Klarifikasi BPK Sumbar soal Pencabutan Status CPNS Alde Maulana: Tidak Terdapat Diskriminasi

BPK Perwakilan Sumbar memberikan klarifikasi terkait polemik pencabutan status CPNS seorang penyandang disabilitas bernama Alde Maulana.

Penulis: Rezi Azwar | Editor: Saridal Maijar
TRIBUNPADANG.COM/REZI AZWAR
Alde Maulana bersama istrinya Dewi Radnasari di Kantor LBH Padang, Senin (1/6/2020). 

Laporan Wartawan TribunPadang.com, Rezi Azwar

TRIBUNPADANG.COM, PADANG - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Sumbar memberikan klarifikasi terkait polemik pencabutan status CPNS seorang penyandang disabilitas bernama Alde Maulana.

BPK menegaskan, tidak terdapat diskriminasi dalam pengangkatan CPNS disabilitas yang dijalankan.

Sebelumnya, TribunPadang.com mengirimkan surat pada 1 Juni 2020 untuk mengkonfirmasi terkait permasalahan pemberhentian Alde Maulana sebagai CPNS di BPK.

Status CPNS Penyandang Disabilitas di Sumbar Dicabut, BPK: Kesehatan Alde Maulana Bermasalah

Wawancara tertulis tersebut mendapat balasan dari Kepala Perwakilan BPK Sumbar, Yusnadewi dengan nomor 91/S/XVIII.PDG/06/2020.

"Lebih lanjut kami tegaskan bahwa tidak terdapat diskriminasi dalam pengangkatan CPNS disabilitas yang dijalankan BPK."

"CPNS disabilitas tersebut mendapatkan perlakuan yang sepantasnya sesuai norma dan ketentuan yang berlaku serta bagi mereka yang telah memenuhi syarat telah diproses untuk diangkat menjadi PNS BPK," katanya.

Ia mengatakan, BPK Perwakilan Sumbar, sesuai ketentuan organisasi di lingkungan BPK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian pegawai.

Jadwal Pelaksanaan Tes SKB CPNS 2019 Belum Pasti, Bagaimana Nasib Seleksi CPNS 2020 ?

"Kewenangan tersebut berada pada BPK Pusat di Jakarta dalam hal ini Sekretaris Jenderal sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian," sebutnya.

Dijelaskannya, BPK telah memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas untuk menjadi pegawai BPK pada rekrutmen tahun 2017 dan 2018, dengan membuka formasi pada tahun 2017 sebanyak enam formasi, dan pada tahun 2018 sebanyak 11 formasi untuk jabatan Pemeriksa Ahli Pertama.

Disebutkannya, dari hasil rekrutmen tersebut, BPK menerima pelamar disabilitas untuk menjadi CPNS pada tahun 2017 BPK sebanyak enam CPNS dan tahun 2018 sebanyak 11 CPNS.

"BPK Perwakilan Provinsi Sumatera Barat telah menerima formasi penempatan CPNS disabilitas sebanyak 1 orang pada 2017 dan tiga orang pada 2018, termasuk Saudara Alde Maulana," katanya.

Alde Maulana, Penyandang Disabilitas di Sumbar yang Batal Diangkat jadi PNS, Alasannya Tak Sehat

Menurutnya, BPK telah memenuhi seluruh rangkaian proses tahapan PNS sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah (PP) nomor 11 tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang meliputi perencanaan, pengumuman lowongan, pelamaran, seleksi, pengumuman hasilseleksi, pengangkatan CPNS dan masa percobaan CPNS persyaratan serta pengangkatan PNS.

"BPK telah mengangkat para pelamar yang telah memenuhi persyaratan pengangkatan untuk menjalani masa percobaan kepada sebanyak 502 CPNS sesuai formasi yang ditetapkan oleh Kementrian PAN dan RB, termasuk 11 formasi untuk pelamar disabilitas pada jabatan Pemeriksa tanun 2017 BPK Ahli Pertama," katanya.

Ia mengatakan, sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 34 PP nomor 11 Tahun 201 tentang Manajemen PN dan Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara (Perka BKN) No 14 Tahun 2018, CPNS wajib mengikuti masa percobaan selama satu tahun yang merupakan masa prajabatan yang dihitung sejak tanggal pengangkatan sebagai CPNS.

Masa prajabatan tersebut dilaksanakan melalui proses pendidikan dan pelatihan bagi seluruh CPNS, termasuk 11 CPNS formasi disabilitas.

"Selama pelaksanaan pendidikan dan pelatihan, penyelenggara pendidikan dan pelatihan memberikan perlakuan yang sama bagi 11 CPNS formasi disabilitas tersebut dan memberikan perhatian khusus terhadap kebutuhan selama pelaksanaan pendidikan dan pelatihan, termasuk memantau kesehatan para peserta diklat," jelasnya.

Yusnadewi mengatakan, dalam masa percobaan tersebut Alde Maulana telah menyelesaikan Pendidikan dan Pelatihan Dasar pada Balai Diklat Pemeriksaan Keuangan Negara (BDPKN) Medan dengan mendapatkan Sertifikat No 00044520/LATSAR CPNS III/4008/017/LAN-BPK/2019.

Namun, dijelaskannya bahwa Alde Maulana tidak menyelesaikan Diklat Jabatan Fungsional Pemeriksa Ahli Patama (JFPAP) sebagai salah satu syarat pengangkatan dalam jabatan fungsional pemeriksa karena faktor kesehatan yang dialami pada saat mengikuti diklat tersebut.

"Sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 65 UU nomor 5 tahun 2014 Tentang A paratur Sipil Negara, CPNS yang diangkat menjadi PNS harus memenuhi persyaratan lulus pendidikan dan pelatihan serta šehat jasmani dan rohani, maka BPK melakukan pengujian kesehatan (bukan pengujian disabilitas) kepada seluruh CPNS, termasuk 11 CPNS disabilitas yang telah menyelesaikan Pendidikan dan Pelatihan Dasar," katanya.

Ia menjelaskan, hasil pengujian kesehatan (HPK) menjadi pertimbangan bagi pejabat berwenang dalam menentukan kebijakan kepegawaian bagi CPNS yang bersangkutan.

"HPK Saudara Alde Maulana di RSPAD Gatot Soebroto menerangkan bahwa yang bersangkutan untuk sementara belum memenuhi syarat kesehatan," jelasnya.

Ia mengatakan, dalam mempertimbangkan ketentuan dalam Pasal 362 PP nomor 11 tahun 2017 tentang Manajemen PNS yang mengatur masa percobaan bagi CPNS adalah satu tahun.

Dijelaskannya, kalau tidak mungkin lagi untuk dilakukan perpanjangan masa percobaan.

Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan riwayat Alde Maulana dan mengacu kepada hasil pengujian kesehatan dan masa percobaan sebagamana diatur dalam PP nomor 11 tahun 2017.

"Maka diterbitkanlah Keputusan Sekretaris Jenderal BPK No.73/K/X-X.3/03/2020 tanggal 3 Maret 2020 tentang pemberhentian dengan hormat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil Saudara Alde Maulana, S.H. Pada Pelaksana Badan Pemeriksa Keuangan sejak tanggal 28 Februari 2020," katanya.

Pihaknya, menghargai hak Alde Maulana untuk mengajukan keberatan kepada BPK melalui LBH Padang dan telah ditanggapi oleh Sekretaris Jenderal BPK dengan surat No 177/S/X/04/2020 tanggal 16 April 2020.

"Selain itu BPK Perwakilan Provinsi Sumatera Barat juga telah memberikan penjelasan atas permintaan klarifikasi dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Perwakilan Provinsi Sumatera Barat terkait dengan permasalahan tersebut dengan surat No.68/S/XVIII.PDG/04/2020 tanggal 30 April 2020," sebutnya.

Alde Maulana Mengadu ke LBH Padang

Alde Maulana mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang untuk memperjuangkan haknya.

Alde Maulana datang ke kantor LBH Padang bersama istrinya bernama Dewi Radnasari pada Senin (1/6/2020) lalu.

Saat itu, ia menceritakan bahwa dirinya diberhentikan dengan hormat karena tidak sehat rohani.

"Saya diberhentikan dengan hormat dari CPNS dengan alasan tidak sehat jasmani dan rohani melalui surat SK pemberhentian," katanya.

Alde Maulana bersama istrinya datang ke Kantor LBH Padang, Senin (1/6/2020).
Alde Maulana bersama istrinya datang ke Kantor LBH Padang, Senin (1/6/2020). (TRIBUNPADANG.COM/REZI AZWAR)

 Penyandang Disabilitas Terima Bantuan Masker Kain, Hasil Produk dari 575 Penjahit Kota Padang

Ia mengatakan, surat hasil medical check up yang diketahuinya, dirinya dinyatakan cukup sehat.

Sebelumnya, dia megalami kelumpuhan di badan bagian kirinya karena memasang ring di kepalanya akibat ada pengbengkakan di kepalanya.

Disebutkannya, ring tersebut untuk mengantisipasi agar gelembung di kepalanya tidak pecah. Namun, hal itu membuat tubuh sebelah kirinya lemah.

"Selain itu, lapang pandang mata saya sebelah kiri tidak bisa melihat."

"Untuk berjalan saya bisa, dan insyaallah saya bisa mengerjakan tugas saya."

"Kalau saya tidak sehat jasmani dan rohani, kenapa saya bisa melalui prosedurnya sampai Diklatsar (Pendidikan Latihan Dasar) Prajabatan di Balai Diklat Medan," katanya.

 Astra Financial Grup Padang Berikan Paket Sembako Untuk Warga Disabilitas Terkena Dampak Covid-19

Ia menceritakan, dirinya mendaftar CPNS pada tahun 2018 dari formasi penyandang disabilitas dalam jabatan Fungsional Pemeriksa Ahli Pertama di BPK Perwakilan Sumbar.

Ia sudah mengikuti prosedur tes dari awal, yaitu DKD, DKB, pemberkasan awal tahun 2019. 
Setelah pemberkasan, ia masuk ke tahap Diklatsar selama delapan bulan.

Namun, dirinya mengalami kejang-kejang dan dibawa ke RSUP Adam Malik Medan.

Hasil dari pemeriksaan tersebut diketahui adanya penumpukan cairan di kepalanya.

"Dokter di Balai Diklat Medan memberikan rekomendasi agar saya tidak berpikir berat dan berpikir banyak."

"Dari rekomendasi, pihak manajemen memberikan saya tidak mengikuti ujian mata kuliah diklat JFT (jaringan fungsional tertentu)," katanya.

 VIRAL Video Istri Seret-seret Suami Disabilitas di Pinggir Jalan Palembang, Paksa Pergi Mengemis

Ia diperbolehkan mengikuti mata kuliah diklat, agar sedikit banyak mengetahui materinya.

Setelah ia mengikuti tahapan lokal, pada tanggal 8 November 2019 ia bersama disabilitas lainnya dikembalikan ke lokasi penempatan definitif di masing-masing provinsi di seluruh Indonesia. Dirinya dapat di Sumbar.

Ia mengatakan, ada 11 orang disabilitas di Indonesia, dan pada akhir Januari 2020 diminta untuk mengikuti medical check up di Rumah Sakit Gatot Soebroto Jakarta.

"Yang saya herankan, masing-masing disabilitas cukup satu kali dan saya dua kali."

"Setelah selesai dan dipanggil pimpinan untuk menanyakan hasil medical check up, saya katakan hasilnya cukup sehat, dan mungkin ada beberapa catatan dari tim medical check up," ujarnya.

Selanjutnya, dirinya dipanggil lagi dan diinformasikan kalau pelantikannya pada 24 Februari 2020 dipending, dan dijelaskan kalau ia diberhentikan dengan hormat dari BPK karena tidak sehat rohani dan jasmani.

 Didukung Perda No 3 Tahun 2015, Mahyeldi Klaim Pemko Padang Sudah Ramah Terhadap Disabilitas

"Sejauh ini saya sudah berkirim surat permohonan bantuan ke Ombudsman dan Komnas HAM, lalu ke KSP serta Presiden Jokowi yang kebetulan mensahkan UU Disabilitas No 8 tahun 2016," jelas Alde.

Ia mengatakan, pada tanggal 9 Maret 2020 tim BPK RI datang ke Sumbar memberikan SK pemberhentian dengan alasan tidak sehat jasmani dan rohani.

Ia meminta untuk dipertimbangkan lagi, karena baru menikah pada awal Januari 2020, dan itu berdampak terhadap keluarga kecilnya.

Namun, tim pusat menyatakan kalau keputusan itu sudah final, dan pada Maret 2020 dirinya tidak ada masuk kantor lagi.

"Kalau bisa jangan jadikan hal ini berlarut-larut, tapi ada duduk satu meja dengan pihak yang berkompeten dalam masalah ini," ujarnya.

Ia mengatakan, kalau tidak diberhentikan, dirinya sedang menunggu SK 100 persen, yang sebelumnya baru dapat SK 80 persen.

"Tidak sehat secara jasmani memang tidak sehat pasca sakit operasi besar pada Januari tahun 2015, dan tidak sehat secara rohani ini saya pertanyakan," ujarnya.

"Kenapa harus diberhentikan dengan hormat, padahal bisa dipindahkan ke bagian umum jelang belajar lagi pada periode selanjutnya."

Wakil Direktur LBH Padang Indira Suryani mengatakan, LBH Padang sebenarnya sudah menyurati BPK Sumbar dan BPK RI Pusat untuk mengklarifikasi hal ini.

"Kami berpandangan dari LBH ini kasusnya, karena minimnya paradigma disabilitas di tataran pemerintahan."

"Secara mandiri, Alde juga sudah menyurati Komnas HAM Sumbar dan Ombudsman Sumbar," ujarnya.

Ia mengatakan, bahwa pihaknya sudah berkoordinasi dan statusnya masih tahap klarifikasi.

LBH Padang mendorong pihak BPK dan kemudian pemerintahan memfasilitasi penyelesaian permasalahan ini dengan cepat.

"Kami ingin ada solusi cepat dalam penyelesaian masalah ini, karena memang ini terkait hak disabilitas, dan diselesaikan dengan cara-cara progresif," sebutnya.

Ia mengatakan, hak penyandang disabilitas diatur dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 2018 tentang Penyandang Disabilitas yang disahkan oleh Presiden dan DPR RI.

Banyak peraturan perundang-undangan mengatur soal sehat jasmani dan rohani sebagai sebuah persyaratan.

"Sehingga bisa jadi semacam Pasal karet, apalagi pemerintah tidak punya paradigma sebagaimana yang ada di Undang-undang disabilitas."

"Kita tahu disabilitas bukan tidak sehat jasmani dan rohani tapi ada kondisi khusus, ketika ada kondisi khusus ada perlakuan khusus dan perlindungan khusus yang diberikan oleh negara," sebutnya.

Ia berharap adanya upaya duduk bersama untuk menyelesaikan masalah ini secara arif dan bijaksana, tanpa proses embel-embel hukum seperti di pengadilan dan sebagainya.

"Karena di pengadilan, ada proses yang sangat lama, kami sangat berharap di LBH pemerintah punya keinsafan lagi seperti kasus Dokter Romi, direspon dengan baik, dengan cepat dan disabilitas dapat terpenuhi haknya dengan cepat juga tidak berlarut-larut," tuturnya.(*)

Sumber: Tribun Padang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved