Mahkamah Konstitusi RI
Ahli: Perlindungan Wartawan tak Boleh Sekadar Formalitas, Sidang MK Dihadiri PWI, Dewan Pers dan AJI
Sidang uji materi Pasal 8 UU Pers di Mahkamah Konstitusi menghadirkan ahli hukum pidana Dr. Albert Aries dan saksi jurnalis Moh Adim
TRIBUNPADANG.COM, JAKARTA - Sidang uji materi Pasal 8 UU Pers di Mahkamah Konstitusi menghadirkan ahli hukum pidana Dr. Albert Aries dan saksi jurnalis Moh Adimaja berlanjut berserta majelis hakim yang menyidangkan tentang pengujian materiil tersebut.
Rili Humas PWI Pusat yang diterima redaksi Selasa (11/11/2025) menyebutkan pihak Persatuan Wartawan Indonesia atau PWI hadir sebagai pihak terkait menegaskan perlindungan wartawan harus nyata di lapangan, bukan sekadar norma hukum.
Sebelumnya, Sidang lanjutan pengujian materiil Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ini kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (10/11/2025).
Sidang dipimpin langsung oleh Ketua MK Prof Dr Suhartoyo, SH, MH, dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dan saksi dari pihak Pemohon, serta dihadiri PWI Pusat, Dewan Pers, dan Aliansi Jurnalis Independen atau AJI sebagai pihak terkait.
Perkara Nomor 145/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh Ikatan Wartawan Hukum (IWAKUM) yang menilai Pasal 8 UU Pers belum memberi perlindungan hukum yang kuat bagi wartawan dan masih bersifat multitafsir.
• PWI Pusat Jaga Tradisi Apresiasi HPN Siapkan Anugerah PCNO, Adinegoro, SIWO Award dan Tribrata Award
Ahli: Wartawan Berhak atas Imunitas Profesi
Dalam kesaksiannya, Dr. Albert Aries, S.H., M.H., ahli hukum pidana, menilai bahwa Pasal 8 UU Pers sebaiknya dipertegas untuk menjamin kepastian hukum bagi wartawan.
Menurutnya, jurnalis yang bekerja dengan itikad baik dan berpedoman pada kode etik jurnalistik seharusnya memiliki perlindungan hukum khusus atau imunitas terbatas, serupa dengan profesi lain seperti advokat, notaris, atau anggota BPK.
Jika wartawan menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik sesuai kode etik, maka ia tidak sepatutnya dikenai tindakan kepolisian atau gugatan perdata. Perlindungan ini bukan bentuk impunitas, tetapi jaminan agar pers bisa berfungsi secara bebas dan bertanggung jawab,” ujar Albert Aries di ruang sidang MK.
Albert juga mencontohkan sejumlah kasus yang menunjukkan pentingnya kepastian hukum bagi wartawan, seperti perkara Bambang Harymurti (Tempo) dan Supratman (Rakyat Merdeka) yang pernah diputus tidak bersalah oleh Mahkamah Agung karena dianggap melaksanakan fungsi jurnalistik yang sah.
Namun, menurutnya, banyak jurnalis di daerah tidak seberuntung itu karena masih menghadapi kriminalisasi atau kekerasan saat bekerja.
Baca juga: KemenHAM dan PWI Sumbar Bahas Isu HAM hingga Edukasi Lalu Sosialisasi Program Kerja
Saksi Jurnalis: Kekerasan dan Intimidasi Masih Terjadi
Sementara itu, saksi Pemohon, Moh. Adimaja, jurnalis foto, menceritakan pengalaman pribadi ketika mengalami kekerasan fisik saat meliput demonstrasi di kawasan Senen, Jakarta.
"Saya dipukuli, diintimidasi, kamera saya direbut dan dipaksa menghapus gambar. Semua terjadi saat saya meliput sesuai prosedur jurnalistik,” ungkapnya di depan majelis hakim.
Ia mengaku belum merasakan perlindungan hukum yang nyata dari Pasal 8 UU Pers, bahkan setelah kejadian itu tidak ada tindak lanjut hukum yang melindungi dirinya sebagai wartawan.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.