Oleh: Fazia Zatila, Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Sosial dan Humaniora, Universitas Nahdlatul Ulama Sumatera Barat
TRAGEDI yang menimpa seorang remaja putri Dharmasraya, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) yang meninggal dunia atas dugaan penganiayaan oleh ayah tirinya sungguh memilukan.
Peristiwa tersebut, kiranya jadi potret buram saat semuanya sedang giat-giatnya melakukan kampanye tentang perlindungan anak di tanah air.
Rumah seharusnya menjadi tempat paling aman justru berubah menjadi arena kekerasan, dan keluarga yang seharusnya menjadi pelindung justru menjadi pelaku. Ironis dan menyakitkan.
Peristiwa ini bukan hanya soal kekerasan domestik biasa. Ini adalah kegagalan kolektif: kegagalan negara dalam melindungi warga mudanya, kegagalan sistem hukum dalam mencegah kekerasan dan kegagalan masyarakat dalam peka terhadap lingkungan sekitar.
Ketika seorang anak bisa meninggal dalam diam, kita patut bertanya.
Baca juga: Opini: Menyorot Minat Baca Gen Z, Cek Fakta, Akar Masalah dan Solusi
Baca juga: Kronologi Remaja Perempuan di Dharmasraya Tewas Dipukul Ayah Tiri karena Bongkar Utang ke Rentenir
Secara hukum, Indonesia memiliki instrumen perlindungan anak yang cukup lengkap. Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menjamin setiap anak berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Begitu juga dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, negara berkewajiban melindungi anak dari segala bentuk kekerasan, termasuk dalam rumah tangga.
Namun, pasal-pasal itu seperti kehilangan makna ketika realitas menunjukkan anak masih menjadi korban.
Alangkah baiknya, respon atas kejadian pelanggaran hukum tersebut langsung bisa ditangani meskipun sebelum adanya laporan masuk, atau disampaikan oleh korban serta pihak yang mewakili setelah korban terbaring kaku.
Perlindungan anak seharusnya proaktif, bukan reaktif. Aparat penegak hukum bersama segenap pihak terkait lainnya hendaknya dapat mencegah sebelum nyawa melayang. Negara harus hadir bahkan sebelum luka itu menganga.
Apalagi, kekerasan dalam rumah tangga sering kali terjadi dalam ruang tertutup, jauh dari sorotan publik. Pasalnya, disinyalir masih ada korban memilih diam karena takut, malu, atau tidak tahu harus mengadu ke mana.
Dalam kasus seperti ini, keberadaan sistem perlindungan seperti rumah aman (safe house), layanan pendampingan hukum, dan psikolog anak menjadi sangat penting.
Sejauh ini terkadang peran lingkungan sekitar dalam hal ini, tetangga meski sempat mendengar jeritan tetapi memilih diam.
Begitu pula, ketika sekolah rekatif kurang peka terhadap perubahan perilaku muridnya, maka kita semua turut berkontribusi dalam siklus kekerasan ini.