Kisah Perjuangan Marsinah, Aktivis Buruh yang Gugur di Era Orde Baru Kini Jadi Pahlawan Nasional

Marsinah, aktivis buruh yang gugur di era orde baru ditetapkan sebagai Pahlawan di bidang Perjuangan Sosial dan Kemanusiaan. 

Editor: Fitriana
Tribunnews.com/Igman Ibrahim
MARSINAH PAHLAWAN - Tangis keluarga pecah saat penghormatan Marsinah di Istana Negara. Aktivis buruh itu kini resmi jadi Pahlawan Nasional. 

TRIBUNPADANG.COM - Marsinah menjadi satu dari sepuluh sosok yang dianugerahi gelar pahlawan nasional.

Pemberian gelar pahlawan nasional ini dilakukan dalam upacara yang dilangsungkan bertepatan dengan Hari Pahlawan Nasional 2025 hari ini, Senin (10/11/2025) di Istana Negara, Jakarta.

Marsinah adalah seorang buruh dan aktivis perempuan yang memperjuangkan hak-hak pekerja di Indonesia pada awal 1990-an.

Ia berani memimpin aksi protes untuk menuntut upah yang lebih layak bagi para buruh pabrik tempatnya bekerja.

Keberaniannya membuat ia menjadi simbol perjuangan buruh, meskipun ia harus kehilangan nyawanya secara tragis.

Presiden Prabowo Subianto memberikan gelar pahlawan nasional kepada 10 tokoh yang terpilih, kepada ahli waris yang diundang ke Istana. 

Marsinah menjadi tokoh ketiga yang diberi gelar setelah Kepala Negara lebih dulu memberikannya kepada Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid dan Presiden ke-2 RI Soeharto.

Marsinah ditetapkan sebagai Pahlawan di bidang Perjuangan Sosial dan Kemanusiaan. 

Ia menjadi simbol keberanian, moral, dan perjuangan hak asasi manusia (HAM). 

"Pahlawan bidang perjuangan sosial dan kemanusiaan. Marsinah adalah simbol keberanian, moral, dan perjuangan HAM dari kalangan rakyat biasa," ujar narator dalam upacara tersebut.

Baca juga: 10 Nama Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Prabowo: Rahmah El Yunusiyyah dari Sumbar

Sosok dan Kisah Perjuangan Marsinah

Semasa hidupnya, Marsinah bekerja sebagai buruh di PT Catur Putra Surya (CPS), sebuah pabrik arloji di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.

Diberitakan Harian Kompas, 28 Juni 2000, Marsinah lahir pada 10 April 1969. Dia adalah anak kedua dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan, Marsini kakaknya dan Wijiati adiknya.

Marsinah merupakan anak dari pasangan Astin dan Sumini di Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk.

Dia pertama kali bekerja di pabrik plastik SKW kawasan industri Rungkut. Tetapi, gajinya jauh dari cukup sehingga untuk memperoleh tambahan penghasilan, Marsinah juga berjualan nasi bungkus di sekitar pabrik seharga Rp 150 per bungkus.

Kasus pembunuhan Marsinah berawal pada 3-4 Mei 1993, saat buruh pabrik pembuatan arloji, PT Catur Putra Surya (CPS), menuntut pemenuhan hak mereka.

Setelah aksi mogok kerja tersebut, 11 dari 12 tuntutan tersebut dikabulkan, kecuali pembubaran Unit Kerja SPSI di PT CPS. Terkabulnya hasil perundingan tersebut tertuang dalam Surat Persetujuan Bersama.

Sejumlah buruh melakukan aksi renungan mengenang kematian Marsinah
MENGENANG MARSINAH - Sejumlah buruh melakukan aksi renungan mengenang kematian Marsinah dan Sebastian di Kawasan Berikat Nusantara, Cakung, Jakarta Utara, Jumat (8/5/2015). Aksi tersebut memperingati 22 tahun kematian Marsinah yang kasusnya hingga kini belum terselesaikan, dan juga mengenang kematian Sebastian buruh yang bunuh diri saat perayaan hari buruh internasional beberapa waktu lalu.

Namun pada 5 Mei 1993, 13 buruh dipanggil oleh Kodim 0816 Sidoarjo dan memaksa mereka untuk mengundurkan diri dari PT CPS, dengan alasan sudah tidak dibutuhkan lagi oleh perusahaan. Mereka yang menolak mendapatkan intimidasi dan tindakan represif.

Mendengar adanya pemanggilan Kodim 0816 Sidoarjo terhadap 13 rekan kerjanya, Marsinah menulis sepucuk surat untuk teman-teman buruhnya tersebut yang berisi petunjuk menjawab interogasi.

Baca juga: Sosok Rahmah El Yunusiyyah, Pendiri Diniyah Puteri yang Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional

Perempuan kelahiran 10 April 1969 juga berikrar di hadapan rekan-rekannya, "Kalau mereka diancam akan dimejahijaukan oleh Kodim, saya akan bawa persoalan ini kepada paman saya di Kejaksaan Surabaya".

Pada hari yang sama, 5 Mei 1994, Marsina bersama seorang rekannya melayangkan surat protes kepada PT CPS yang diterima oleh pihak keamanan pabrik.

Setelah itu pada, malam harinya, mereka pulang dan menyempatkan untuk berkunjung ke kediaman temannya.

Namun usai pertemuan di malam itu, pukul 22.00, Marsinah pergi entah ke mana dan menjadi yang terakhir kali bagi rekan-rekannya untuk melihat sosok perempuan itu.

Pada 8 Mei 1993, segerombolan anak-anak menemukan menemukan jasad Marsinah terbujur kaku di sebuah gubuk di kawasan hutan Desa Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur.

Tubuhnya dipenuhi luka dan bersimbah darah, yang mengindikasikan bahwa Marsinah mengalami kekerasan dan penyiksaan sebelum dibunuh.

Tewasnya Marsinah mendapatkan perhatian publik dan Presiden Soeharto saat itu. Satu bulan pertama pengusutan kasusnya, kepolisian sudah memeriksa sebanyak 142 orang.

Namun puncaknya terjadi pada 1 November 1993 dini hari, saat satuan intelijen menculik delapan orang yang diduga sebagai pelaku pembunuhan Marsinah.

Kedelapan orang tersebut merupakan orang-orang dari PT CPS, di mana salah satu yang diculik adalah pemilik pabrik, Judi Susanto.

Baca juga: Tokoh Pendidikan Asal Sumbar, Rahmah El Yunusiyyah Ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional

Judi Susanto dan tujuh orang lainnya diketahui mengalami siksaan berat untuk dipaksa mengakui bahwa mereka-lah dalang pembunuhan Marsinah.

Selama proses penyelidikan dan penyidikan oleh Tim Terpadu Bakorstanasda Jawa Timur, disebutkan bahwa Suprapto, seorang pekerja di bagian kontrol PT CPS, menjemput Marsinah dengan sepeda motornya.

Marsinah kemudian disebut dibawa ke rumah Judi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari disekap, Marsinah disebut dibunuh oleh Suwono, seorang satpam di PT CPS.

Akhirnya, Judi Susanto dijatuhi vonis 17 tahun penjara. Sementara itu, beberapa staf PT CPS dijatuhi hukuman sekitar empat tahun hingga 12 tahun penjara.

Namun saat itu, Judi Susanto bersikerah menyatakan tidak terlibat dalam pembunuhan Marsinah. Ia mengaku hanya dijadikan sebagai kambing hitam. Judi Susanto kemudian naik banding ke Pengadilan tinggi dan dinyatakan bebas.

Hal serupa juga dilakukan para staf PT CPS yang dijatuhi hukuman. Mereka naik banding hingga dibebaskan dari segala dakwaan atau bebas murni oleh Mahkamah Agung.

Setelah itu, kasus pembunuhan Marsinah tidak menemui titik terang dan menjadi salah satu catatan pelanggaran HAM di Indonesia.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com.

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved