Bahas Wacana Daerah Istimewa Minangkabau, LKAAM Sumbar akan Bertemu Anggota Komisi II DPR
LKAAM Sumbar semakin membulatkan tekad mengusulkan Provinsi Sumatera Barat menjadi Daerah Istimewa Minangkabau (DIM).
Penulis: Rizka Desri Yusfita | Editor: Saridal Maijar
Laporan Wartawan TribunPadang.com, Rizka Desri Yusfita
TRIBUNPADANG.COM, PADANG - Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumbar semakin membulatkan tekad mengusulkan Provinsi Sumatera Barat menjadi Daerah Istimewa Minangkabau (DIM).
Ketua LKAAM Sumbar M Sayuti Dt Rajo Pangulu mengatakan, pihaknya akan segera melakukan pertemuan dan silaturrahmi dengan Anggota DPR RI Komisi II guna membahas kelanjutan wacana tersebut.
Ia menyebut, pada Kamis (25/3/2021) nanti Anggota DPR RI Komisi II akan berkunjung ke Sumbar.
Baca juga: Kota Padang Canangkan Creative Space, Plt Wako: Upaya Pengembangan Pelaku Industri Ekonomi Kreatif
Hal itu guna mensosialisasikan ke pemerintah daerah terkait revisi Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tk. I Sumatera Barat, Jambi dan Riau.
"Undangannya terbatas, hanya beberapa orang saja. Acara di Ruang Sekdaprov Sumbar," jelas M Sayuti Dt Rajo Pangulu, Selasa (23/3/2021).
M Sayuti mengatakan, tidak ada yang disiapkan untuk pertemuan itu.
Sebab, masukan-masukan yang akan diberikan sudah disampaikan sebelumnya.
Baca juga: Bupati Pasaman Barat Hamsuardi Soal Sumbar Jadi Daerah Istimewa Minangkabau (DIM)
"Sekarang tinggal mengecek saja lagi, apakah sudah masuk yang kita inginkan itu atau belum," imbuh M Sayuti.
M Sayuti berharap dalam pertemuan itu nantinya masukan-masukan yang diberikan tokoh adat dan masyarakat Minangkabau bisa ditampung.
"Kalau belum masuk, dimasukkan. Kalau tidak dimasukkan, tentu tak ada gunanya UU itu bagi kami," terang M Sayuti.
Adanya penolakan terhadap DIM, M Sayuti menegaskan tidak ada masalah.
Menurutnya, penolakan terjadi tidak sekarang saja, tapi sejak wacana DIM digulirkan.
Baca juga: Guspardi Gaus Minta Sempurnakan Naskah Akademik Provinsi DIM, Minangkabau Syaratkan Sato Sakaki
"Mentawai itu memang tidak satu budaya dengan kita. Biasa saja kalau dia menolak, nanti kita beri penjelasan, supaya tahu DIM itu," tambah M Sayuti.
Sebelumnya, M Sayuti mengatakan Daerah Istimewa Minangkabau merupakan amanat UUD 1945 dan amanat konstitusi.
Istimewanya Minangkabau menurutnya, ada matrilineal sistem yang merupakan aset negara Indonesia bahkan termasuk aset budaya dunia.
"Untuk itu perlu negara hadir melestarikannya dan mempertahankannya serta membinanya dengan baik. Dengan filosofi bersuku kepada ibu, bernasab kepada bapak, dan berpusako tinggi dari mamak," jelas M Sayuti.
Baca juga: Peringatan Dini BMKG: Padang dan Padang Panjang Dilanda Hujan Lebat Disertai Petir dan Angin Kencang
Lebih lanjut ia menyebut, Tanah Pusaka Tinggi Minangkabau ialah juga tanah air Indonesia perlu dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan orang Minangkabau dan kepentingan bangsa Indonesia.
Sistem Pertanahan Minangkabau diatur dengan hukum adat dalam hukum tanah ulayat atau pusako tinggi.
Hal ini sudah diatur dengan Perda Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya di Sumatera Barat.
"Kalau sudah lama pergi merantau, lalu punya jabatan tinggi, sebenarnya dia tidak punya waris untuk menerima pusako, tapi karena orang berkuasa, dibuatnya gelar."
"Akhirnya tidak bertegur sapa dengan orang sekampung. Itu harus kita antisipasi," ungkap M Sayuti.
Baca juga: Peringatan Dini BMKG: Padang dan Padang Panjang Dilanda Hujan Lebat Disertai Petir dan Angin Kencang
Selain itu, nilai-nilai filosofi yang dianut oleh orang Minangkabau adalah nilai-nilai filosofi yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila, yang dikemas dalam ungkapan budaya bangsa "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato Adat Mamakai."
"Artinya orang Minangkabau juga berpaham nasionalis, paham islami, paham demokratis, dan paham egaliter," tambah M Sayuti.
Ia melanjutkan, sistem Demokrasi Minangkabau umumnya memakai dua kelarasan.
Pertama, Kelarasan Koto Piliang adalah semacam kelarasan yang titik dari atas atau turun dari langit atau peraturan itu turun dari pemimpin kepada rakyat setelah melalui kajian yang matang di tingkat pimpinan.
Kedua, kelarasan Bodi Caniago, yaitu sebelum pemimpin mengambil keputusan harus mendengar suara rakyat banyak dari bawah atau disebut juga membersut dari bumi.
Baca juga: Jalan Padang - Bukittinggi Kembali Normal, Jembatan Kelok Pinyaram Sudah Dibuka 2 Jalur
Ada pula Demokrasi kelarasan Pisang Sikalek Hutan, artinya, sebelum keputusan diambil didengar pendapat pemimpin dan didengar pula pendapat rakyat.
Ada lagi demokrasi Lareh nan Panjang, yaitu bila keputusan itu berakibat merugikan rakyat dan juga nagari maka pemimpin tertinggi harus membatalkannya.
Kemudian, Sistem Kepemimpinan Tungku Tigo Sajarangan (TTS) yaitu Ninik Mamak, Alim Ulama, dan Cadiak Pandai, dan Tali Tigo Sapilin (TTSp) yaitu Adat, Agama, dan Undang-undang telah hidup bertahun-tahun bahkan berabad di Minangkabau untuk mengawal adat nan sebatang panjang.
Kepemimpinan Orang Empat jinih adat (Pangulu, Manti, Malin, dan Dubalang) berfungsi mengawas adat Minangkabau di nagari yang disebut dengan adat selingkar nagari dan Kepemimpinan Jinih nan Empat Syara' (Imam, Khatib, Bilal, dan Kadhi) berfungsi mengawas syarak seluruh alam.
Baca juga: Terkini, Jadwal Kereta Api Lembah Anai Rute Kayu Tanam ke Bandara Internasional Minangkabau (BIM)
Kata M Sayuti, sistem kepemimpinan itu sudah diakui sejak dulu bahkan sekarang sudah tertuang dalam Perkap Polri Nomor 3 tahun 2015 tentang Perpolisian Masyarakat.
"Itu intinya, kalau itu sudah masuk semua ke dalam UU apa saja, itu sudah cukup. Tidak perlu banyak-banyak," kata M Sayuti.
Dia menyebut, banyak kasus di Minangkabau yang berkaitan dengan poin-poin tersebut.
Jika sistem matrilineal tidak dipertahankan lanjutnya, bisa saja nanti anak Minangkabau pindah suku.
Apabila pindah suku, berakibat pada implementasi harta pusaka.
"Mungkin saja dia tidak dapat lagi, kalau dia tidak dapat akan ada persoalan HAM. Dia mengklaim punya hak, padahal dalam adat sudah ada garisnya, kalau keluar dari suku, ya habis hak atas harta pusaka," tegas M Sayuti. (*)