Citizen Journalism
Pentas Teater Balai Bukittinggi “Biduk Berkeping” di GOR Lareh Nan Tobang, Tabek Patah, Batusangkar
Sebuah Bentuk Teater Egaliter: Pentas Teater Balai Bukittinggi “Biduk Berkeping” Karya Edi Suisno Sutradara Abdul Hanif di GOR Lareh Nan Tobang, Naga
Oleh : Tatang R Macan
Pengamat seni pertunjukan, Praktisi teater, Perfomer, Sutradara teater, Dosen Seni Teater ISI Padang Panjang (teaterperlawanan@gmail.com)
PEMAJUAN budaya seni terutama seni pertunjukan, dewasa ini telah menjadi tanggung jawab bersama insan-insan seni dan masyarakat yang tumbuh dalam lingkungan masyarakatnya itu sendiri. Pergerakan budaya seni seperti ini.
Di samping kinerja kreatornya tentu sangat diharapkan adanya sokongan kerja bersama dengan pihak-pihak penyantun seni, terutama dari kalangan dinas terkait dalam pemajuan budaya seni (teater).
Dalam pergerakan kerja kolektif seni pertunjukan, apa yang dipentaskan oleh komunitas Teater Balai Bukittinggi-Sumatera Barat tanggal 26 Febuari 2023 bulan yang lalu, di GOR (Gedung Olah Raga) Lareh Nan Tobang, Nagari Tabek Patah, Batusangkar Kabupaten Agam-Sumatera Barat patut menjadi contoh sebagai bentuk teater egaliterian.
Teater Balai Bukittinggi yang dipimpin seorang kreator muda Abdul Hanif, S.Sn (alumni prodi seni teater 2011), kifrahnya di dunia teater Sumatera Barat tidak bisa disangkal lagi, dia bahu membahu bersama teman-teman muda teater lainnya guna memajukan budaya seni pertunjukan (teater) dalam pengembangan perteateran Sumatera Barat ke depan secara umum.
Teater Balai Bukittingi dalam perkembangan teater generasi muda Sumatera Barat, telah menorehkan kekuatan daya artistiknya, melewati beberapa kali penjurian Festival Teater Remaja. Pada tahun 2021 menampilkan pentas drama “Ibu Suri” Karya Wisran Hadi, dan tahun 2022 menampilkan drama “Orang-Orang Setia” Karya Iswadi Pratama. Kedua penampilan pentas drama tersebut tercatat menjadi pemenang pada FTR (Festival Teater Remaja) di Taman Budaya Sumatera Barat.
Komunitas Teater Balai Bukittinggi bersama seorang Abdul Hanif, sejak tahun 2019 hingga sekarang telah melahirkan beberapa produksi pertunjukan drama (teater).
Salah satu nomor penampilan terbaru yakni pentas drama berjudul “Biduk Berkeping” Karya Edi Suisno dengan Sutradara Abdul Hanif. Pentas drama dilaksanakan pada Minggu malam tanggal 26 Februari 2023 pukul 20.00 WIB di GOR Lareh Nan Tobang.
Pentas drama tersebut dipresentasikan lebih membaurkan antara tontonan dengan keterlibatan emosi penonton. Meskipun area tempat pertunjukan disebuah GOR, yang cenderung mendekati panggung terbuka sebuah aula yang cukup besar, dengan kepiawaian penata artistik aula tersebut ditata mendekati tatanan semi proscenium.

Usaha sutradara dalam mengolah tatanan artistik panggung dalam pemanggungan yang tidak berjarak, antara peran-peran yang ditampilkan aktor dengan kehadiran beragam penonton yang bisa dikatagorikan para penonton (awam) dalam mengapresiasi pentas drama modern.
Kesadaran sutradara dalam menyajikan pertunjukan, dia menata konsep penyutradaraannya dalam ranah interaksi antara tontonan dengan penonton, interaksi antara aktor dan penonton, serta penempatan permainan keluar masuk aktor dari dalam ruang penonton sebagai jembatan penyatuan bahwa kehadiran tontonan merupakan milik penonton.
Atmosphere penampilan dramanya, disajikan ke dalam dialek Minang dalam bahasa Indonesia yang ke-Minangan. Cara penyajian drama seperti ini, ada kemungkinan sutradara sedang berusaha guna mendekatkan tontonan drama (yang masih asing pada sebagian besar masyrakat Minang), agar menjadi bagian dari pengalaman hidup masyarakat penonton Minang yang awam.
Sehabis pertunjukan dramanya penulis ada sedikit dialog dengan sutradara Abdul hanif, ia menginginkan ruang dan konten pertujukan teater tidak membuat teater berjarak dengan masyarakat.
Hanif sebagai sutradara ingin menyuguhkan tontonan teater yang tidak lagi dilakukan di ruang-ruang presentatif ataun gedung pertujunkan konvensional.
Ruang yang dimaksud Hanif seperti halnya di pasar atau balairung di mana aktivitas masyarakat berlangsung setiap harinya. Konten dan isian cerita yang saya tawarkan ucapnya, sangatlah dekat dengan pengalaman batin masyarakat penikamatnya, itu bisa di lihat dari naskah drama yang saya usung “Biduk Berkeping” Karya Edi Suisno bercerita persoalan rumah tangga yang sering terjadi pada kehidupan masyarakat biasa, ucapnya lagi pada penulis.
Sebagai sutradara ia menyampaikan konsep pertunjukan yang dihadirkan; yakni membawa semangat “sandiwara kampuang” yang dulu pernah eksist di tengah-tengah masyarakat postkolonial, namun digarap secara realis.
Artistik digarap dengan dinding yang di buat dari kain dan properti rumah tangga, meskipun terlihat minimalis tapi tetap meberikan kesan realistis. Ia menyampaikan juga besar harpannya, bahwa dengan gagasan yang ditawarkannya ini bisa menjawab keresahan “kenapa teater kehilangan eksistensinya di tengah tengah masyarakat Sumatra Barat”.
Pentas drama “Biduk Berkeping” Karya Edi Suisno, Sutradara Abdul hanif; mengisahkan pertikaian orang sumando di dalam suatu rumah tangga keluarga Minang.
Tersebutkan beberapa tokoh sentral di dalam naskah ini, di antaranya: Rosmina sebagai mertua, Yusma sebagai anak perempuan yang paling tua dan mempunyai suami pedagang kaya di Bukittinggi yang bernama Armen.
Yeti merupakan adik Yusma adalah perempuan cantik di desanya dan diperistri oleh seorang sarjana teknik yang bernama Agus, sedangkan Anton adalah anak bungsu Rosmina yang sering bolos sekolah dan bertingkah ugal-ugalan.
Di antara tokoh-tokoh tadi, ada terdapat tokoh pendukung yang bernama Sella. Sella merupakan tokoh yang dimunculkan untuk memperkuat konflik, di mana Sella pada akhir pertunjukan dimunculkan sebagai sosok perempuan yang telah dihamili Anton.
Jalinan konflik pada naskah drama “Biduk Berkeping” ini, terjadi karena persaingan ekonomi antara urang sumando yakni Armen suami Yusma dengan Agus suami Yeti.
Persaingan ekonomi yang diinginkan dalam drama ini, yakni ketika Armen memiliki lebih banyak materi dibandingkan Agus. Selain itu, Armen sering membelikan mertuanya pakaian-pakaian baru, makanan dan segala macam keperluan dapur untuk kebutuhan bersama.
Sedangkan Agus setiap hari pergi mencari pekerjaan, namun tidak kunjung mendapat pekerjan tersebut, akhirnya ijazah sarjana tekhniknya hanya mampu mempekerjakan dia sebagai buruh bangunan yang penghasilannya tidak seberapa.
Hal tersebutlah membuat Rosmina jengkel dan kesal, karena Yeti anaknya yang cantik, yang merupakan bunga kampung, seharusnya bisa memiliki suami yang kaya, terhormat, serta memiliki banyak uang.
Karenanya, kemudian telah mengubah status Rosmina dari orang yang tidak beruntung menjadi orang yang dipandang di masyarakat.
Agus yang selalu kandas dalam urusan nasib dan kerja serabutan, tidak tahan dengan sindiran dan desakan mertuanya itu. Agus yang merasa harga dirinya terinjak-injak, lalu pergi meninggalkan Yeti untuk pergi merantau.
Agus yang pergi meninggalkan Yeti, tidak menyadari kalau ia juga meninggalkan benih dalam rahim Yeti. Setelah selang beberapa bulan, benih yang tertanam dalam rahim Yeti bertambah besar dan sudah makin dekat dengan waktunya untuk melahirkan.
Sementara Agus, suami yang dicinta tidak ada kabar berita kepastian bagaimana keberadaan hidupnya.
Pada awalnya Yeti berterimakasih kepada Armen, karena memberikan semua kebutuhan dan memnjanjikan uang persalinan untuk Yeti.
Namun di kemudian hari setelah beberapa lama, sikap Yeti menjadi berubah, Yeti mendadak menjadi pemurung dan pendiam, bahkan tidak jarang, Yeti tidak mau keluar kamar walaupun hanya untuk sekedar makan bersama di meja makan.
Alhasil, membuat Rosmina jengkel dan marah, maka terjadilah pertengkaran hebat antara Yeti dan orang tuanya. Akhirnya dari pertengkaran tersebut, terbukalah kebobrokan Armen, kebobrokan tersebut memang diluar dugaan Rosmina dan Yusma sebagai istri Armen.
Sebenarnya semua kebobrokan itu sudah lama diketahui Anton anak bungsu Rosmina. Anton tidak mau membicarakan keboborokan Armen, hal itu disebabkan segala permintaannya kepada Armen selalu terpenuhi.
Satu di antaranya untuk membayarkan kredit motor dan berbagai macam peralatan elektronik yang mewah. Rosmina dan Yusma sangat kaget, karena sama sekali tidak menyangka, jika selama ini bahwa Armen yang terlihat baik, ternyata lebih bejat dan tidak bermoral, dia selama ini di tengah-tengah malam dengan leluasa memasuki kamar Yeti. Iya meminta imbalan untuk tidur seranjang atas kebaikannya yang selama ini telah banyak membantu Yeti.
Pentas drama realis yang sesak dengan konflik produksi komunitas Teater Balai Bukittinggi seperti ini, ditangan sutradara Abdul Hanif menjadi renyah dipresentasikan di depan publik penonton seputar Batusangkar.
Terbukti dengan hadirnya masyarakat penonton yang tidak kurang dari dua ratus orang memenuhi aula GOR (Gedung Olah Raga) Lareh Nan Tobang, Nagari Tabek Patah, Batusangkar Kabupaten Agam-Sumatera Barat.
Mereka turut menyaksikan pementasan, suasana tragedi komedi yang dibangun oleh sutradara, cukup memberikan hiburan edukatif dan bisa dipahami oleh seluruh penonton yang hadir.
Terlepas dari tidak dipungutnya tiket masuk untuk menikmati pementasan, namun secara pluktuasi jumlah publik penonton, kawasan Batusangkar ternyata memiliki masyarakat apresiatif terhadap pertunjukan drama modern.
Hal ini menjadi menarik untuk pengembangan produksi pementasan teater ke depan di Batusangkar Sumatera Barat. Produksi pentas drama “Biduk Berkeping” kali ini, Teater Balai Bukittinggi menampilkan beberapa aktor-aktor pilihan yang diantaranya; Syafira salsabila (bela) sebagai Rosmina, Casandra Dwiloved (decak) sebagai Yeti, Sulastri Wulandari (wulan) sebagai Yusma, Alfian Ramadan (puro) sebagai Armen, Ahmad Ridwan fajri (iwan) sebagai Agus, Raffi Razak (Rafi) sebagai Anton, dan Aulia Nadila (aul) sebagai sella. Pada pentas drama “Biduk Berkeping” ini penataan artistik ditangani oleh Ahmad ridwan Fajri serta penataan musik ditangani oleh Chepri Zulda.
Ditangan sutradara Abdul Hanif, pria kelahiran Bukittinggi, naskah drama “Biduk Berkeping” Karya Edi Suisno menjadi sajian pertunjukan yang cukup komunikatif dengan penonton. Respons penonton yang selalu semarak dari moment ke moment adegan, bisa dipahami karena penonton menikmati atmosphere pertunjukan dengan pengalaman batinnya.
Teater egaliter, yakni bentuk pertunjukan yang bisa menyatu dengan bagian pengalaman, kebiasaan, budaya dan perasaan penonton, sehingga bentuk pertunjukan terasa lebih akrab dengan masyarakat penontonnya. Hal tersebut telah dimiliki oleh produksi Teater Balai Bukittinggi di bawah pimpinan dan sutradara seorang Abdul Hanif.(*)
MAN IC Padang Pariaman Menebar Harapan Jemput Masa Depan: Berakit-rakit ke Hulu, Berenang ke Tepian |
![]() |
---|
Kuliah Kerja Nyata: Program Mahasiswa di Indonesia Serupa, Bakti Siswa & Magang Industri di Malaysia |
![]() |
---|
Opini Ruang Kota Tanpa Asap: Car Free Day Antara Negara Serumpun Indonesia & Malaysia |
![]() |
---|
Opini Bahasa Melayu: Bila Percuma di Malaysia, Gratis di Indonesia |
![]() |
---|
UNP Pelatihan Emotional Spritual Question di SMAN 1 Tanjung Mutiara Kabupaten Agam, Sumatera Barat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.