TRIBUNPADANG.COM, PADANG - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang menyayangkan putusan hakim Pengadilan Tinggi Padang yang membebaskan pelaku pelecehan seksual pada anak. Pelaku sendiri ialah suami tante korban.
Padahal sebelumnya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Padang telah memutus hukuman pelaku dengan 5 tahun 3 bulan tindak pidana dan denda 100 Juta pada bulan Februari 2024.
Selang dua bulan, Pengadilan Tinggi Padang melalui putusan hakim Pengadilan Tinggi Padang Nomor: 119/PID.Sus/2024/PT.PDG memutus bebas pelaku kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur pada bulan April 2024.
Pendamping hukum korban dari LBH Padang Anisa Hamda mengatakan, kasus pelecehan seksual terjadi pada 2020. Saat itu, korban yang merupakan keponakan dari istri pelaku sempat tinggal serumah dengan pelaku berinisial P, salah seorang manajer di salah satu perusahaan BUMN di Kota Padang.
Kemudian keluarga korban melapor ke Polda Sumbar tahun 2021. Selanjutnya barulah pada November 2023 dilakukan proses persidangan di Pengadilan Negeri Padang.
Baca juga: Polresta Padang Bantah Lakukan Kekerasan ke Kendi Aktor Rekayasa Pencurian Klinik dr Richard Lee
"Putusan Pengadilan Negeri Padang dari Ketiga hakim yang terdiri dr. Ridwan Ramli SH., MH., Inrawaldi SH.,MH dan Charles Simamora SH.,MH tidak berpihak pada korban dan keluarga korban," katanya, Kamis (16/5/2024).
Ia menambahkan putusan tersebut juga tidak mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual serta PERMA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.
Ia menjelaskan, saat persidangan di Pengadilan Negeri Padang, korban mendapatkan intimidasi dan perlakuan tidak mengenakkan di ruang persidangan.
"Alih-alih ruang persidangan bisa sesegera mungkin memulihkan trauma korban dengan penegakan hukum yang adil, malah dalam hal ini korban mendapatkan luka dan trauma baru," ungkapnya.
Disamping itu, Majelis Hakim di Pengadilan Tinggi Padang memutus bebas pelaku kekerasan seksual karena keterangan saksi yang belum cukup.
Baca juga: Angka Kekerasan Seksual di Pariaman Meningkat, LKAAM: Perlu Adanya Sosialisasi Peran Kekerabatan
Lalu apa gunanya scientific evidence atau pembuktian ilmiah yang dilakukan oleh kedokteran kehakiman melalui visum et repertum dengan hasil terdapat luka lama akibat benda tumpul sehingga selaput dara rusak.
"Kasus ini dari awal kepolisian telah gagal untuk mencari kebenaran hakiki dan tidak berpihak pada keadilan dan perlindungan korban," katanya.
Ia menambahkan indikasi ini terletak pada penangguhan penahanan dan pelaku berasal dari keluarga kaya yang bisa melakukan intervensi langsung dan mempengaruhi saksi-saksi atas kasus ini.
"Karena kasus ini saja korban telah melaporkan kasusnya sejak 20 Agustus 2021 lambatnya proses penegakan hukum dan upaya intimidasi yang kami curigai telah terjadi kepada pihak korban anak angkat pelaku, yang membuat pengungkapan fakta sebatas formalitas belaka, tanpa benar-benar menggali faktanya," ujarnya.
Disampaikannya, lambatnya proses penegakan hukum merupakan pelanggaran HAM, terlanggarnya hak atas kepastian hukum dan keadilan segera untuk korban, hak atas pemulihan terhadap korban juga menjadi tidak maksimal dikarenakan ketidakpastian penegakan hukum.
Baca juga: Dosen Unand Inisial KC Terduga Pelaku Pelecehan Seksual Akhirnya Dipecat
"Dalam kasus ini korban telah mengalami trauma berat hingga merasa dirinya tidak berharga lagi. Namun Pengadilan tinggi Padang pada tanggal 24 April 2024 telah memutus bebas menyatakan pelaku tidak bersalah di tingkat banding dengan nomor perkara 119/Pid.Sus/2024/PT PDG dan membatalkan Putusan Pengadilan Negeri yang semula Pelaku dijatuhi hukuman 5 tahun 3 bulan serta denda 100 juta pada nomor perkara 907/Pid.Sus/2023/PN PDG," ungkapnya.
Menurutnya, Putusan Pengadilan Tinggi Padang, banyak catatan keganjilan yang ditemukan dan sangat dirasa janggal. Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Padang mendasarkan pada keterangan anak angkat yang melakukan bantahan atas keterangannya sebelumnya sebelum masuk ke ruang pengadilan.
"Padahal dalam keterangan dan temuan kami bahwa anak angkat tersebut juga merupakan korban dari pelaku. Namun Aparat Penegak Hukum gagal membaca relasi kuasa disini," sebutnya.
"Sehingga kuat kecurigaan kami anak yang dijadikan saksi untuk memberikan keterangan bantahan atas keterangannya sebelumnya telah mendapatkan tindakan intimidasi dan atau bujuk rayu agar pelaku dibebaskan, kami telah memiliki bukti yang kuat mengenai anak angkat tersebut juga adalah korban dari pelaku, namun menuju persidangan kami kehilangan koneksi kepada yang bersangkutan," tambahnya.
Dipersidangan, juga terlihat hakim memutus bebas pelaku dengan pertimbangan saksi pelaku membantah semua keterangan saksi korban, tanpa mempertimbangkan bukti-bukti yang lain yang membuktikan pelaku bersalah.
Baca juga: Dugaan Pelecehan Seksual di SD Baiturrahmah Padang Berawal dari Laporan Anak ke Orang Tua
"Pelaku yang terus menerus melakukan bantahan tuduhan tidak mampu menghadirkan saksi alibi atau bukti kuat lainnya, bahwa keterangan terdakwa tidak bisa dipertimbangkan jika tidak didukung dengan pembuktian yang sah lainnya, keterangan keluarga sedarah/yang memiliki hubungan kerabat dengan tersangka/Terdakwa tidak dapat didengar keterangannya sebagaimana Pasal 168 KUHAP," katanya lagi.
Padahal, sambung Anisa didalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual pada Pasal 25 ayat (1) berbunyi “keterangan saksi dan/atau korban cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai dengan 1 (satu) alat bukti sah lainnya dan hakim memperoleh keyakinan bahwa benar telah terjadi tindak pidana dan terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Oleh karena itu, Pihaknya mendesak agar Mahkamah Agung dengan serius mencermati permasalahan ini, dengan menerima Kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum dan menghukum Pelaku dengan hukuman seberat-beratnya.
"Tidak hanya itu dalam kasus ini juga Komisi Yudisial juga sedang mendalami dugaan pelanggaran Hakim dalam memeriksa perkara ini," tutupnya. (*)