus tetap dijalani," kata Nabila, pelajar yang duduk di kelas XI Madrasah Aliyah Negeri itu.

Selain keterbatasan saat malam hari, jika ada tugas sekolah dalam jaringan, siswi yang masuk peringkat 10 besar di sekolahnya itu, harus mendaki bukit pula untuk mendapat sinyal.

Tidak jarang dalam keseharian anak yang sedikit pemalu itu, mendapat ejekan dari teman sekolahnya. Seperti tinggal di hutan, tidak merasakan listrik dan lainnya.

"Bermacam-macam pula ejekannya, karena saya tinggal di sini tidak mendapat aliran listrik," kata Nabila menyeka air mata.

Tapi ketabahan hatinya dan Zilhan, membuat semua keterbatasan itu, jadi kebiasaan, sehingga tidak ada lagi umpatan yang bisa mereka lontarkan.

Buktinya setiap hari Nabila terus menempuh jalan yang sama sejauh 3 km dan Zilhan satu km untuk pergi menuntut ilmu ke sekolah.

Jadi Penerang di Tengah Kegelapan

Kesusahan keluarganya ini tidak bisa dipungkiri Rasip, sosok kepala keluarga yang terlihat gemar bekerja.

Sumber: Tribun Padang
Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved