Perlu ada kesadaran kolektif bahwa perlindungan anak bukan hanya urusan keluarga atau negara, melainkan juga masyarakat di sekitarnya.
Pemerintah daerah, khususnya di Sumatera Barat, harus berani membentuk satuan tugas khusus perlindungan anak yang aktif menyisir potensi kekerasan dalam rumah tangga.
Yakni tanpa harus lebih dulu menunggu adanya laporan, melainkan bisa turun langsung ke lapangan. Utamanya, membuka ruang aman bagi anak-anak untuk berbicara dan menyelamatkan mereka sebelum terlambat.
Kasus Dharmasraya seharusnya menjadi momentum guna refleksi bersama. Faktanya, masih ada anak-anak yang tak berdaya bahkan menghembuskan nafas terakhirnya. Mereka jadi korban lantaran tindak penganiayaan di dalam rumahnya sendiri.
Negara yang besar juga parameternya lewat jawaban atas tanya; bagaimana ia menjaga sekaligus melindungi yakni mereka yang paling rentan seperti anak-anak.
Artinya, ada utang janji konstitusi kepada seluruh anak Indonesia bahwa mereka berhak tumbuh dalam damai, dicintai, dan dilindungi.
Negara yang adil bukanlah negara yang hanya menghukum pelaku, tetapi yang mencegah korban berikutnya.
Remaja perempuan itu kini telah tiada. Namun kisahnya harus menjadi nyala api yang menerangi jalan perubahan. Jangan sampai kematiannya hanya menjadi kabar berita sesaat, lalu dilupakan.
Mengingat di balik setiap jeritan yang tak terdengar, mungkin ada nyawa yang sedang minta diselamatkan.(*)